Oleh : Alja Yusnadi*

Dalam konteks Aceh, agaknya konflik bersenjata yang terjadi antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia dalam rentang waktu sejak diproklamirkan GAM Desember 1976 sampai dengan penandatanganan nota kesepahaman pada Agustus 2005 melingkupi defenisi yang disampaikan Luthans. Dimana dua Kelompok saling bertentangan karena adanya perbedaan pendapat tentang pendefenisian Aceh, dan berujung pada permusuhan.
Dengan memakai pola berpikir sederhana saja, konflik yang berlangsung hampir 30 tahun tersebut pasti menimbulkan dampak negatif, terutama bagi masyarakat yang tidak terlibat secara aktif dalam pertentangan.
Sejauh ini, berbagai usaha telah dilakukan oleh kelompok masyarakat untuk menghadirkan KKR di Aceh. Anggapannya, melalui instrumen ini keadilan bagi korban dapat terwujud, dan dapat menjawab persoalan yang selama masih tersembunyi didasar kesadaran sosial masyarakat Aceh.
Mulai dari mewacanakan ditingkat pengambil kebijakan, hingga mendampingi masyarakat korban. Puncak dari perjuangan untuk menghadirkan Instrumen penyelesaian dampak pelanggaran HAM itu, pada tahun 2008, beberapa Organisasi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Komite Pengungkapan kebenaran (KPK) telah menyerahkan Draf Rancangan Qanun tentang KKR, tapi nyatanya, dua tahun sudah berlalu, jangankan jadi Qanun, untuk menjadi rancangan qanun prioritas program legislasi saja KKR tida masuk.
jika dilihat lebih jauh, ada beberapa penyebab KKR ini masih menjadi Bola Liar, sangking liarnya tak dapat ditangkap oleh pengambil kebijakan, dan juga KKR tidak dapat menjadi Issue Politis yang dapat mendongkrak popularitas, KKR juga tidak mendatangkan uang bagi para pengambil kebijakan.
Pembatalan UU No 27/2004 tentang KKR oleh mahkamah konstitusi pada awal Desember 2006 menjadi salah satu alasan politik dan menjadi ketakutan sendiri bagi Pemerintah Aceh. Sebagaimana disebutkan dalam UU. No. 11 tahun 2006 tentang KKR Aceh, mengacu kepada Undang-undang. Ada asumsi, jika KKR Aceh tidak bersandar pada UU KKR Nasional, maka KKR Aceh tidak dapat menghadirkan pelaku yang berada diluar Aceh. Sikap gamang tersebut juga terlihat dari Parlemen Aceh, dimana qanun tentang KKR tidak termasuk kedalam Program Legislasi Aceh (Prolega) yang akan dibahas pada tahun 2010.
KKR juga dianggap tidak menjadi issue seksi dan populis sehingga tidak dapat diekploitasi menjadi agenda politik. Untuk memperkuat sangkaan ini, beberapa Anggota dewan acap melontarkan statement bahwa KKR dapat membangkitkan luka lama, padahal, jika DPRA sebagai pemegang mandat rakyat dapat melakukan langkah-langkah yang dapat menerobos kebekuan hukum seperti semangat yang mereka nampakkan dalam menggolkan Rancangan Qanun lembaga Wali Nanggroe menjadi Raqan Usuul inisiatif dewan, kebuntuan nasional tentang KKR dapat diatasi, bahkan dapat menstimulus perumusan UU KKR di Senayan.
Dampak dari ketiadaan intrumen hukum ini adalah, banyaknya kasus penyelesaian korban konflik yang tidak tertangani secara proporsional dan profesional. Diawal Tahun 2011 ini, puluhan korban konflik dari daerah Aceh Besar kembali mendatangani DPRA untuk menuntut dana diat yang sudah tidak dibayar selama beberapa tahun dimasukkan kedalam APBA 2011.
Kasus korban konflik Aceh Besar adalah bahagian kecil dari sekelumit masalah tentang penangan korban konflik. Sebelumnya, sejak tahun 2007, hingga 2010, korban konflik dari Bener Meriah dan Aceh tengah secara bergelombang mendatanngi DPRA dan kantor Gubernur untuk menanyakan hak rumah mereka yang dibangun tidak sesuai spesifikasi, bahkan ada yang sama sekali belum dibangun, menanyakan kebun mereka yang dibakar, dijarah. Dalam proses penanganan, DPRA berdalih tidak mempunyai sumber anggaran untuk pembayaran dana diat yang dituntut korban konflik dari Aceh Besar.
Sebagai upaya penanggulangan, sebanaranya DPRA beserta dengan eksekutif dapat merumuskan qanun yang mengatur tentang hak-hak korban konflik. DPRA tidak usah terlebih dahulu resisten dengan KKR yang ditawarkan masyarakat sipil. Sebagai lembaga yang berwenang merumuskan qanun, DPRA berhak untuk “mengutak-atik” sesuai dengan konsessus politik yang berkembang di DPRA.
KKR hanya menjadi pintu masuk, bisa saja nantinya nama tersebut dirubah sesuai dengan kesepakatan di dewan. Yang lebih penting dari itu semua adalah menjamin hak-hak korban dari keganasan perang terpenuhi. Jika sudah ada regulasinya, DPRA juga akan leluasa untuk menganggarkan dana bagi korban konflik, seperti dana diat yang dituntut korban konflik Aceh Besar, begitu juga dengan persoalan korban konflik lainnya diseluruh Aceh.
Untuk selanjutnya, mari kita tunggu langkah dari DPRA, apakah pada qanun prioritas tahun 2011 akan dimasukkan sebuah rancangan qanun yang akan mengatur hak-hak korban konflik?, atau justru korban konflik hanya akan menjadi lumbung pada saat pilkada dan pilleg.
*Penulis adalah Kepala Divisi Advokasi Kebijakan pada Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar