Selasa, 20 September 2011

Loe, Gue, End!


Loe, Gue, end!
Oleh : Alja Yusnadi
Sejak beberapa waktu terakhir, istilah “loe, gue, end” sedang trend. Istilah yang dipopulerkan oleh Jesica Iskandar dalam salah satu acara ditelevisi swasta. Istilah itu untuk menggantikan perumpamaan yang berarti pengakhiran sebuah hubungan. 

Mario teguh dalam program Golden Way nya juga mengangkat istilah ini sebagai topik bahasan, walau pria yang melayani orang dengan kata-kata bijak ini mengulasnya lebih luas, tidak hanya mengakhiri dari satu hubungan lawan jenis saja, tapi sampai kepada mengakhiri suatu kondisi yang buruk. Terinspirasi dari istilah tersebut, penulis hendak menyesuaikannya dengan situasi sosial yang sedang terjadi di Aceh. 

Sebagai mana dikhabarkan oleh media massa, berbagai peristiwa yang meremuk-redamkan jiwa telah terjadi di Aceh. Disektor politik, perselisihan antara DPRA dengan Pemerintah Aceh terus berlanjut. Fungsi chek and balance memang semestinya harus berjalan diantara kedua lembaga penyelenggara pemerintahan tersebut, namun yang dipertentangkan tidak lebih dari kepentingan sesaat dan kelompok terbatas saja. 

Sementara, pengelolaan sumberdaya APBA yang dibebankan kepada pemerintah aceh melalui Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) tidak mendapat pengawalan serius dari DPRA, fungsi chek and balance tidak berjalan, bahkan Dinas Bina Marga Cipta Karya (BMCK) dan Dinas Pendidikan Aceh yang mendapat gelontoran dana paling besar lepas begitu saja dari pantauan dewan. 

Informasi sementara, DPRA tidak membahas lagi qanun Pemilihan Gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil walikota, dengan alasan qanun yang tidak mendapat kesepakatan bersama antara legislatif dan eksekutif tidak dapat dibahas dalam masa persidangan yang sama (qanun no. 3 tahun 2007 tentang Tatacara Pembentukan Qanun), walau tidak tegas disebutkan kapan berakhir masa persidangan sebelumnya. Sementara, dalam beberapa kali pertemuan setelah pengaduan ke Jakarta oleh berbagai pihak, qanun tersebut akan dibahas kembali, karena landasan pelaksanaan pemilukada adalah dengan qanun, sementara qanun sebelumnya sudah tidak aktual. 

Diawal perselisihan, kerap dugaan dipicu oleh naiknya calon incumben. Bahkan, dalam pertemuan informal dengan salah seorang anggota DPRA, pilkada siap dilaksanakan besok asal tidak ada calon independent. Terlepas dari alasan pembenar mengenai penjagaan UU No. 11 tahun 2006 yang diyakini sebagai “kitab suci” aceh, sengkarut pilkada dipengaruhi oleh naiknya kembali Irwandi Yusuf sebagai calon gubernur aceh dari calon independent. 

Penolakan Irwandi bertoak belakang dengan latar belakang dan sejarah naiknya Irwandi Yusuf yang berpasangan dengan M. Nazar pada pemilukada 2006 lalu yang mendapatkan dukungan dari eks kombatan dilapangan. Sekarang situasinya sudah berubah, 180 derajat, bahkan melebihinya, ya itulah realita politik, yang susah ditebak. 

Selanjutnya, peristiwa yang mengguncang bathin siapa saja yang masih berhati nurani adalah pemukulan khatib. Kasus ini menjadi headline dibeberapa media lokal, bahkan media nasional juga menerbitkannya. Pemukulan tersebut dapat dilihat dari dua sisi, pertama dari sisi khatib, jika memang betul pengakuan beberapa jama’ah bahwasanya khatib melakukan kampanye dan menjelek-jelekkan salah satu kelompok, barangkali walau bukan sertifikasi, perlu penyesuaian dan pendidikan terahadap Khatib jumat.

Dalam situasi perdamaian fase II ini, aceh sangat rentan untuk kembali kebelakang, salah satu cara yang dapat mengantisipasinya adalah melalui peran khatib. Setiap jumat, disetiap mesjid, disetiap pelosok gampong hingga ke penjuru kota, khatib menyerukan pentingnya sikap damai untuk menjaga perdamaian diaceh, atau meyampaikan bagaimana islam dalam menyikapi perdamaian ; perdamaian dalam islam, bahkan islam adalah kedamaian. Kehadiran Khatib bukan untuk menimbulkan keresahan jama’ah. Akan tetapi, sikap jama’ah yang memukul khatib diatas mimbar juga tidak ada alasan pembenar. Mesjid adalah rumah Allah, tempat beribadah, jangan nodai dengan kegelapan syahwat politik. 

Peristiwa pemukulan yang berkait dengan dengan aktifitas khatib diluar mimbar sebagai ketua Muhammad Nazar Center (MNC) pidie merupakan kecelakaan politik. Hendaknya, dalam proses politik siapa saja dapat mencalonkan dan dicalonkan. Setiap penduduk (kecuali yang dibatasi oleh undang-undang) memiliki hak untuk menyalurkan pilihan politiknya. Menjadi tim sukses atau tim pemenangan salah satu kandidat merupakan bagian dari bentuk penyaluran aspirasi politik.

Sebanarnya UU. No. 11 tahun 2006 atau yang lebih populer dengan sebutan dengan UUPA pada intinya adalah perdamaian. Melalui kelebihan, kekhususan aceh yang diatur dalam UU tersebut tujuan utamanya adalah menjaga aceh tetap dalam situasi damai. Apalagi MoU Helsinki, pengaturan didalamnya adalah mengenai perdamian. Oleh karena itu, bagi siapa saja yang menjunjung tinggi UUPA dan MoU Helsinki, maka seyogyanya untuk menjunjung tingi perdamaian melalui sikap yang tentunya harus damai pula.
Salah satu poin penting yang ada dalam MoU adalah mengenai reintegrasi. Penyatuan kembali mantan pejuang  ketengah-tengah masyarakat. sehingga pasca MoU pembauran sudah selayaknya terjadi, tidak ada lagi dikotomi “menyoe kon ie leuhob, meunyoe koen droe gop,” tidak ada masyarakat kelas 1. Selama konflik bersenjata, orang aceh dapat mendefenisikan dan mengidentifikasi identitas, sehingga perjuangan pola gerilia dapat bertahan. Sekarang, setelah damai, pengelompokkan “awak tanyoe” menjadi sangat kecil dan terbatas. Bahkan yang dulu bersama-sama, memberikan nasi bungkus tidak lagi menjadi awak droe.
 
Kedepan, untuk kepentingan aceh yang lebih besar dan jangka panjang, seluruh stakeholder harus mampu mengkonsolidasi diri untuk merumuskan grand desain aceh. sebab kekhususan aceh rupanya berjangka, tidak selama-lamanya. Reintegrasi sosial sudah selesai dilakukan, sehingga semua mendapat perlakuan yang sama dihadapan hukum. Jika ini mampu dilakukan, peristiwa pemukulan bupati oleh kontraktor, pemukulan kepala dinas, intimidasi pejabat publik dapat diminimalisir, karena tidak adala lagi pihak yang merasa sebagai pihak pemilik daerah dan warga kelas 1.

Pemerintah yang sehat dan berwibawa tidak akan lahir dalam situasi lemahnya penegakan hukum dan kepastian hukum. Di aceh selatan, sudah beberapa kali Kepala daerahnya diancam pukul, atau dipukul, pejabat pelelangan juga demikian. Dilevel provinsi Kadis Bina Marga dan Cipta karya juga pernah mendapat “teror” demikian. Bisa dipastikan hampir setengah dari total kabupaten diaceh perlakuan demikian acap terjadi. 

Walau pihak kepolisian mengatakan situasi keamanan masih standar, tapi berdasarkan beberapa kejadian pembunuhan, perampokan, pengeroyokan, dan tindak kekerasan terus terjadi, ini menjadi warning.
Pentingnya kesadaran dan kesediaan para pempimpin, golongan menengah keatas dan masyarakat untuk mengindentifikasi “awak tanyoe” untuk kepentingan aceh bukan kelompok yang terbatas, jika tidak demikian, perdamaian hanya akan menciptakan elit baru, orang kaya baru, golongan menengah baru, dan tetap menyisakan masyarakat sebagai objek, sejak dari konflik hingga sekarang, dan itu seburuk-buruk keadaan. Setidaknya, sesama aceh tidak saling mengatakan ; Loe, gue, end!.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar