Selasa, 08 Maret 2011

Calon Independent, Silahkan masuk!




Laporan : Alja Yusnadi

Tahun 2011 menjadi “terminal” dalam perpolitikan di Aceh. Pada tahun ini, rakyat Aceh akan memilih siapa yang akan memimpin Aceh selama 5 tahun kedepan melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pemilihan kali ini merupakan pemilihan ke-dua setelah Aceh damai. Tahun 2006, atau setahun setelah penandatanganan naskah perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia, melalui pilkada rakyat telah berhasil mengantarkan pasangan Irwandi-Nazar sebagai gubernur-wakil gubernur aceh periode 2007-2012.

Selain pemilihan guberbur dan wakil gubernur, rakyat aceh di 17 kabupaten/kota juga akan memilih Bupati/wakil bupatinya. Sebenarnya, pilkada merupakan salah satu pesta demokrasi rakyat. Kepala daerah, mulai dari presiden (tingkat paling tinggi dalam negara kesatuan Republik Indonesia), sampai ke Geuchik (tingkat paling bawah dalam struktur pemerintahan) merupakan jabatan yang akan mengurus “nasib” masyarakat. Berbagai persoalan masyarakat akan tergantung kepada kemampuan pemimpin tersebut dalam mengelola, dengan kata lain, maju-mundurnya negara ada ditangan mereka. Oleh karena itu, sangat penting kiranya bagi masyarakat sebagai pemegang mandat kedaulatan untuk berhati-hati dan terampil dalam memilih calon pemimpin tersebut.

Dari beberapa referensi, Demokrasi dapat diartikan sebagai bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

Meminjam pengertian yang disampaikan Maswadi Rauf (1997) prinsip utama dalam demokrasi adalah Kebebasan/persamaan.  Kebebasan dan persamaan adalah pondasi demokrasi. Kebebasan di anggap sebagai sarana mencapai kemajuan dengan memberikan hasil maksimal dari usaha orang tanpa adanya pembatasan dari penguasaan. Selanjutnya adalah Kedaulatan rakyat (people’s soverignty), dengan konsep kedaulatan rakyat, pada hakikatnya kebijakan yang dibuat adalah kehendak rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Demikian penting rupanya peranan rakyat dalam terminilogi demokrasi yang sebenarnya!

Calon Independen
Dalam sejarah Negara Indonesia, Aceh sering kali menjadi “Model”, sebut saja misalnya sejarah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berawal dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) nya Aceh, BAPPENAS yang terinspirasi dari BAPPEDA nya Aceh. Untuk “konsep” pemilihan kepala daerah, Aceh juga telah memberikan sebuah terobosan baru.

Pilkada 2006 lalu, merupakan pemilihan kepala daerah secara langsung yang dapat diikuti oleh calon perseorangan (independen), tanpa melalui partai politik, dan ini merupakan barang baru bagi Indonesia. Melalui UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pasal 67, ayat 1, point d, diamana pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil wali kota dapat diajukan oleh perseorangan.

Melihat kekhususan yang diberikan kepada Aceh melalui UU Pemerintahan Aceh tersebut, daerah-daerah lain juga tidak mau ketinggalan, berawal dari Lalu Ranggalawe, salah seorang anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah mengajukan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Hasilnya, melalui putusan MK, calon-calon perseorangan (independent) dapat mengikuti proses pencalonan dalam Pemilihan kepala Daerah di Seluruh indonesia.

Pasca Keputusan MK tersebut, Calon Perseorangan dapat mengikuti proses Pilkada, tidak harus melalui partai politik, dengan cara memenuhi beberapa persyaratan, seperti mendapat dukungan masyarakat yang dibuktikan dengan Fhotocopy KTP.

Nasib bagi Aceh. Disaat calon independent diberikan kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam kancah politik, di Aceh justru dikekang. Undang-undang Pemerintahan Aceh membatasi pencalonan dari jalur independent hanya sekali setelah UU tersebut disahkan. Itu artinya, calon independent hanya berlaku sekali, setelah Pilkada 2006 lalu.

Kondisi ini membuat beberapa aktivis pro demokrasi melakukan Judicial Review ke MK terkait beberapa pasal dalam UU-PA yang dianggap mengangkangi hak politik, dan bertentangan dengan UUD 1945.

Alhasil, melalui keputusan No.35/PUU-VIII/2010, MK membatalkan Pasal 256 UUPA mengenai pembatasan calon perseorangan, karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945.

Pasca putusan tersebut, “Ini adalah kemenangan bagi penggiat demokrasi,” ungkap Sudirjo HS, Sekretaris Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) Aceh Selatan. Masyarakat prodemokrasi menyambutnya dengan sukacita. Namun demikian, ada juga pihak-pihak yang kurang senang, seperti yang diungkapkan oleh Sekjend Partai Aceh beberapa waktu lalu di media lokal, mereka mengganggap MK mengeluarkan putusan tidak bermusyawarah dengan DPRA, seperti diatur dalam UUPA.

Dewan perwakilan Rakyat Aceh terbelah, ada juga yang menggap kehadiran calon independen merupakan hal yang biasa dalam negara demokrasi,” calon independen atau dari partai politik, sama saja, yang penting mampu memimpin dan mendapat dukungan rakyat,” ungkap T. Iskandar Daod, SE, Ak, Anggota komisi A DPRA yang juga Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPRA.

Tarik-Ulur Qanun Pilkada
Nampaknya, DPRA secara kelembagaan juga menarik ulur soal pembahasan qanun Pilkada. Tanpa qanun, KIP sebagai lembaga pelaksana pemilihan tidak bisa bekerja. Hal itu terungkap dalam Focus Group Discusion (FGD) orientasi pergerakan organisasi Masyarakat Sipil Aceh 2011 yang dilaksanakan diruang pertemuan ACSTF. “Sekarang ada indikasi, dewan mengulur waktu untuk membahas qanun Pilkada. Ini harus menjadi ruang bagi elemen sipil untuk bergerak bersama,” ungkap Iqbal Farabi, SH, Aktifis Konsorsium Aceh Baru yang juga Advokat ini.

Hal senada juga disampaikan oleh Agusta MT, Direktur Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI), “Masyarakat sipil harus mengambil ruang untuk mengawal proses calon Independent. KIP tidak bisa bekerja tanpa ada regulasi dari DPRA/Pemerintah Aceh,” ungkapnya. Agusta juga menilai Belum ada sikap yang tegas masyarakat sipil tentang regulasi calon independent, sehingga membutuhkan perhatian bersama.

Setali tiga uang, T.M Zulfikar, aktivis lingkungan ini juga menilai selama ini ada anggapan, yang menghadang calon independen adalah KIP, sementara setelah berdiskusi dengan KIP, mereka mengatakan hanya menjalankan amanah sesuai regulasi yang ada. Begitulah, calon Independen mendapat tantangan yang berat untuk mengikuti Pilkada 2011 ini.

Namun kekosongan itu dinilai oleh Hendra Budian sebagai hal yang biasa, “tidak ada yang perlu ditakuti berlebihan, jika tidak ada qanun, maka dapat digunakan qanun sebelumnya,” ungkap aktivis yang sekarang menjadi politisi ini.

Bagaimana jika qanun pilkada telat disahkan?, kemungkinan adalah Pilkada tertunda, dan ditunjuknya Pejabat (Pj) gubernur dan Pj Bupati/Walikota. Sebagaimana kita ketahui, sebanyak 17 pasangan bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota dan gubernur/wakil gubernur masa jabatannya habis pada februari 2012.  Hal tersebut diungkapkan Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Zainal Abidin SH MSi kepada salah satu media lokal di Aceh (serambi Indonesia).

“jika dalam waktu dekat ini Raqan Pilkada yang sudah diserahkan eksekutif tidak juga tuntas dibahas DPRA alias molor, maka roda pemerintahan di 17 kabupaten/kota plus provinsi berpotensi dijabat oleh kepala daerah berstatus pj. Ini disebabkan tidak adanya pasangan calon pemenang pilkada karena pilkadanya tidak terlaksana tepat waktu,” kata Zainal.

Zainal menyebutkan, qanun pilkada menjadi dasar bagi KIP Aceh untuk menyusun tahapan dan aturan main pemilihan kepala daerah di 17 kabupaten/kota plus gubernur secara serentak.

Hal senada juga pernah dianalisis oleh Otto samnsuddin Ishak, sosiolog yang juga ikut berperan dalam penyelesaian konflik Aceh. “Jika DPRA tidak segera membahas qanun Pilkada, maka kemungkinannya adalah penunjukan Pj oleh menteri dalam negeri untu Gubernur dan Bupati/Walikota,” ungkap pria yang sering mengkritik serdadu dimasa koflik dulu.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua DPRA, Amir Helmi, SH mengatakan, solusi tepat agar Pilkada tidak sampai tertunda adalah dengan dengan segera menyusun program legislasi Aceh (Prolega) 2011. 

Begitulah, gendang demokrasi baru saja ditabuh. Beberapa pelaku politik ingin memangkas dengan nafsu kelompok. Jika Pemilihan Kepala daerah tertunda, maka akan berdampak pada proses pembangunan, karena dengan status Pj, tidak banyak yang bisa dilakukan, hanya menghantarkan sampai terpilihnya kepala daerah defenitif. Masyarakat lagi yang kembali dirugikan.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar