Minggu, 06 Maret 2011

Ayo Bertani!


Oleh :Alja Yusnadi 
PEMERINTAH Aceh sedang giat-giatnya menumbuhkan semangat investasi di Aceh. Mulai dari tour ke berbagai negara, sampai menggait “investor” untuk mencengkram modal di Aceh, seperti Aceh Summit (Aceh International Business Summit (AIBS)) baru-baru ini. Jerih payah tersebut telah menelurkan keringat-keringat investasi, sektor yang banyak dilirik adalah pengerukan sumberdaya alam, semisal emas, bijih besi, dan kandungan mineral lain di perut bumi.

Di tengah kegetiran pemerintah, hasil sementara justru jungkir balik. Simak saja, data yang disajikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, dari seluruh provinsi, Aceh berada pada urutan ke 3 yang memiliki kabupaten yang masih berstatus tertinggal (Viva News.com). Dahsyat Bukan? Untunglah, pemerintah dan elit, memiliki kearifan tersendiri untuk “memaklumkan” keadaan semacam ini; sedang meniti, masa transisi. Upaya untuk menarik Aceh dari jurang ketertinggalan harus diapresiasi, namun kicauan pagi di media massa acap kali berhenti di kertas buram yang dijilid spiral.


Sebagai daerah yang baru saja keluar dari mulut dan rahang bencana; konflik dan tsunami, ribuan pasang mata, dalam dan luar negeri terbelalak ke Aceh, dana pun mengucur hampir dari setiap penjuru mata angin. Sebagian lain yang lebih pokok, sumber keuangan yang dikelola pemerintah juga lumayan besar, dana “plat merah” APBA sebaran umumnya menyentuh proyek fisik, sedikit saja yang mengena pemberdayaan, dan hasilnya pun dapat dilihat, belum lagi “cilet-cilet” nya kegiatan non-fisik, yang larinya terbirit-birit, dikejar maop dan mafia.


Di pengujung masa, dana plat merah tak dapat diserap maksimal, walau telah digenjot dan disulap sedemikian rupa, hingga mirip wayang. Dalam paripurna DPRA, melalui pendapat akhir fraksi terhadap perhitungan APBA 2009 dan LKPJ Gubernur 2009, banyak proyek fisik yang bermasalah, seluruh fraksi serentak mengatakan bermasalah. Beberapa hari sebelumnya, kepala pemerintah Aceh telah memberi lampu kuning kepada beberapa SKPA, begitulah hendak buang hajat, baru cari jamban.

Pemberdayaan produk sektoral
Aceh, bukan saja dari budaya dan etnik yang beragam. Masing-masing kab/kota memiliki produk unggulan, yang itu sudah berjalan sejak dulu dan selaras dengan kebiasaan masyarakat setempat. Agaknya, pemerintah Aceh penting untuk memajukan, dan menyertakan unggulan sektoral dalam gagasan Aceh Summitnya atau gagasan menggait investor yang lain. Tapi, perlu diingat, bukanlah investasi yang diberi ruang kepada pemilik modal untuk menguras dan melahap untung sebesar-besarnya, dengan mengebiri hak dan kedaulatan masyarakat setempat.

Dalam hal itu, kawasan Aceh yang berada di dataran tinggi Gayo, memiliki komoditi unggulan seperti kopi, tanaman holtikultura. Kawasan timur memiliki unggulan varieatas padi, selatan barat memiliki Nilam, Pala, dll. Aceh kepulauan (Simeulu, Sabang, Pulau Banyak, dll) memiliki potensi laut dan pariwisata. Untuk mengidentifikasi data ini yang lebih akurat, Pemerintah Aceh pastilah memiliki instansi yang memang digaji untuk keakuratan data dan penyebarannya. Untuk memajukan, memberdayakan produk atau komoditi unggulan ini, Pemerintah Aceh memiliki peran yang lumayan besar. Apalagi, Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Provinsi diberikan mandat untuk pemajuan tersebut.

Kejelian dan ketepatan dalam mengelola hasil alam non-tambang, akan memberi dampak kesejahteraan kepada masyarakat melebihi sektor tambang. Sebagaimana sekarang, di tengah hiruk-pikuknya proses penambangan, berbagai persoalan sosial telah muncul ke permukaan.

Pola pembangunan Aceh ke depan, harus peka terhadap sektor pertanian, karena sebaran wilayah dan potensi sektor pertanian masih memberi ruang untuk kesejahteraan masyarakat, tanpa harus mengeruk perut bumi. Apalagi jika menyimak berita beberapa hari terakhir tentang naiknya harga beras, dan petani terpaksa membeli beras akibat produksi menurun (Serambi Indonesia, 27/1/2011).

Fenome tersebut seharusnya dapat menjadi refleksi bagi pengambil kebijakan. Jika hal tersebut tidak mendapat perhatian serius, bukan tidak mungkin, Aceh sebagai salah satu lumbung beras pada suatu saat akan mengimpor beras.

Dari beberapa persoalan tersebut, sudah seharusnya pemerintah Aceh untuk mereorientasikan program ke depan. Apalagi, di awal tahun ini, APBA belum disahkan, masih ada waktu mengusulkan program yang dapat memicu pertumbuhan sektor riil, dan memperkuat sektor pertanian dan perkebunan.

* Penulis adalah Ka.Div Advokasi kebijakan pada Lembaga Achenese Civil Society task Force (ACSTF). Alumnus Teknik Pertanian Unsyiah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar