Oleh : Alja Yusnadi
Akhir-akhir ini, wajah sebagian Kota Banda Aceh semakin karuan saja sembrautnya. Ditengah gencarnya program “Visit Banda Aceh” yang dicanangkan oleh Wali Kota bersama jajarannya, disitu pula warga Banda Aceh di beri kado istimewa, nyaris setiap hari, warga yang berada disekitar lampineung, Darussalam, Banda raya, dan beberapa wilayah lain yang masuk kedalam “Debu dan Macet Area” menikmati debu, dan kemacetan.
Kado yang membawa bencana ini merupakan ekses daripada kegiatan proyek pembangunan saluran drainase kota. Sebagaimana kita lihat, dimulai sejak tahun 2010 lalu, sebagai salah satu kota yang hendak menuju kosmopolitan atau metro politan, Banda Aceh hendak disulap dan disetarakan dengan beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Medan, Makasar, dan kota-kotalainnya di Indoneisa. Rupanya, salah satu aspek yang hendak dibenahi adalah soal drainase, permasalah serupa juga sedang menghantui masyarakat di beberapa kota besar tadi.
Sebenarnya, pembangunan drainase kota merupakan salah satu terobosan yang patut diapresiasi, karena selama ini beberapa kawasan, seperti Neusu dan sekitarnya menjadi langganan banjir, baru hujan beberapa jam, air diperempatan lampu merah Neusu sudah seukuran knalpot kendaraan roda dua, padahal Neusu hendak diproyeksikan menjadi salah satu kawasan perdagangan di Banda Aceh.
Malangnya, Proses yang dilalui dalam pembangunan drainase ini berubah menjadi bencana kiriman bagi masyarakat yang berdomisili disekitarnya dan bagi penggunan jalan. Berbagai persoalan baru muncul. Dalam pelaksanaanya nampak sekali tidak dilaksanakan dengan profesional, beberapa material drainase di letakkan sampai menghabiskan setangah badan jalan, sehingga memgganggu pengguna jalan, beberapa alat berat bahkan menghambat/menutup jalan.
Untuk mengantisipasi gangguan lalu lintas ini, pihak pelaksana proyek mengalihkannya ke jalan-jalan kecil, atau layaknya disebut gang sempit, beberapa diantaranya hanya jalan setapak. Dampak dari pengalihan jalan yang kacau ini adalah semberautnya jalur lalu lintas, bahkan kerap menimbulkan insiden kecelakaan.
Persoalan lainnya adalah banyaknya debu yang berseliweran disekitar areal pembangunan drainase. Masalah ini dapat berakibat buruk bagi pengguna jalan dan warga yang berdomisili disekitar areal pembangunan drainase, apalagi bagi balita, dapat menggganggu kesehatan, terutama saluran pernafasan.
Proses pembuatan Drainase ini nampaknya tidak dilaksanakan dengan profesional dan penuh tanggung jawab. Hal tersebut diperparah dengan rusaknya jaringan saluran air PDAM, dan Tumbangnya Travo listrik PLN. Dalam hal ini, nampak sekali tidak ada komunikasi yang baik antara instansi pemerintah kota dengan perusahaan pelaksana kontruksi. Dalam skala lebih luas pola pembangunan di kota banda aceh cenderung ala “Tampal Sulam”, masing-masing pihak jalan sendiri, maka tidak asing kita menyaksikan nyaris setiap bulan terpajang papan pengumuman “Maaf, Perjalanan anda terganggu, ada perbaikan jalan”.
Sebagi contoh, beberapa bulan yang lalu, di salah satu sudut kota banda Aceh ada proyek pengerjaan penambahan badan jalan dari semen (bukan aspal), tidak lama berselang, diarea yang sama ada proyek pembuatan jaringan drainase, sehingga badan jalan tersebut harus dibongkar kembali. Begitu juga halnya dengan jaringan PDAM. Dalam pengerjaan proyek “mega debu” drainase ini juga kerap mengganggu jaringan penyuplai air bersih PDAM, dampaknya, beberapa titik pelanggan perusahaan Air “Plat Merah” itu tidak dapat mendapat suplai air bersih dan mengganggu aktifitas keluarga.
Untuk melihat langsung, ada baiknya Walikota dan Anggota DPRK Banda Aceh sesekali melintasi areal tersebut. Pasti akan banyak cerita menarik yang didapat disana dan menjadi referensi lapangan untuk pengambilan kebijakan, sehingga kedepan dapat membuat penanganan terpadu dalam setiap proyek yang di prediksikan akan menghasilkan limbah debu, bukan malah saling lempar tanggung jawab.
Walaupun Proyek Drainase tersebut tidak bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota (APBK) Banda Aceh, namun pemerintahan, baik itu eksekutif dan legislatif harus bertanggungjawab terhadap dampak yang ditimbulkan setelah pengerjaan proyek tersebut. Beberapa kasus yang terjadi dapat diantisipasi jika Pemko Banda Aceh dari awal sudah mewanti-wanti pihak pelaksana proyek dan membangun pola relasi dan komunikasi yang baik antara Pemko dengan Pihak pelaksana proyek, pasti akan mengurangi dampak-dampak negatif, seperti terganggunya jaringan suplai air PDAM, jikapun jaringan air tersebut masuk kedalam peta Drainase, maka dengan cepat pihak PDAM yang merupakan struktur dari Pemko Banda Aceh akan bergerak untuk memperbaiki, sehingga tidak mengecewakan pelanggan.
Oleh Sebab itu, sebagai pemegang kuasa di wilayah Kota Banda Aceh, penting kiranya bagi Walikota untuk memperhatikan hal tersebut, agar niat baik membangun drainase tidak menjadi masalah baru bagi warga kota banda aceh, semoga dengan cekatannya Walikota beserta jajarannya serta di sokong oleh DPRK, keberhasilan proses pembangunan drainase ini dapat menjadi contoh bagi kota-kota lian, dan tentunya dapat menyokong program Pemko yang hendak menjadikan Banda Aceh sebagai kota kunjungan, baik manca negara maupun regional melalui Visit Banda Aceh 2011. Jika tidak cekatan, bukan tidak mungkin program Visit Banda Aceh akan berubah menjadi Visit Debu dan Macet.
Penulis adalah Kepala Divisi Advokasi Kebijakan Acehnese Civil Siciety Taks Force (ACSTF) dan Sekjend Mahasiswa Peduli Keadilan (MPK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar