![]() |
Kantor DPRA (Fhoto Internet) |
Oleh: Alja Yusnadi,
S.TP.,M.Si
Jika
ada beberapa persoalan aceh kekinian, maka harus dimasukkan salah satunya konflik
Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DPRA. Setelah dilantik akhir 2019 lalu, lembaga
legislative tersebut belum juga mencapai kata sepakat dalam menentukan komposisi
AKD. Sekilas, Nampak DPRA terbelah menjadi dua kubu.
Pengelompokan
atau kubu tersebut diawali dengan deklarasi Koalisi Aceh Bermartabat (KAB) II
yang terdiri dari Partai Aceh, Gerindra, PAN, PKS, PNA yang selanjutnya
dilanjutkan koalisi di parlement dan mengambil jarak dengan Pemerintah Aceh. Sisanya
koalisi pemerintah yang terdiri dari fraksi Partai Demokrat, Golkar, PPP, dan
PKB-PDA.
Puncaknya,
pada saat sidang paripurna penentuan komposisi AKD, koalisi pemerintah menumpuk
anggota di komisi V dan VI untuk memenangkan voting pemilihan ketua komisi.
Namun strategi itu dibaca oleh KAB, melalui ketua DPRA, akhirnya sidang
paripurna si skor.
Pada
saat lanjutan paripurna,komposisi yang dibacakan tanpa perwakilan koalisi
pemerintah, dan koalisi pemerintah tidak menerima. Apakah ada hubungan atau
tidak, aksi KAB tersebut direspon oleh pemerintah aceh dengan tidak memberikan
Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA) tahun 2020 kepada DPRA.
Menjawab
surat DPRA yang ditandatangani oleh Ketua yang meminta dokumen DPA kepada
pemerintah aceh, Sekda Aceh membalasnya dengan menyampaikan bahwa tidak ada
kewajiban Pemerintah Aceh untuk memberikan DPA kepada DPRA.
Kemudian,
tidak ada Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) yang menghadiri undangan rapat
DPRA, dengan dalih tatib dan AKD DPRA belum sesuai dengan aturan
perundang-undangan. Dan, Pemerintah Aceh belum melembar daerahkan tatib DPRA.
Jika
kita telusuri lebih dalam, sikap Pemerintah Aceh tersebut sebagai respon dari
DPRA yang dimotori oleh KAB. Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah merupakan ketua
Partai Demokrat, yang di DPRA marasa di kucilkan oleh KAB.
Secara
komunikasi politik, tentu ini pesan kurang bersahabat dan menimbulkan gejolak
dalam pengelolaan Pemerintahan Aceh. Koalisi taktis yang dibangun nampak
zig-zag. Koalisi yang terbentuk, baik KAB maupun pemerintah begitu cair, tidak
ada pertalian yang begitu dekat.
Biasanya,
koalisi terbentuk berdasarkan ada persamaan faltform
idiologis yang akan diperjuangkan di parlement atau berdasarkan dukungan
disaat pilkada. Jika dilihat secara idiologis, jelas sangat berbeda antara PA
dengan PKS atau Demokrat dengan PPP. PA merupakan partai politik local yang
secara legalitas perjuangan keacehan, sementara PKS merupakan partai nasional.
Begitu juga halnya dengan Demokrat dengan PDA, dimana Demokrat merupakan partai
nasionalis dan PDA partai local.
Jika
kita merujuk kepada partai pengusung Irwandi-Nova, seharusnya koalisi terbangun
adalah Demokrat, PNA, PKB, PDA dan PDI Perjuangan. Namun dalam konflik AKD ini
nampak sekali rumusannya tidak sebangun.
Pun
demikian, sebagai dinamika politik, persinggungan kepentingan adalah hal yang
lumrah. Namun, jika sudah berlarut dan bertele-tele ini sudah menampakkan
gejala yang tidak baik untuk kepentingan Aceh kedepan.
Sejak
dilantik, DPRA nyaris tidak bisa menjalankan peran pokok nya dengan baik;
Penganggaran, Pengawasan dan Legislasi. Aktivitas habis untuk menyelesaikan
urusan internal. Padahal, pemerintah aceh terus berjalan, DPRA harus
menjalankan peran pengawasan, agar kegiatan yang telah disepakati antara DPRA
dan Gubernur dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Lucunya
lagi, disatu sisi kita ingin mandiri sebagai pemerintahan yang diatur khusus
melalaui Undang-Undang No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, namun disisi
lain, konflik elit Aceh harus berulang-ulang di konsultasikan dengan
kemendagri. Terkini, Kemendagri mengembalikan persoalan AKD ini menjadi urusan
internalnya DPRA.
Seharusnya,
pembagian kekuasaan lokal harus bisa diselesaikan secara kompromis di tingkatan
Aceh. Bagaimana mau memperjuangkan hal yang lebih besar untuk pembangunan Aceh
kedepan, bagaimana mau membangun bargaining dengan pemerintah pusat, bagaimana
mau meminta dilanjutkan dana otsus, jika untuk mengurus hal domestic saja tidak
bisa.
Perlu
sinergitas dalam membangun Aceh. Semua pihak harus terlibat, tidak boleh ada
dominasi satu kelompok tertentu. Lihatlah bagaimana sejarah mencatat, tahun
2006, advokasi bersama Rancangan Undang-Undang Tentang Aceh. Pada saat itu,
menghasilkan beberapa naskah, yang dibuat oleh Perguruan Tinggi, GAM, dan
Masyarakat Sipil.
Pada
saat itu, semua komponen di Aceh bersatu; Mahasiswa, GAM, Perguruan Tinggi,
Ulama, Dayah, Kelompok masyarakat sipil, tidak ada kepentingan yang tidak
diakomodir, tujuan pada saat itu adalah Presiden dan DPR harus mengesahkan
Undang-undang yang mengatur tentang Aceh, dan hasilnya adalah lahirnya
Undang-undang No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Barangkali,
Wali Nanggroe bisa memanggil kedua belah pihak dan memberikan solusi yang
memenangkan keduanya. Jika ini tidak diselesaikan, dampaknya adalah lemahnya
posisi DPRA, baik keluar maupun kedalam. Persoalan selanjutnya adalah tidak
efektisnya DPRA dalam menjalankan fungsinya.
![]() |
Alja Yusnadi bersama Putri Pertamanya AY. Kalea Geumala Inseun |
Tulisan ini Sudah pernah dimuat di :
https://anteroaceh.com/news/politik-saling-sandera/index.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar