Menimbang Pilkada Aceh
Oleh : Alja Yusnadi
Konstelasi politik di Aceh kian bergerak mencari bentuk idealnya. Salah satu percaturan politik yang menarik diawal tahun 2011 ini adalah keterlambatan pengesahan APBA 2011 dan wacana penundaan Pemilihan Kepala Daerah. Wancana Penundaan tersebut pertama sekali dilontarkan oleh ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Drs. Hasbi Abdullah, M.Si kepada media massa. (serambi Indonesia, 4 April 2011).
Sebagaimana diketahui, Pemerintah Aceh dan 17 Pemerintah kab/kota akan melaksanakan pemilihan kepala daerah pada bulan oktober 2011, karena masa jabatan akan berakhir pada awal 2012. Wacana penundaan ini mendapat respon yang beragam dari berbagai kalangan.
Wacana tersebut dari satu sisi dapat dipandang sebagai respon politik kelompok dominan di DPRA. Hasbi Abdullah merupakan politisi dari Partai Aceh, partai ini memiliki 33 perwakilan di parlemen. Secara politis, wacana ini muncul dapat dikaitkan dengan pergesekan politik antara Partai Aceh dengan Irwandi Yusuf yang notabenenya adalah Gubernur Aceh sekarang.
Irwandi, Gubernur pertama yang terpilih melalui jalur independent berpasangan dengan M. Naazar, awalnya mendapat “restu” dari mantan Kombatan (saat itu belum ada PA). Sementara, untuk pilkada kedepan, PA tidak lagi mengusung Irwandi sebagai calon Gubernur Aceh dari Partai Aceh, namun partai berkuasa diparlemen ini justru mengusung Zaini Abdullah yang dipasang dengan Muzakkir Manaf (ZAIM).
Pasangan ini dapat dikatakan memiliki kekuatan luar-dalam dikalangan mantan kombatan dan Partai Aceh. Zaini, merupakan kalangan GAM tua dan juga saudara kandung Hasbi Abdullah, dan Muzakkir Manaf merupakan Ketua Partai Aceh dan Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA). Kekuatan dan pesona pasangan ini menjadi tantangan utama bagi Irwandi yang juga menyatakan siap untuk naik kembali sebagai calon kepala daerah.
Sementara, Irwandi merupakan calon incumbent untuk pemilihan kepala daerah kedepan. Sebagaimana kebiasaan, banyak faktor yang menguntungkan calon incumbent. Selain tingkat ekstabilitas sedang berada diatas, incumbent juga dapat menyulap program kerja pemerintah menjadi alat “kampanye” terselubung, dan ini secara terirat dapat ditefsirkan curi start.
Oleh karena itu, kewaspadaan DPRA (kelompok dominan) terhadap situasi ini sangat beralasan secara politik. Walaupun ZAIM diperkirakan akan kuat dikalangan struktur PA/KPA, karena ada sosok Muzakkir Manaf sebagai ketua, dan Zaini tokoh GAM tua, namun kelebihan Irwandi sebagai calon incumbent juga patut diperhitungkan, apalagi bebrapa survey yang dilakukan mengarah kepada irwandi.
Kemudian situasi ini berlanjut sampai pada munculnya wacana penundaan pilkada. Terlepas dari “konflik internal” ini, dan melepaskan sebab-musabab munculnya wacana penundaan pilkada, ada beberapa hal yang dapat dicermati, diantaranya, jika pilkada ditunda, secara otomatis, Aceh dan 17 kab/kota akan dipimpin oleh Penjabat (Pj). Bagaimana dampak jika Aceh dan 17 kab/kota tersebut dipimpin oleh Pj?adakah dampak yang sangat signifikan?
Jika hanya ditingkatan Gubernur, Aceh sudah pernah dipimpin Pj Gubernur Mustafa Abubakar, saat itu perannya menyiapkan sampai terpilihnya Gubernur Defenitif. Jika sebaliknya, menjalankan pemilihan kepala daerah ditengah situasi politik yang berdampak pada pergesekan sosial dikalangan arus bawah?
Berhubungan atau tidak, situasi politik Aceh akhir-akhir ini memanas, mulai dari pertentangan elit, hingga pembakaran rumah, situasi ini penting untuk diperhitungkan. Curi strart kampanye yang dilakukan calon incumbent juga menjadi salah satu pemicu terciptanya gap politik yang lebar.
Agaknya, dalam konstelasi politik Aceh kekinian, wacana penundaan pilkada dengan pertimbangan situasional dapat menjadi alternatif untuk menciptakan Aceh yang aman, selama tidak menggganggu kepentingan masyarakat. Penundaan pemilihan kepala daerah dan membiarkan Aceh dipimpim Pj gubernur tidak akan mengganggu proses pembangunan dan menjaga perdamaian berkelanjutan.
Sebagai lembaga legislatif yang akan mengontrol pemerintah aceh, keberadaan DPRA dapat menjadi strategis dalam pengkondisian situasi politik aceh kedepan. Keberadaan kelompok mayoritas di DPRA yang juga sebagai kelompok yang masih memiliki kekuatan sampai kearus bawah dapat dipahami sebagai langkah kompromis.
Jika ketakutan Pj Gubernur merupakan “titipan” jakarta, maka keberadaan DPRA dapat mengimbangi, sehingga peluang untuk “ingkar” dapat diminimalisir. Jika strategi surut selangkah ini mampu diciptakan, bukan tidak mungkin akan diikuti oleh daerah lain, seperti peluang calon independent, yang dimulai dari aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar