Menggamat ; Konflik Ditengah Toke dan Agen Tambang.
Oleh : Alja Yusnadi*
Jika ada daerah yang sangat rentan semasa konflik, Menggamat adalah salah satunya.Mendengar nama “Menggamat”, yang terlintas di benak adalah pertempuran, kamp latihan militer, dan hal lain yang berbau militer. Pernah, medio 2003, seorang penduduk, babak belur dihajar dalam sebuah pemeriksaan aparat, hanya karena mengantongi KTP Menggamat. Begitulah Nuansa Menggamat semasa konflik dulu.
Menggamat adalah salah satu kawasan yang berada dipegunungan, dulu daerah ini masuk kedalam Kecamatan Kluet Utara, sekarang sudah menjadi Kecamatan sendiri ; Kluet Tengah. Potensi alam dikawasan ini tergolong cukup. Tanahnya yang subur, cocok untuk lahan pertanian. Beberapa komoditi unggulan keluar dari kawasan ini, seperti nilam dan tanaman holtikultura. Masyarakat Kota Fajar(Ibu kota Kluet Utara), Tapaktuan (ibukota Kabupaten Aceh Selatan) dan sekitarnya tidak bisa menikmati sayur-mayur jika masyarakat Menggamat berhenti berproduksi.
Kesuburuan tanah tidak serta merta menjamin tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Sejak genderang “perang” resmi ditabuh di Aceh, masyarakat Menggamat tidak hidup selayaknya manusia merdeka. Menggamat masuk dalam zona merah. Bukan hanya tanah yang subur, pegunungan yang berliku, dengan kecuraman yang tajam, kawasan menggamat menjadi medan latihan bagi Gerakan Kemerdekaan Aceh wilayah Lhok-Tapaktuan.
Sejak saat itu, kehidupan di Menggamat terisolir, apalagi kawasan yang berada diluar ibukota kecamatan. Dalam hal ini, kontribusi warga menggamat luarbiasa, menjadi bulan-bulanan aparat pemerintah.Sejatinya, Masyarakat disana layak mendapat perhatian setelah Aceh damai. Faktanya, miris, kehidupan masyarakat pasca perdamaian tidak banyak perubahan, bahkan pengorbanan yang telah mereka lakukan selama konflik, hilang sia-sia.
Toke tambang Melempar Bara
Setelah damai, apa yang berubah ditengah masyarakat Menggamat?, barangkali, satu-satunya jawaban yang sudah kelihatan adalah tambang. Toke dan agen telah berhasil menghadirkan perusahaan yang sedang mengeruk perutbumi, Menggamat kembali berduka. Aksi brutal toke dan agen tambang telah memperdaya sebagian masyarakat, dengan berbagai cara dan janji manis, mereka telah mampu menghadirkan perusahaan yang dicukongi bandar luar ketengah pemukiman penduduk yang dulu menjadi basis, basis pergerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Sejak kehadiran perusahaan, berbagai upaya penolakan telah dilakukan masyarakat. Mulai dari unjuk rasa mahasiswa di Banda Aceh, unjukrasa di Tapaktuan, hingga penolakan masyarakat terhadap penggunaan jalan negara oleh mobil perusahaan.
Lambat Laun, penolakan masyarakat terhadap perusahaan digiring menjadi konflik sesama masyarakat. Hal ini memang menjadi jurus pamungkas bagi toke dan agen tambang dalam logika konflik tambang, dimanapun dibelahan bumi ini. Penolakan (konflik) masyarakat disekitar tambang dengan pihak perusahaan diputar-balik, masyarakat dijadikan tameng, mereka menggunakan topeng, sehingga konflik tersebut menjadi kohesi sosial, tidak lagi antar individu, masyarakat dengan perusahaan, akan tetapi menjadi konflik kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya.
Tindakan buang badan tersebut berbuntut panjang, puncaknya, selasa (15/2), masyarakat desa koto bersitegang dengan kelompok masyarakat lain (serambi Indonesia/17/2). Penolakan tersebut bukan tidak beralasan, itu bukan jalan perusahaan, tapi jalan negara, kendaraan yang digunakan tidak sepada dengan ukuran badan jalan.
Debu beterbangan dimana-mana, dampak inilah yang melatarbelakangi penolakan. Diyakini, batu yang diangkut dengan kapal laut dalam ukuran besar tersebut mengandung berbagai bahan jenis logam, bukan hanya biji besi saja, sehingga abu materialnya berbahaya tajam, gejalanya sudah nyata, beberapa orang masyarakat setempat harus menjalani operasi mata.
Toke dan agen tambang terus berjelaga, mencari semua celah untuk memuluskan rencana mereka, termasuk harus menggunakan penguasa dan kekuatan dominan lokal, sehingga penolakan masyakarat akan dihadapi dengan cara mengorbankan bidak untuk melindungi raja, dan Menggamat kembali berduka!
Pemerintah, Bek Meu Apam!
Sebenarnya, untuk mengantisipasi gejolak sosial, pemerintah dapat berperan. Hingga benturan sosial terakhir terjadi, nampaknya pemerintah hanya diam dan statement menyesali yang keluar, tidak ada upaya kongkrit yang sudah dilakukan. Bahkan, terindikasi, ada keterlibatan oknum pejabat dalam kasus tambang (PT.PSU) ini, salah satu indikasi adalah, tidak masuknya pajak yang distor PSU ke rekening daerah, itu yang muncul kepermukaan saja, kuat dugaan, masih banyak jenis-jenis “kerjasama” bawah meja lainnya.
Kerusuhan yang terjadi merupakan cerminan dari lambannya pemerintah dalam bersikap, bahkan nampaknya pemerintah tidak mempunyai bargaining position dengan perusahaan, tidak punya nyali, baru-baru ini Tim Pansus DPRK Aceh Selatan ditolak masuk oleh pihak perusahaan. Miris, menjadi pecundang ditanah sendiri.
Pemerintah Kabupaten juga lamban, ciut nyalinya. Tidak ada upaya untuk meredam persoalan. Beberapa kali masyarakat mendatangi kantor pemerintahan untuk menyampaikan aspirasi, sampai hari ini tidak ada kejelasan. Sejarah panjang tentang tambang telah menunjukkan, bagaimana piawainya toke dan agen tambang dalam mengelola konflik, namun pemerintah tidak pernah sadar, masih memberikan izin dengan serta-merta, tanpa kajian sosial yang mendalam.
Dengan kondisi demikian, konflik terus terjadi, bahkan terus meluas, masyarakat terus digesek. Masyarakat disekitar tambang akan berhadapan dengan kelompok masyarakat yang diuntungkan oleh perusahaan. Untuk meredam, pemerintah Kab (eksekutif, Legislatif) harus meninjau kembali izin pertambangan, dengan melakukan kajian sosial lebih mendalam, sehingga tidak mengakibatkan konflik horizontal, atau jika sudah kronis, tutup untuk sementara, sampai konflik redam, jika tidak berbuat, memperkuat dugaan, bahwasanya ada oknum pejabat yang bermain dalam kasus tambang. Apalagi, pihak perusahaan tidak mengindahkan pemanggilan yang dilakukan oleh Pansus DPRK Aceh Selatan.
Para toke dan agen tambang (PT. PSU) harus segera membuat solusi terhadap tuntutan masayarakat, jangan menggunakan bidak untuk mengamankan raja, bersikaplah kooperatif, demi ketentraman dan keselamatan bersama.
Penegak hukum di Aceh Selatan harus lebih peka, kepolisian harus dapat mengamalkan semboyan yang terpampang didepan pentu masuk kantor :mengayomi, melindungi masyarakat, tunjukkan bahwa polisi adalah mitra masyarakat. Dalam hal ini, tidak hanya masyarakat menggamat (desa koto) yang diperiksa, tapi terkait penyerangan rumah masyarakat dan pembakaran rumah kepala desa koto juga harus di periksa. Jadilah penegak hukum yang arif, tegas dan adil terhadap semua golongan, tidak kompromis dengan penguasa dan pengusaha.
Para stakeholder yang terlibat dalam kasus tambang harus lebih bijaksana, jangan hanya memikirkan perut sendiri, mengabaikan kepentingan dan keselamatan masyarakat. Menggamat adalah daerah modal, menggamat telah banyak memberi sumbangan, sudah saatnya para penguasa (sekarang) untuk memperlakukan masyarakat menggamat sebagai manusia yang telah merdeka. Lindungi hak mereka, mereka adalah rakyat aceh, jangan korbankan mereka demi kepentingan sesaat para toke dan agen tambang, semasa konflik mereka entah dimana, masyarakat menggamatlah saudara kita. Jangan biarkan konflik terjadi sesama masyarakat, jika demikian, toke dan agen tambang akan bertepuk tangan. Menggamat sudah cukup “gelap” semasa konflik, sekarang konflik telah reda, biarkan menggamat terang, jangan gelap lagi!.
*Penulis adalah Ka. Div. Advokasi Kebijakan di Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF), dan Ketua DPO HAMAS Periode 2008-2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar