Oleh : Alja Yusnadi
Salah
satu komoditas primadona yang dimiliki Aceh adalah Nilam. Tumbuhan ini menjadi
salah satu komoditas ekport. Sudah
sejak lama nilam menjadi kebutuhan dunia. Fungsinya sebagai perekat wangi
membuat nilam dibutuhkan oleh perusahaan pembuat parfum, kosmetik, dan
obat-obatan. Kebutuhan minyak nilam dunia sebagian besar dipenuhi oleh
indonesia, dan sebagian besarnya merupakan minyak nilam Aceh. Namun, sama
seperti nasib komoditi ekport
lainnya, seperti kopi, nilam aceh juga nyaris tidak dikenal dunia
internasional. Justru, lebih dikenal minyak nilam sumatera, jawa. Hal ini
disebabkan label yang dikeluarkan bukan label minyak nilam aceh, beberapa
pengusaha “nakal” juga mencampur minyak nilam aceh dengan minyak nilam sumatera
utara, dan jawa.
Fenomena
ini sudah berlangsung lama. Bahkan sebelum indonesia merdeka, kolonial telah
mengenal nilam aceh, khususnya aceh bagian selatan dan tenggara. Sejalan dengan
itu, mereka melihat nilam sebagai tumbuhan penghasil dolar, sementara
masyarakat menggantungkan hidupnya dari hasil perkebunan nilam.
Jika
harga minyak nilam dipasar lokal tidak fluktuatif, bertahan pada angka yang stabil,
saya yakin nilam bisa menjadi terobosan untuk mensejahterakan sebagian
masyarakat aceh, tidak perlu menguras perut bumi. Dalam kurun waktu 15 tahun
terakhir, harga minyak nilam 2 kali berada pada angka tertinggi, melebihi angka
1 juta rupiah per kilogram. Pada tahun 1997, disaat bangsa ini hendak dilanda
krisis moneter dan krisis politik, harga minyak nilam di aceh mencapai angka
1.5 juta per kilogram. Kondisi harga tersebut tidak berlangsung lama, hanya
dalam hitungan minggu harga minyak kembali jatuh, pelan-pelan hingga mendekati
harga paling rendah mencapai 80 ribu rupiah per-kilogram.
Situasi
ini membuat sebagian besar petani prustasi, kesejahteraan yang baru saja mereka
rasa berubah menjadi petaka, bukan hanya petani saja, Pegawai rendahan yang beralih
fungsi menjadi petani nilam musiman ikut merasakan “jebakan” harga ini.
Demikian juga dengan pengusaha lokal, penjualan minyak nilam yang dibeli dengan
harga tinggi harus kelabakan. Setelah bertahan pada harga dua ratus-an ribu
rupiah, harga minyak nilam kembali naik pada tahun 2007, hampir sama dengan
sepuluh tahun sebelumnya, harganya mencapai angka diatas 1 juta.
Mencermati
permasalahan tersebut, timbul tanda tanya, kenapa harga pasar lokal sangat
pluktuatif?bukan kah peruntukan minyak nilam, seperti perusahaan parfum,
kosmetik, dan semacamnya tidak musiman?. Sejauh yang saya pahami dan lakukan
selama ini, harga minyak nilam aceh sangat tergantung kepada pasar regional,
dalam hal ini dimainkan oleh toke-toke
Medan. Beberapa diantara mereka sudah melakoni bisnis minyak atsiri ini sejak 2
generasi diatas mereka. Sehingga kontrol pasar internasional berada ditangan
mereka, nyaris tidak ada pengusaha lokal yang mampu menembus pasar
internasional. Padahal, jika ada pengusaha aceh yang “gila” mau berinvestasi,
menampung semua stock minyak nilam aceh, bukan tidak mungkin pasar minyak nilam
akan oleng dan harga dapat dinegoisasi, atau pemerintah juga dapat membentuk
semacam “bulog” nya nilam untuk mengatasi fluktuasi harga.
Solusi
Penguasaan
pasar adalah salah satu hambatan utama bagi pengembangan usaha nilam. Bahkan,
pasar minyak nilam sudah dapat dikatakan monopoli. Pernah, salah seorang
pengusaha lokal bercerita pengalaman melakukan transaksi di medan, jika harga
minyak nilam murah, bisa saja mereka beralasan sedang tidak membutuhkan, atau
mencoba untuk bernegoisasi, mereka menyarankan untuk membawa pulang. Untuk
mengantisipasi masalah ini, perlu bagi pengusaha lokal yang sudah mapan untuk
melirik sektor nilam sembari mencari peluang pasar internasional.
Pemerintah
melalui dinas Perdagangan, dibantu Badan Investasi juga dapat melakukan loby
dengan perusahaan pengguna minyak nilam. Apalagi setelah adanya Undang-undang
No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memperbolehkan aceh untuk
melakukan hubungan perdagangan langsung dengan luar negeri. Sejauh ini, saya
mempromosikan minyak nilam aceh melalui situs micro-bloging, ada beberapa pesan
melalui surat elektronik yang sampai ke saya. Masalahnya adalah, mereka meminta
dalam kualitas super, jumlah yang banyak dan transaksi diluar aceh. ada juga
yang sudah sampai berkunjung ke pabrik penyulingan, masalahnya sama, mereka
meminta dalam jumlah yang besar.
Selanjutnya
adalah penguatan petani nilam melalui pemberdayaan. Pemenuhan kebutuhan minyak
nilam global sangat tergantung kepada kemampuan petani menanam nilam. Karena,
sejauh ini belum ada satu perusahaan (private sektor) yang mampu berinvestasi
disektor ini. Pengalaman saya selama ini bersama Kete Nilam Hijo (KNH), sebuah
usaha penyulingan minyak nilam di Aceh Selatan yang melakukan pemberdayaan
petani nilam, masalah utama adalah tidak ada modal. Misalnya, disaat mereka
ingin membuka lahan nilam dalam skala besar, mereka juga dihadapi dengan
pemenuhan kebutuhan harian. Mereka akan melunasi pinjaman setelah masa panen
(standar 8 bulan). Hal ini juga yang membuat perbankan, pengusaha mapan tidak
tertarik dengan investasi nilam.
Setelah
tersedianya pasar, petani pun kuat, langkah selanjutnya adalah penguatan mutu
minyak nilam. Dalam pemisahan berdasarkan mutu, minyak nilam dibedakan
berdasarkan kandungan Pacholy Alkohol (PA), aroma, warna. Untuk mendapatkan
kualitas super, semua aspek harus diperhatikan, mulai dari penanaman,
pemanenan, pengeringan, sampai pada penyulingan.
Semasa
harga minyak nilam tinggi, kehadiran pabrik penyuling bagai jamur di musim
hujan. Setelah itu, sejalan dengan turunnya harga, pabrik penyulingpun
satu-persatu harus gulung tikar. Hanya beberapa saja yang sanggup bertahan,
termasuk salah satunya KNH. Untuk mendapatkan kualitas super langkah yang dapat
dilakukan adalah memperkuat pengusaha lokal.
Sebenarnya,
kita hampir patut bernafas lega disaat Pemerintah Aceh, melalui BAPPEDA
memasukkan pemberdayaan nilam sebagai salah satu proyek yang dikelola oleh
salah satu Non-Goverment Organitation (NGO) International (Caritas Cezh) yang
beroperasi di beberapa kab/kota. Namun sampai saat ini, disaat proyek sudah
berada dipenghujung waktu, pusat bisnis nilam yang pernah digambar belum juga
kelihatan. Pemberdayaan petani yang seharusnya dapat menggenjot angka produksi
juga belum berhasil, barangkali butuh upaya yang lebih keras lagi.
Terlepas
dari itu, Kesinambungan pasar, petani, pengusaha lokal dan pemerintah dapat
menjadi kekuatan untuk mematenkan minyak nilam aceh. jika tidak, upaya untuk
mengembalikan kepemilikan nama minyak nilam aceh menjadi mimpi belaka. Jika
satu saja dari 4 stakeholder itu tidak kuat, minyak nilam aceh akan dijadikan
bahan baku untuk dicampur dengan minyak nilam dari daerah lain yang mutunya
tidak sebaik mutu minyak nilam aceh.
Penulis
adalah Pelaku usaha nilam, dan Manager Program di Achehnese Civil Society Task
Force (ACSTF)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar