Oleh:
Alja Yusnadi
Fhoto: Int |
Usai
shalat magrib disebuah senja bulan agustus, saya menonton televisi, ada
pertandingan sepakbola antara Timnas Indonesia Umur 19 tahun melawan Brunei
Darussalam dalam kompetisi Hasanal Bolkiah. Bolkiah adalah Sultan Brunai, jadi
ini memperebutkan piala Sultan.
Dalam
laga tersebut, pertandingan berjalan menoton. Tidak asik bagi saya yang tidak
terlalu hobi bola, saya yakin penonton lain juga sama. Secara kemampuan, pemain
indonesia terlihat menguasai bola hampir sepanjang masa pertandingan.
Bola
satu-dua, mengalir dari kaki ke kaki pemain Indonesia. Eva Dimas, Maldini Pali,
Okto Sitanggang, Zulfiandi, Ilham Udin, mereka berganti-gantian. Anak-anak
indonesia berhasil mengepung pemain Brunai di daerah pertahan mereka sendiri.
Celakanya,
permainan apik tersebut tidak diikuti dengan hasil. Pemain Brunai yang sedari
menit awal digempur, sesekali mampu melakukan serangan balik. Pada babak
pertama, saya hanya mencatat tiga kali melakukan serangan balik, dengan hanya
menyisakan satu pemain di depan.
Penyerang
tersebut adalah Adi Said, dengan postur tubuh yang memadai, pemain ini mampu
mencetak hatrik pada pertandingan yang menyakitkan bagi timnas Indonesia
tersebut. Pada babak ke II, pemain indonesia mencoba untuk membongkar
pertahanan, lewat kaki Ilham Udin, indonesia mampu mencuri satu gol.
Bak
kata pengamat bola, sepakbola susah ditebak. Bola itu bulat. Pertandingan ini
adalah salah satu contohnya. Sulit sekali saya percaya, indonesia kalah melawan
Brunai. Apalagi timnas U19 telah melakukan beberapa tur uji coba, mulai melawan
klub amatiran, hingga klub profresional. Tapi sekali lagi, semua kemungkinan
bisa terjadi.
Sebagai
tuan rumah, pelatih Brunai menggunakan segala taktik, termasuk “memarkir bus” ala
mourinho, sebuah teknik yang membuat bosan pecinta sepakbola. Tapi, lagi-lagi
dalam sepakbola itu tidak dihitung indahnya permainan, tapi hasil akhir. Karena
orang akan bertanya, siapa menang? Bukan siapa indah bermain?. Timnas U19 “dihancurkan”
oleh serangan balik, skema yang membosankan itu.
Ada
bagusnya. Situasi ini bisa menjadi gambaran bagi sang pelatih, Indra Syafrie
bersama tim. Mereka harus belajar untuk menghadapi teknik parkir bus
sembarangan oleh tim lawan. Karena sebuah pertandingan sesungguhnya akan
berlangsung beberapa bulan lagi, AFC Cup. Kompetisi ini bisa menjadi titik
balik bagi sepak bola indonesia yang sudah terlalu lama karam.
Serangan
balik ini tidak hanya terjadi di sepakbola. Dikehidupan lain, begitu banyak
serangan balik. Kita harus mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi serangan
balik ini yang bisa saja menyerang pengusaha, politisi, agamawan, atau kita
sebagai manusia.
Beberapa
pengusaha di Banda Aceh yang tergolong sukses porak-poranda ketika Tsunami.
Politisi sukses diuji uang, perempuan dan jabatan. Agamawan dihadapkan pada
ujian yang hampir sama dengan politisi, beberapa diantara mereka ditemukan
menilep uang negara, berdua-an dengan perempuan.
Begitulah,
selalu ada ujian yang diluar kehendak kita. Jika pada pertandingan yang saya
saksikan itu Indonesia mampu memperkecil kekalahan akibat serang balik itu,
apakah kita mampu bangkit untuk bertahan bahkan menyerang jika mendapat situasi
yang sama?. Sila dijawab masing-masing. Yang penting, siapkan diri untuk
menghadapi serangan balik. Betapa bahayanya strategi itu. Awas, Serangan
Balik!!.[]
Kuta
Radja, 11 Agustus 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar