Senin, 25 Juli 2011

Politik Srigala, atau Srigala politik?


Politik Srigala, atau Srigala politik?
Oleh : Alja Yusnadi*
Perdebatan antara Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh kian meruncing, kedua lembaga tersebut saling berbalas pantun politik dimedia massa. Perdebatan pelaksanaan pemilukada di Aceh menyisakan KIP dan DPR Aceh sebagai penjaga gawang kedua kesebelasan. Dimana KIP sebagai lembaga pelaksana pemilihan berada pada kesebelasan yang memperjuangkan agar pemilukada terlaksana sesuai dengan jadwal, sementara DPRA, khususnya pansus III yang diberi mandat untuk merumuskan qanun pemilihan gubernur/wakil gubernur, walikota/wakil wali kota, dan bupati/wakil bupati sebagai keseblasan yang menentang putusan KIP dan terindikasi untuk menunda pemilukada serta “mendiskualifikasi” calon independen dari kompetisi.
Sebernarnya ada beberapa tim lagi yang ikut berkompetisi dalam liga Pemilukada kali ini, seperti Pemerintah Pusat, gubernur aceh (Irwandi Yusuf), wakil gubernur aceh (M. Nazar). Sebagai kelompok pemerintah, ke 3 keseblasan terakhir baik secara terbuka maupun diam-diam, langsung maupun tak langsung bersikap mendukung KIP Aceh. Dalam kompetisi yang akan memperebutkan kepala daerah ini DPRA menjadi “musuh” dari beberapa kontestan lain. 

Situasi politik tersebut menggambarkan bagaimana tercerai-berainya aktor-eksekutor kebijakan diaceh dalam memandang sesuatu permasalahan. Semangat kebersamaan yang sempat dibangun pada tahun 2006 melalui Jaringan Demokrasi Aceh (JDA), berbagai kelompok, baik itu DPRA, Civil Society, akademisi, jurnalis, unsur pemerintah bersatu untuk merumuskan dan memperjuangkan UU tentang Aceh, yang kemudian disahkan oleh DPR RI menjadi UU. No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan aceh. Bahkan, satu-satunya rapat Pansus DPRA yang dapat dihadiri oleh CSO dalam sejarah DPRA hanya saat mengadvokasi UU-PA.
Romantisasi JDA menempatkan kepentingan aceh diatas kepentingan pribadi/kelompok. Berbagai kelompok yang terlibat mampu mengorientasikan arah pembangunan aceh pasca perdamaian. Aceh menjadi keuramat saat itu, upaya penggalangan opini untuk menyusun materi UU-PA masif hingga ke perguruan tinggi. Kelompok yang berkepentingan disaat itu sangat kompromis. 

Disaat aceh masih dalam situasi konflik, dan diawal perdamaian, aceh mampu membangun sebuah entitas politik yang mengakomodir kepentingan berbagai kelompok. Namun, disaat kucuran dana besar mengalir ke aceh, Undang-Undang ke khususan aceh telah lahir, beberapa keistimewaan telah diberikan pusat, namun aktor aceh gagal dalam membangun komunikasi politik yang dapat menaungi banyak kelompok.

Tujuan utama perdamaian bukanlah menguasai aset-aset vital, menguasai kepala daerah dan mengumpulkan pundi-pundi uang. Meningkatkan taraf hidup rakyat aceh melalui pemanfaatan sumber daya alam dan keuangan dengan terarah dan terencana menjadi hakekat daripada perdamaian. Dalam logika konflik manapun, penyebab utama konflik adalah ketimpangan kebijakan dan kesejahteraan. Pada fase kedua perdamaian sangat rentan kembali pada titik nol, dalam range waktu perdamaian, aceh saat ini berada pada fase kedua, sehingga diperlukan upaya preventif untuk menjaga aceh tetap berada pada situasi damai.

Banyak pekerjaan untuk menjaga perdamaian yang belum terlaksana. Salah satu sektor yang dapat memperkuat pekerjaan itu adalah menuntaskan kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan publik, jika sudah sepakat menempatkan UU. No. 11 tahun 2006 sebagai landasan/pijakan dalam membangun aceh, ada Sekitar 59 rancangan qanun aceh yang dimandatkan oleh UU tersebut. Sejak tahun 2007 hingga pertengahan 2011, DPRA baru menyelesaikan sekitar 22 qanun aceh yang diamantkan oleh UU-PA.
Pada situasi seperti ini, yang sangat dibutuhkan adalah kesamaan cara pandang berbagai kelompok politik dalam melihat aceh, sehingga dalam penerjemahan aturan tidak terjadi konflik and interes.

Eksekutif-Legislatif Aceh Bersatulah!
Untuk tahun 2011, DPRA melalui Badan Legislasinya telah menetapkan 31 rancangan qanun prioritas, namun sampai saat ini belum ada satu pun yang berhasil diparipurnakan, kecuali qanun APBA (per 21 Juni 2011). Hal ini menjadi salah satu indikator lemahnya kemampuan DPRA dalam hal legislasi.
Dalam hal budgeting, DPRA juga masih belum disiplin. Pengesahan APBA pada akhir April adalah salah satu bukti nyata. Berdasarkan hasil pemantauan, fokus DPRA dalam melaksanakan pembahasan R-APBA 2011 ini berlangsung optimal pada bulan April 2011. Aceh pun mendapat gelar “provinsi paling telat mengesahkan APBA 2011 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia”, ini menjadi preseden buruk bagi pemerintahan Aceh dalam menjalankan roda pemerintahan. 

Fungsi Pengawasan yang dilakukan DPRA juga belum siginifikan. Selama ini pengawasan lebih kepada pengawasan teknis, misalnya pengawasan pembangunan jalan dan  jembatan, dan sifatnya seporadis.  Namun bagaimana pengawasan sektor lainnya, ini menjadi perhatian penting bagi DPRA kedepan. Mutu  pendidikan aceh masih berada di urutan bawah, besarnya anggaran dinas pendidikan tidak serta-merta dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Bagaimana dengan pengawasan sektor kesehatan, anggaran yang dialokasikan disektor ini jumlahnya besar tapi jumlah orang yang sakit atau tingkat kesehatan masyarakat Aceh memiliki kualitas kesehatan rendah. Ini ditunjukkan dengan ramainya masyarakat yang sakit atau masyarakat yang memanfaatkan program JKA. Dampak ini juga akan berpengaruh pada proses pelayanan rumah sakit yang akhirnya masyarakat tidak mendapat pelayanan optimal dan juga kurangnya sarana-prasarana pelayanan kesehatan.

Berdasarkan Pasal 23 UU No. 11 tahun 2011, tugas pengawasan DPRA adalah melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun Aceh dan peraturan perundang-undangan lain, melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Aceh dalam melaksanakan program pembangunan Aceh, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta penanaman modal dan kerja sama internasional.

Alat kelengkapan DPRA, seperti Badan Kehormatan Dewan belum berjalan optimal, hal ini mengakibatkan lemahnya pengawasan internal DPRA. Unsur Pimpinan juga perlu bersikap tegas terhadap anggota dewan dan panitia khusus (Pansus) yang diberikan tanggung jawab untuk merumuskan materi qanun. Pansus III yang bertugas merumuskan materi qanun pemilukada sudah diperpanjang masa kerja selama 2 kali oleh pimpinan DPRA. Hal ini dapat dinilai sebagai bentuk ketidak tegasan unsur pimpinan dalam mendelegasikan wewenang kepada pansus.

Beberapa Fraksi tidak memanfaatkan keberadaannya di DPRA sebagai penyeimbang terhadap Fraksi mayoritas, sehingga transformasi informasi ke publik di kuasai oleh fraksi mayoritas. Dalam beberapa rencana kebijakan yang di follow-up oleh media massa, seperti Qanun APBA, Qanun Pemilukada, Qanun Wali Nanggroe yang sering menanggapinya adalah anggota DPRA dari fraksi mayoritas. Kondisi seperti ini berdampak negatif terhadap kualitas kebijakan yang akan dihasilkan.
Rendahnya produktivitas kinerja parlemen ini menjadi cerminan dari peranan partai politik dalam melakukan pendidikan bagi kadernya. Untuk menginterfensi kinerja anggota parlemen juga dapat melalui fungsi pengawasan partai politik. Dalam implementasinya, Parpol harus memiliki sistem pendidikan dan pengkaderan yang berbasis pengetahun “legislastif” bagi setiap calon anggota legislatif yang akan diusung. Parpol juga harus menjadikan tolak ukur berbasis kinerja dalam melakukan pengawasan terhadap akdernya yang duduk di parlemen.  

Disisi lain, eksekutif juga “macet”, ditahun terakhir masa kepemimpinannya sebagai gub/wagub Aceh, Irwandi Nazar belum mampu membawa aceh kearah yang lebih baik. Sebagai eksekutor kebijakan sebenarnya peran pemerintah aceh sangat strategis dalam menjaga perdamaian aceh, tentunya dalam merumuskan kebijakan yang berpihak kepada rakyat.
Akhirnya, siapapun yang keluar sebagai pemenang dalam kompetisi politik ini-tentunya tidak dengan memangsa setiap yang berlawanan(srigala)-harus mampu membawa aceh kearah yang lebih baik, tentunya melalui peningkatan sektor ekonomi, pelayanan kesehatan yang dapat diakses oleh masyarakat, pendidikan yang bermutu, menciptakan lapangan kerja, dan mengarahkan pemanfaatan sumberdaya yang ada diaceh untuk kemaslahatan masyarakat, bukan memperbanyak double cabin!

*Penulis adalah Analis Kebijakan Publik di Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar