Melanjutkan Perdamaian Aceh
Oleh : Alja Yusnadi
Hampir tidak ada orang yang tidak sepakat jika aceh tetap dalam keadaan aman dan damai. Sudah cukup konflik yang terjadi puluhan tahun (dihitung mulai 1976-2005) menjadi pelajaran bagi kita semua. Dimana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi barang langka yang tidak dijual dibumi Iskandar Muda ini. Perdamaian telah berhasil diraih, pekerjaan selanjutnya adalah mengisi perdamaian.
Damai bukanlah kotak kosong yang tidak bergerak, damai harus diisi!.salah satu pihak yang bertanggung jawab untuk mengisi perdamaian aceh demi keberlanjutannya adalah pemerintahan aceh. damai harus mampu memberi ruang gerak bagi rakyat untuk mengakses kesejahteraan. Pemerintahan aceh, baik eksekutif maupun legislatif memiliki tanggung jawab konstitusional dan moral kepada masyarakat aceh. maju mundurnya perdamaian sedikit banyak dipengaruhi oleh tangan mereka.
Selain situasi aman dan perdamaian, pengorbanan besar masyarakat aceh selama konflik menghasilkan dokumen perjanjian (MoU) Helsinki dan UU Pemerintahan Aceh (UUPA). Naskah legal tersebut bukan merupakan hadiah dari Pemerintah Pusat, oleh karena itu patut dihayati dan dilaksanakan semaksimal mungkin, ke-khususan didalamnya harus mampu dimanfaatkan untuk membayar hutang masa silam. sejatinya, dua dokumen ini tidak hanya menjadi lembaran kertas buram yang disimpan diatas meja kerja penguasa, tapi harus mampu diartikulasikan dalam kehidupan masyarakat. UU PA tidak hanya dipakai untuk men-justifikasi kepentingan politik saja, parsial.
UU PA tidak hanya mengatur mengenai politik, pilkada atau partai politik lokal saja. Lebih jauh, UU PA memberikan ruang kepada pemerintahan aceh untuk mengatur aceh, selain yang menjadi kewenangan pusat. Pengungkapan sejarah masa lalu menjadi sangat penting untuk merawat ingatan semua orang. Pembantaian manusia dinegara lain diabadikan dan oleh bangsa jerman dicatat sebagai sejarah hingga kita diaceh dapat mengetahuinya. Jerman tumbuh menjadi negara maju, konflik yang sama tidak terulang.
Pemerintah Aceh seharusnya mendokumentasikan arsip, monument yang berhubungan dengan konflik aceh, memasukkan dalam pelajaran sekolah. Sejarah aceh harus dirawi kedalam buku, tidak hanya dari mulut kemulut, agar generasi aceh kedepan dapat mengetahui apa yang pernah terjadi diaceh, dan dapat mengantisipasinya. Pemenuhan hak korban konflik juga jadi sangat mendasar yang harus segera diselesaikan.
Saat ini, beberapa aktor politik menarik kepentingan aceh kepusaran politik electoral. Perdebatan mengenai UU PA ditonjolkan dalam perebutan kekuasaan. Padahal masih banyak hal yang harus dibenahi dan dikerjakan. Situasi itu dikemas mendekati mencekam.
Belajar dari beberapa daerah konflik, fase perdamaian yang berkisar antara 5-10 tahun masih rawan, berpeluang untuk set back kekondisi semula. Sebagaimana pemicu awal konflik adalah kesejahteraan yang diskriminatif, tidak merata antara ibukota negara dengan provinsi pinggiran, mengakibatkan terjadinya pemberontakan dengan negara. Saat ini aceh sedang dipimpin oleh orang aceh sendiri. Eksekutif dan legislatif Aceh dikuasai oleh mantan pejuang aceh. Hancur atau berkembang akibat ulah orang aceh sendiri. Nasib perdamaian juga berada ditangan orang aceh sendiri, terutama penguasa.
Dengan peluang yang ada, pemerintahan aceh harus mampu menjamin kesejahteraan masyarakat, APBA harus diarahkan kepada pembangunan ekonomi rekakyatan. Jangan malah sebaliknya, menjadikan APBA sebagai ajang bagi-bagi uang untuk para penguasa, pencurian uang rakyat secara sistematis. jika ini tidak dilakukan, bukan tidak mungkin akan ada “pemberontakan” lagi, tidak dengan pemerintah pusat, namun pemberontakan horizontal, pemberontakan sosial, dalam skala kecil masyarakat apatis terhadap pemerintah aceh.
Pemerintah Aceh melalui SKPA nya diharapkan mampu menjadi pelayan publik disemua sektor. Perencanaan RKA tahun 2011 juga harus dipersiapkan dengan matang. DPR Aceh masih memiliki tugas pembahasan 28 qanun lagi yang menjadi rancangan qanun prioritas tahun 2011.
Jadi, perkerjaan Gubernur dan DPR Aceh bukan hanya soal Independent atau tidak Independent, jika kedua lembaga negara tersebut terlalu sibuk dengan urusan pragmatis, akibatnya adalah terbengkalai agenda-agenda kerakyatan. jangan sampai perseturuan antar elit berimbas kepada kebijakan publik.
Selain Prolega, yang menjadi mandat regulasi bagi DPRA dan gubernur Aceh adalah 59 qanun aceh yang diamanatkan oleh UUPA. Perturan Pemerintah (PP) tentang Migas, Sabang, dan beberapa PP lainnya harus menjadi perhatian pemerintah aceh. untuk konteks lokal, DPRA berkewajiban untuk menyelesaikan semua qanun tersbut, agar pelaksanaan UUPA dapat maksimal.
Kehadiran PP, Kepres, Perpres juga sangat penting untuk keefektifan UUPA. Untuk mepercepat proses lahirnya peraturan pusat tersebut, pemerintah aceh dapat membentuk tim khusus yang akan merumuskan, mengikuti perkembangan dan memperjuangkan kepentingan aceh dalam rumusan peraturan tersebut.
Aparat penegak hukum juga harus bekerja profesional. Kepolisian harus mampu memberikan rasa aman kepada masyarakat aceh. beberapa peristiwa kekerasan/penembakan, terakhir kasus penembakan yang menewaskan Amiruddin Husen (Cagee) harus diungkap setuntasnya. Penyebaran anggota kepolisian sampai ketingkat Sektor hendaknya mampu menertibkan kemananan.
Partai politik hendaknya memberikan peran kontrol terhadap perwakilannya yang ada di DPRA Aceh. pengontrolan berbasis kinerja itu penting untuk memastikan setiap produk kebijakan berkualitas. Parpol juga hendaknya melakukan recal yang berbasis kinerja.
Ulama melalui khutbah-khutbannya juga berperan penting untuk menjaga perdamaian aceh, masyarakat aceh, lembaga non pemerintah, bahkan masyarakat secara luas. Akhirnya, marilah kita jadikan damai ini sebagai landasan untuk menuju aceh baru, aceh yang masyarakatnya sejahtera, dan berada dalam situasi aman, damai dan tenteram.
Penulis adalah analis kebijakan dan Manager Program Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF),
Pernah dimuat di Opini Serambi Indonesia, edisi ; Rabu, 27 Juli 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar