Minggu, 06 Maret 2011

Implementasi UUPA : Upaya merawat damai dan pembangunan Aceh berkelanjutan


Implementasi UU-Pemerintahan Aceh : Upaya Merawat Damai dan Pembangunan Aceh Berkelanjutan


Oleh : Alja Yusnadi*


Tepat 15 Agustus 2010, perdamaian aceh memasuki usia 5 tahun. Ibarat bayi, perdamaian terus merangkak mencari format terbaiknya, sehigga pada suatu saat perdamaian yang merupakan buah dari perundingan antara GAM dengan Pemerintah Indonesia bisa berdiri kokoh bersama dengan dinamika sosial, politik, ekonomi yang terus berkembang di Aceh. Sebagai legalitas penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, maka disusunlah sebuah Undang-undang Pemerintah Aceh, sebagaimana diamanatkan oleh Memorandum Of Understanding (MoU) Helsinki yang merupakan dokumen kesepahaman antara GAM dengan Pemerintah Indonesia yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.

 Point 1.1.1 MoU Menyebutkan : Undang-Undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006. Berdasarkan MoU tersebut jelas terlihat bahwa, untuk mengatur tentang Aceh setelah perjanjian damai itu ditandatangani maka diperlukan Undang-undang. Pada Agustus 2006, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menetapkan Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sebelum ditetapkan, Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut terlebih dahulu dibahas di Aceh dengan melibatkan masyarakat sipil dan perguruan tinggi negeri yang ada di Aceh.

UU tersebut mengatur hampir seluruh sektor, mulai dari tatakelola pemerintahan, hubungan Aceh dengan Jakarta (kewenangan), hubungan Aceh dengan Kabupaten/kota, perdagangan dan ekonomi, kelautan, investasi, hingga pengaturan tentang pemerintahan gampong. Dengan banyaknya muatan pasal (273 pasal), tentunya membutuhkan perhatian dan kerjasama berbagai pihak untuk meng-optimalkan pemberlakuan aturan-aturan yang termuat didalam UU tersebut.

Sejauh ini, berbagai kendala telah muncul dalam hal peng-implementasiannya, kepala Pemerintahan Aceh acap kali mengeluhkan tentang belum keluarnya aturan Pelaksana yang direkomendasikan UU Pemerintahan Aceh, Aturan Pelaksana tersebut berupa Peraturan Pemerintah (PP), ada sekitar 6, Peraturan Presiden (Perpres) 3, Keputusan Presiden (Kepres) 3, dan Ketetapan Pemerintah 1. 

Sampai sekarang, dari beberapa aturan tersebut, yang baru lahir adalah 2 PP (PP No. 20 tahun 2007 Tentang Parlok, dan PP Syarat dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekda Aceh dan Sekda Kab/Kota) dan 1 Perpres. Padahal, Diantara PP yang belum disahkan, tergolong penting, seperti PP tentang Kewenangan Aceh dan Pusat (Pasal 4 Ayat 5 UU-PA), dan juga PP Tentang Pengelolaan Migas antara Aceh dan Pusat (Pasal 160 ayat 5 UU-PA), permasalahan terakhir yang mencuat adalah mengenai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Sabang, yang diberitakan oleh media dianulir Pemerintah (Kementrian Keuangan), sebagai reaksinya, Wakil Gubernur M. Nazar langsung menemui Presiden SBY, menteri Keuangan serta sejumlah menteri lainnya.

Disamping itu, UU Pemerintahan Aceh juga merekomendsikan lahirnya Qanun Aceh dan Qanun Kabupaten/kota. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap optimalisasi implementasi UU-Pemerintah Aceh sebagai UU yang diamanatkan kehadirannya oleh MoU Helsinki.

Sebagai daerah yang baru keluar dari konflik bersenjata, Aceh sudah tertinggal diberbagai sektor, baik pendidikan, akses terhadap kesehatan yang layak, maupun pemberdayaan ekonomi rakyat. Salah satu cara untuk memutus matarantai konflik adalah dengan memenuhi hak-hak dasar rakyat Aceh.
Ketiga sektor tersebut (pendidikan,kesehatan, ekonomi) diyakini dapat memperlihatkan peran pemerintah dalam mengupayakan yang terbaik untuk rakyat Aceh. Bahkan, MoU Helsinki memandang penting untuk menanggulangi masalah tersebut dengan memasukkan sektor ekonomi kedalam MoU, tepatnya point 1.3. Apa yang disebutkan didalam dokumen MoU kembali dikuatkan didalam UU Pemerintahan Aceh. Lahirnya UU tersebut merupakan pengakuan Pemerintah (Pusat) terhadap berbagai ke-istimewaan atau ke-khususan Aceh.

Namun, berbagai kelebihan yang terkandung didalam 2 dokumen tersebut (MoU Helsinki dan UU Pemerintahan Aceh) belum berjalan maksimal. Hampir setiap saat media massa menyuguhkan berita tentang pelayanan kesehatan yang buruk di Aceh, bahkan program terobosan pemerintahan aceh melalui Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang menghabiskan anggaran Rp. 241 Milyar menimbulkan banyak masalah. Untuk sektor Pendidikan, angka anak putus sekolah di Aceh pada tahun 2005 berkisar 98.682 orang dari jumlah anak usia 16-18 tahun sebanyak 270.803 jiwa. Angka tersebut terus naik sekitar 14,87% sehingga angka anak putus sekolah  mencapai 161, 751 orang.(Sumber :Waspada Online).

Diusia perdamaian yang ke-5 ini, besar harapan situasi damai, aman, tentram serta  pembangunan aceh yang berkelanjutan terus terpelihara, dengan salah satu indikatornya adalah terpenuhinya hak-hak dasar rakyat, serta perbaikan fasilitas dan pelayanan publik. Salah satu langkahnya adalah mempererat silaturrahmi dan komunikasi, sharing informasi dengan berbagai pihak.

Pentingnya Optimalisasi Peran

Sederet aturan, jika tidak dilaksanakan hanya menjadi coretan yang kian hari kian buram bersama dengan buramnya nasib rakyat lapisan bawah. Sebab itu, pemerintahan Aceh, baik eksekutif, legislative harus mampu menjalankan perannya. DPR Aceh misalnya, hampir setahun masa kerja belum menghasilkan satu Qanun pun, kecuali penetepan APBA. hal ini bisa saja dipersepsikan public sebagai gejala kemandulan dan ketidakseriusan DPR Aceh, padahal setengah dari anggota DPR Aceh merupakan perwakilan Partai Aceh (PA).

Sebagai Partai yang bercikal-bakal dari mantan Kombatan, dimana dulu gandrung menghembuskan angin perubahan untuk Aceh, seharusnya PA menjadi motor dan garda terdepan dalam melakukan perubahan. Jika dulu perubahan dicapai dengan senjata, maka sekarang perjuangan dapat dilanjutkan diperlemen dan pemerintah Aceh. Dengan demikian, “kemerdekaan” yang telah dicapai harus diisi dengan pembangunan aceh secara menyeluruh.

Aceh menderita kerugian besar ketika konflik, baik secara pembangunan (fisik), pembangunan manusia (pendidikan), Akses kesehatan yang layak, maupun pemajuan ekonomi kerakyatan. saat inilah saatnya untuk memacu pembangunan diberbagai sektor tersebut, selagi “kita” sedang berkuasa. Jika pada saat konflik, yang merasa eksesnya bukan hanya “kita” saja, masyarakat yang tinggal di kaki bukit, di pinggir jalan, didesa, dikota, menjadi sasaran empuk, sejatinya pula disaat menikmati aura “kemerdekaan” ini melibatkan masyarakat, tidak hanya “kita”. 

Pemerintah Aceh (eksekutif) juga tidak mampu membangun nilai tawar dengan pusat, disamping lemahnya kinerja SKPA, sehingga Aceh hanyalah sebuah provinsi yang berada diujung barat, tidaka ada beda dengan provinsi lain. Seringnya Pemerintah Aceh berkeluh kesah soal Turunan UU Pemerintah Aceh yang menjadi kewenangan pusat belum seluruhnya tuntas menjadi indikator, betapa Pemerintah Aceh sekarang “lemah syahwat” ketika berhadapan dengan Jakarta.

Dampak yang ditimbulkan bukan hanya itu, Jika kita mengacu kepa “UUD” nya Aceh, banyak soal tentunya disamping yang menjadi kewenangan Aceh harus diatur dengan PP, Kepres, Perpres, sihingga, kealfaan aturan tersebut dapat dipahami “terganjal”nya beberapa isi dalam UU Pemerintah Aceh. Begitulah potret Aceh setelah 5 Tahun “Merdeka”. Selebihnya, marilah menyebut nama tuhan, dan taubat bagi yang telah ingkar!!!



*Penulis adalah Ka. Divisi Advokasi Kebijakan ACSTF, Sekjend Mahasiswa Peduli Keadilan (MPK)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar