Oleh
: Alja Yusnadi**
Labirin Senja,
pekat. Kumpalan awan melukis di kanvas biru, membentuk berbagai rona. Sebuah Panther Pick-up melaju, pelan, menyusuri
sudut kota Banda Aceh, Ibu kota provinsi Aceh, yang memiliki APBA sembilan Triliun, namun
rakyatnya masih seperti ayam kelaparan di lumbung padi. Beberapa lelaki dewasa
berada diantara kotak-kotak kosong. Kumparan senyum terpancar, hingga menyentuh
fatamorgana yang sedang dirajut pantulan alam.
***
Sore itu, Sabtu,
alam begitu bersahabat, cuaca tidak mendung tidak pula begitu terik. Butiran
air langit tersumbat, derajat kepanasan tidak begitu membakar kulit. Jarum
waktu masih berada dipusaran angka lima. “Ini momentum yang tidak boleh kita
lewatkan,” ujar Zahlul. Pria Bertubuh jangkung ini adalah Ulee balang mahasiswa Teknik Pertanian Unsyiah angkatan 2004,
kawan-kawan mempopulerkan namanya Jaluk, entah darimana ihwalnya ini, yang
jelas orang lebih mengenalnya jaluk, ya jaluk.
Asal mula,
adalah masuk ke Jurusan Teknik Pertanian, masa itu tahun 2004. Hampir tu7uh
tahun berselang. Waktu berlalu, seperti air, takkan menunggu. Menggilas apa
saja yang ada didepan. Tak bisa diputar kebelakang. “masuk bersama, keluar
masing-masing,” ini kata yang pernah kudengar dari beberapa dosen di saat kuliah
dulu.
Diawal dulu,
lebih dari seratus orang lulusan SMA diterima di jurusan yang disingkat TEPE
itu. Berbagai jenis kelamin, lintas daerah ; gayo, kluet, jame, meureuhom daya,
pidie, bireun, aneuk duson, anak kota, membaur bersama. Walau ada gap, tak terlalu jarak, dipecahkan oleh
nasib yang sepadan, buat laporan, tugas kuliah, dan diiringi selingan Ospek.
Angka seratus
tidak bertahan hingga akhir. Sebagian, ada yang pindah jurusan dengan berbagai
alasan, masuk abdi negara, pindah tempat, dan sebagian “syahid” bersama gelombang
laut, desember 2004, semoga mereka ditempatkan di sisi Nya. Sebagian lain, ada
yang sudah bekerja, sudah selesai kuliah tapi masih dalam masa waiting, dan ada juga yang masih
berjuang, menyelesaikan teka-teki yang dituntun oleh penguasa kampus.
Begitu banyak
rasa, kesan, sakit, pahit, manis. Semua diaduk oleh masa. Jika ada yang kurang
merasakan, barangkali orang seperti ku, disaat kuliah, sedikit sekali waktu
untuk teman kampus, lebih banyak menyerang keluar. Pun begitu, masih tercoret
sederat rindu, ingin kembali kemasa dulu. Agaknya, tak cukup banyak padanan
kata yang mampu melukis kenangan itu, apalagi bagi teman yang meiliki cerita
kelam, ingin kulukis bersama dalam catatan singkat ini, namun kutakut ada yang
tersinggung, kecut, mendampar.
Sebagai bumbu,
pemanis rindu, cukup mengingat masa-masa gila diawal masuk dulu. Teman-teman
ingat? Dengan wajah lugu, map disamping, rambut ukuran inchi, mau saja
dibodoh-bodohi. “jika tak ikut ospek tak bisa kuliah,” ungkap beberapa
mahasiswa diatas angkatan kita. Jadilah kita ke sabang. Yang paling kuingat,
satu teman kita nyaris tewas kala itu. Badannya kecil, kidal, menyukai
matakuliah berhitung, sekarang dia sudah jadi Fhotografer, ya, Ados, nama
lengkapnya Firdaus Mirza Nusuari, aku pernah dengar, kalau dia sempat mencoba
jatuh cinta dengan teman perempuan kita, namanya? Maaf, lupa!.
“Konslet”, ucap
pria berkulit gelap berbadan tegap. Yang kuingat, namanya Reza, entah Reza apa,
lupa. Kemudian, kita mempercayai dia menjadi Wakomting, mendampingi si Jaluk.
Kemudian kita lebih mengenalnya dengan nama Konslet, buka Reza. Namun sayang, konslet tak sempat
menghabiskan masa studinya, keburu menjadi PNS di kotanya. Ya, PNS, pekerjaan
Plat Merah yang banyak dikejar. Orang tua perempuan pun mudah memberikan anak gadisnya di saat PNS yang
melamar. Tapi banyak jalur PNS skarang yang curang, menuntun ke Neraka!.
Memory tentang
peristiwa Sabang tak begitu terekam, pas-pasan, dan sudah pernah kunukil pada
cerita sebelumnya, agar tak bosan, cukuplah menjadi renungan dikepala kawan. Awal-awal
kuliah, laporan menyibukkan kita, mulai dari laporan lab kimia, fisika,
biologi. Itu semua mata kuliah dasar, di FMIPA, acap kita perang mulut dengan
asisten disana yang juga mahasiswa, sok tau mereka!.
Sebagai jurusan
baru, kita harus rela diajar oleh dosen yang pas-pasan, bahkan ada untuk
pemanas masih menggunakan penanak nasi yang keren itu, aku sering mendengarnya
Rickuker. Kita juga berhadapan tugas matakuliah, menghafal surat-surat pendek
agar mendapat nilai agama, harus diajar oleh mentor-mentor UP3AI yang tidak
begitu cekatan dalam membaca Al-quran, Qalam tuhan yang maha suci itu.
Begitulah, hari
berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan berganti semester, kita Ujian!.
Ada yang melihat kopean, ada yang tidak belajar! Macam-macam. Yang jelas untuk
satu tujuan : Sarjana. Kemudian, sadar pola yang tidak mengajar. Semester
pertama, kita pemutihan. Salah satu hikmah nilai bagi yang pas-pasan, dan derita
bagi yang pintar. Semeser datang bergantian, hingga Praktek Lapang, bakti Profesi.
Waktu telah
mengajarkan bagaimana menghargai hidup, memanfaatkan keadaan. Tidak lagi
“bersawah ladang”. Kita terus bercengkrama dengan alam. “Waktu adalah pedang,”
kata pepatah arab. Sekarang, roda zaman terus berputar, si sayed yang dulu
asyik “bersawah-ladang” sudah jadi Asisten Fasilitator di PNPM, program
Presiden SBY yang mengeluh karena gaji tidak naik itu. Tampilannya sudah agak
beda, satu lagi, dia hampir punya momongan, tak terbayang bukan?.
Sebagian besar,
kawan yang sudah serjana mengabdikan diri menjadi pegawai Bank. Jenis pekerjaan
yang sempat populer ditahun 90-an. Tidak untuk sekarang. Tapi lumayan juga,
dapat menyimpan sebagai mahar. Lebih sari sepuluh orang sekarang jadi pekerja
Bank, tak dapat kuurut satu persatu, dominasinya perempuan.
Mulya Arfan,
yang satu ini hanya mencicipi sekitar 2 semester di TEPE. Setelahnya dia
mengadu nasib di jati nangor, Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri, sekolah yang
agak kemiliteran. beberapa tahun silam sempat mengemuka soal skandal kekerasan,
yang terakhir, merenggut nyawa anak “Trah” limpo, Gubernur Sulawesi Selatan. Begitulah,
setelah hampir tu7uh tahun. Waktu telah menyulap manusia lugu menjadi guru.
Menyisakan rindu yang membatu.
***
Untuk memecah
rindu, beberapa kawan mengambil inisiatif untuk melakukan reuni, kecil-kecilan,
sesuai kemampuan. Setalah perencanaan marathon, akhirnya disepakati, “satu hari
di Lampu’uk”. Titik nol, dari rumah
Jaluk, setelah menyiapkan berbagai perlengkapan, beberapa kawan bergerak. Aku,
sandy, fadhil, marzuki (Marjocovik), Nasbar, menyisir pasar Penunayong, mencari
Ikan dan bahan-bahan dapur. Beberapa jam, kami selesai dengan tugas yang satu
ini, kembali ke rumah jaluk.
Awalnya, sebelum magrib pasukan sudah memasuki areal. Terjadi pergeseran
rupanya. Sekitar Pkl. 21 WIB, baru tiba di Dian Rana Bungalow. Walau terletak
di kawasan objekwisata Lampuuk, ternyata adahal yang jarang ditemui, sekitar
sini ada beberapa tempat nginap. Sekitar limaratus meter dari Dianrana,
terlihat temeram bayangan, persis diantara tebing, rupanya penginapan juga. Ada
yang aneh, ditempat itu, untuk “wisatawan” lokal dipatok harga satu juta, untuk
turis manca negara hanya limaratus ribu, aneh bukan?.
Rupanya, sang pemilik memang tidak menyukai pengunjung lokal, karena akan
dipersoalkan oleh masyarakat sekitar. Penghuninya kebanyakan bulek-bulek
“miskin”, yang hanya menggunakan pakaian seadanya. Fenomena ini acap kita
temukan di Banda Aceh, apalagi menyongsong Visit Aceh 2011, salah satu program
andalan Mawardi-Illiza.
Malam terus merangkak, alam sekitar sedang bertasbih, memuja yang mahakuasa
yang berhak dipuja. Sekitar bungalaw sunyi, setelah melewati pos pemeriksaan
warga gampong sekitar satu kilometer sebelumnya. Fenomena malam disekitar jalan
lampu’uk agak mencekam, bayangkan, hampir sepanjang badan jalan, lembu-lembu
malam berkeliaran, seperti tampa pemilik. Qanun/perda yang telah disusun tidak
mampu memberantas dunia malam.
***
Bersambung....
*)Persembahan untuk kawan-kawan Teknik Pertanian Unsyiah angkatan 2004. Di rajut
dari cerita yang berserak dan keterbatasan ingatan..
**) Alumni Teknik Pertanian Unsyiah 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar