Oleh: Alja
Yusnadi, S.TP.,M.Si
Satu, diantara keunikan orang Aceh adalah kuliner. Aceh
memiliki beragam kuliner, diantara yang paling terkenal adalah kuah beulangong.
Daging sapi atau kambing dimasak pakai bumbu khas, didalam kuali besar
(beulangong), sehingga masakan ini populer dengan sebutan kuah beulangong. Rasa
nya juga menggugah selera, kalau datang tamu dari luar, kebanyakan diarahkan untuk
menyantap kuah beulangong.
Hal selanjutnya adalah Kenduri. Di Aceh begitu lekat dengan
kenduri, mulai dari dalam kandungan, hinga meninggal, orang aceh menyambutnya
dengan kenduri. Sebut saja misalnya kenduri Meukawen (menikah), mulai dari
pakat tuha/ninik mamak, pakat rame, hingga intat linto, preh dara baro.
Selanjutnya kanuri jok bu bidan, peutron aneuk/peucicap hingga meusunat.
Ketika orang meninggal dunia, ahli bait juga
menggelar samadiah (tahlilan) hingga tujuh malam berturut-turut (ada juga
daerah yang hanya sampai 3 malam). Kesemuanya itu tidak jauh-jauh dari kenduri.
Bahkan, dalam penamaan penanggalan, hampir tiap bulan diwarnai dengan kenduri.
Begitu juga dalam mendamaikan para pihak yang
berselisih, biasanya sanksi adat juga dalam bentuk makanan, seperti bu leukat
(ketan), ie kupi (kopi), kameng (kambing), dan seterusnya.
Dalam menyambut hari besar ummat islam, masyarakat
aceh merayakannya dengan kenduri, seperti maulid, menyambut puasa, lebaran (mak
meugang).
Praktik kuah beulangong di rumah kenduri menjadi
kebiasaan di Aceh. Rasanya, kurang lengkap jika kenduri tidak menyediakan kuah
beulangong. Dibeberapa tempat, kuah beulangong yang di olah oleh kaum laki-laki
ini menjadi menu utama di hari pesta.
Selain soal “tamah darah” ada beberapa hal lain yang
dapat kita ambil hikmah dari Kuah Beulangong di rumah kenduri. Mulai dari
proses memotong, mengiris, hingga memasak, masyarakat (terutama anak muda)
bergotong royong memasak kuah beulangong.
Dibawah komando ketua pemuda, para pemuda
mengelompokkan diri menjadi kelompok kecil dalam menyiapkan kuah beulangong,
semua bekerja sesuai bidang. Biasanya, hanya pada bagian dapur yang tidak di
gotong royongkan, dipegang oleh orang ahli. Hal ini untuk menjaga cita rasa
kuah beulangong, karena disitulah takar-menakar, racik-meracik bumbu terjadi.
Walau kelihatan sepele, berikutnya dari proses kuah
beulangong ini yang tidak boleh di pegang oleh sembarang orang adalah yang “mat
aweuk”, harus yang sudah terlatih. Tugas utama dari yang “mat aweuk” adalah
memastikan setiap tamu bagian belakang mendapat kuah beulangong.
Biasanya yang menunggu kuah beulangong ini adalah
orang sekampung dan anak muda. Bisa dibayangkan, jika yang “mat aweuk” tidak
bisa memprediksikan jumlah piring dan jumlah persediaan kuah beulangong?.
Jokowi dan
Kuah Beulangong
Sejak menjadi Presiden 2014 lalu, Jokowi sudah
beberapa kali berkunjung ke Aceh, dan menurut catatan, Jokowi pula presiden
yang paling banyak berkunjung ke Aceh, dan Jokowi juga yang suaranya paling sedikit
di Aceh pada pemilihan Presiden 2019 lalu.
Sebenarnya, antara Jokowi dan Aceh memiliki nilai
sejarah, karena, dimasa mudanya, Jokowi pernah bekerja di Aceh (Aceh Tengah). Dan
di periode pertama mejabat, Jokowi juga teah membangun infrastruktur di Aceh. Modalitas
ini tidak cukup untuk memutus mata rantai politik identitas yang hampir saja
membelah bangsa ini, akhirnya Jokowi diganjar 14 persen suara di Aceh.
Angka 14 persen ini juwalah yang membuat Plt.
Gubernuh Aceh, Nova Iriansyah meminta maaf pada Jokowi pada saat menghadiri
kenduri kebangsaan, di Bireun beberapa hari yang lalu.
Dengan penuh percaya diri, dan dibalut dengan baju
kemeja bewarna merah, Nova memulai “jurus lobi” dengan mencoba untuk menyentuh
hasil pilpres tahun lalu, baru kemudian meminta presiden untuk memperpanjang
dana otsus aceh, dan meminta beberapa program pembangunan.
Jokowi merespon dengan mempertanyakan, apakah
pengelolaah APBA dan APBK selama ini sudah tepat sasaran?. Presiden menyebutkan
anggaran 17 Triliun (APBA) ditambah lagi APBK merupakan anggaran yang besar.
Pertanyaan tersebut sangat berdasar. Sampai hari ini
Aceh masih menyandang status sebagai provinsi termiskin di Sumatera, dan nomor
enam se Indonesia. Pertanyaannya adalah, apakah masalahnya semata dianggaran
yang kurang? Atau pengelolaannya yang tidak tepat?
Sebagaimana filosofi kuah beulangong tadi, setelah
semua elemen berjibaku, pada akhirnya distribusinya ada pada yang “mat aweuk”. Bersama
dengan DPRA, Gubernur Aceh berperan sebagai “tukang mat aweuk”. Nova lah yang
mempunyai otoritas untuk membangun aceh saat ini, mengeluarkan aceh sebagai
provinsi termiskin se sumatera.
Ganjalan sudah tentu ada. Baik kawan maupun lawan
sudah barang tentu mendekati “tukang mat aweuk”, membisikkan dengan kode
tertentu. Akan tetapi, sebagai pemegang otoritas, tentu distribusi normal harus
dilakukan, Gubernur memastikan program APBA menyentuh kebutuhan dasar
masyarakat aceh.
Atau, masih juga harus kita serahkan “aweuk” itu
kepada Jakarta?
![]() |
Alja Yusnadi bersama Juliari P Batu Bara (Mensos) |
Tulisan ini sudah pernah dimuat di:
https://anteroaceh.com/news/politik-kuah-beulangong/index.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar