Minggu, 14 Agustus 2011

Yang Tersisa Setelah Perang


Yang  Tersisa Setelah Perang
(Refleksi 6 Tahun MoU Helsinki)

Oleh : Alja Yusnadi

Perdamaian bukanlah hadiah!.Perdamaian adalah proses.  Mengutip kata Prof. Dr. Kamarulzaman Askanda, seorang Penyelaras Unit Penyelidikan dan Pendidikan untuk Perdamaian (Peace Unit USM-Malaysia), perdamaian bukanlah matlamat akhir yang ingin dicapai tetapi juga merupakan peta perjalanan yang memberikan tunjuk arah kepada perjalanan ini.
Fakta perdamaian Aceh (GAM dengan RI) tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Berawal dari sini, penataan aceh kedepan dilanjutkan. Walau tidak termasuk kedalam hirarki perundang-undangan Republik Indonesia, MoU merupakan pondasi pembangunan aceh yang damai berkelanjutan. MoU mengamantkan terbentuknya Undang-undang yang mengatur tentang Aceh. Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintah di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006 (point 1.1.1 MoU Helsinki). 

Sebagai konsekwensi dari nota kesepahaman, Pemerintah Indonesia melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melahirkan sebuah undang-undang yang mengatur tentang aceh (UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh), yang prinsipnya telah diatur dalam point berikutnya dalam MoU Helsinki (Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi-point 1.1.2 MoU).

Sebagai proses, perdamaian ini mendapat tantangan tersendiri, baik dari dalam maupun dari luar. Beberapa politisi memandang sinis terhadap upaya yang dilakukan Jusuf Kalla bersama rekan saat itu. Ketua DPP PDI-P, Tjahyo Kumolo menyatakan “Perundingan Pemerintah dengan GAM diluar negeri seharusnya sudah dihentikan. Kami tetap meminta TNI/Polri melakukan pengamanan di NAD dari gerakan separatis yang merongrong kedaulatan NKRI. DPR dalam rekomendasinya sudah tegas menolak dialog, harusnya pemrintah tidak mengakui GAM sebagai sebuah negara diwilayah NKRI (Detik. Com, 12 Juli 2005). 

Hidayat Nur Wahid, Ketua MPR saat itu tidak setuju dengan proposal pihak GAM mengenai pembentukan partai lokal karena bertentangan dengan UU 31 tahun 2002 (suara pembaharuan, 15 Juli 2005).  Bahkan, Effendy Choyri, anggota Fraksi PKB mengecam Jusuf Kalla, dan meminta untuk bertanggung jawab terhadap kesepakatan yang telah dicapai. 

Agaknya, yang ditentang oleh kaum Nasionalis yang mencoba menjadi body guard pancasila, dan menggorogotinya disisi lain adalah mengenai kehadiran partai politik lokal dan keberadaan perundingan di luar negeri, dan pengakomodiran warga aceh yang diluar negeri.  Setali tiga uang, akademisi “pusat” juga berpandangan hampir sama dengan politisi. Cipta Lesmana dari Universitas Pelita Harapan memandang kehadiran partai lokal akan menghancurkan NKRI, karena parpol lokal akan memperjuangkan daerahnya (Suara Pembaharuan, 21 Juli 2005). 

Saat ini partai politik lokal telah lahir dan sedang menapakkan kaki dijagad perpolitikan aceh. Parlok bersandar pada UU No. 11 tahun 2006. Keberadaannya dijamin pada level Undang-undang, urutan kedua dalam hirarki perundang-undangan Indonesia setelah Konstitusi.
Ada secercah harapan dari transformasi media pejuangan. Parlok diyakini dapat meneruskan pejuangan, mendefenisikan kesejahteraan masyarakat aceh dan mantan kombatan. Waktu terus berlalu, enam tahun merupakan waktu yang tidak terlalu pendek untuk mengukur keberhasilan perjuangan tersebut. 

Disengaja atau tidak, peristiwa Gambit di Aceh Timur (Serambi Indonesia, 09 Agustus 2011) menjadi fenomena yang seharusnya tidak terjadi. sekelompok bersenjata yang mengatasnamakan perjuangan untuk korban konflik, janda konflik dan anak yatim merasa ketidakadilan. 

Prof. Antoni Reid dalam bukunya Asal Mula Konflik Aceh mengulas, salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perlawanan rakyat aceh terhadap negara asing adalah mengenai penguasaan jalur perdagangan(ekonomi-kesejahteraan). Pihak kerajaan berhasil mengaduk emosi masyarakat untuk mengobarkan perang melawan kafir. 

Bentangan sejarah yang begitu panjang, seharusnya menjadi pelajaran bagi penguasa aceh sekarang. Kesejahteraan masyarakat merupakan aspek pertama yang harus dipenuhi. MoU , UUPA, dan Perdamaian bukan lah akhir dari perjuangan, justru sebaliknya, ketiga hal tersebut harus menjadi awal dalam menata aceh yang lebih bermartabat kedepan. Kekhususan yang diatur dalam UUPA harus mampu diaktualisasikan kedalam kebijakan yang mengikat masyarakat dan penguasa.

MoU tidak hanya menjadi bahan kampanye saat Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Kepala Daerah saja. Secara simbolik penting untuk mendekatkan bahasa MoU dengan masyarakat, upaya ini untuk merawat ingatan orang aceh. subtansialnya pemegang mandat kekuasaan harus mampu mengaktualisasikan semangat dan konten yang dikandung didalamnya.

Paling tidak, ada beberapa point MoU yang perlu diperhatikan kembali, proses reintegrasi mantan kombatan ketengah masyarakat dengan ditopang akses ekonomi. Kesejahteraan yang merata, dapat diakses oleh semua mantan kombatan merupakan kunci pengelolaan. Berbeda dengan proses reintegrasi pasukan DI/TII, dimana pemerintah memberikan pendapatan tetap kepada mantan pasukan melalui penggabungan kedalam institusi militer negara, sehingga proses reintegrasi melalui mempermudah akses ekonomi bagi mantan kombatan membutuhkan managerial profesional dan memenuhi rasa keadilan, dengan demikian tidak terjadi kecemburuan sosial.

Untuk menangani pelanggaran Hak Asasi Manusia semasa konflik, MoU mengamanatkan terbentuknya pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) diaceh (point 2.2 dan 2.3) yang sampai saat ini kedua instrumen tersebut masih menjadi impian para korban konflik, dan tidak bagi penguasa. Narapidana dan tahanan politik yang ditahan akibat konflik juga harus dibebaskan semua. 

Setidaknya, ini menjadi pengingat terhadap beberapa pekerjaan rumah yang belum selesai. Bukan pula menjadikan perdamaian, MoU, dan UUPA sebagai berhala yang dapat membungkam semua kritikan dan saran. Tapi sebaliknya, dengan adanya ketiga modal tersebut dapat membangun aceh, bukan membangun segelintir elit aceh. sudah selayaknya masyarakat aceh menikmati hikmah 6 tahun perdamaian dan hikmah 66 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Jika tidak demikian, maka yang tersisa setelah perang adalah perang kembali. 

Penulis adalah analis kebijakan dan Manager Program Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF),

Tidak ada komentar:

Posting Komentar