![]() |
Ilustrasi jam malam di Aceh (sumber: Int) |
Oleh: Alja Yusnadi
“Semuanya
tiarap,” begitu ucapan yang keluar dari mulut serdadu disaat menggelar operasi.
Penggalan kalimat yang seringkali kita dengar disaat aceh dalah status Darura
Militer (DM). Himbauan itu tentu dengan intonasi tinggi dan sesekali diikuti
dengan tapak sepatu atau gagang senapan, plak,
melayang.
Dalam
kurun waktu tahun 1999-2004, Aceh memasuki periode kelam. Konflik berkecamuk. GAM
melawan serdadu. Terutama, tahun 2003-2004, dikala Aceh berstatus DM.
Semua
aktivitas dibawah control penguasa DM. Salah satu konsekwensinya adalah
pemberlakuan jam malam. Rakyat Aceh yang sudah dewasa, termasuk pelajar wajib
jaga malam, tempatnya di pos ronda yang telah ditentukan.
Apa
yang dijaga? Setiap ada pergerakan yang mencurigakan harus dilapor kepada pos serdadu
terdekat. Dalam satu malam, anggota jaga harus melapor beberapa kali kepos
serdadu.
Dalam
laporan pertama, meninggalkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di pos serdadu, lalu
diberikan kode senter. Misalnya, tiga pendek tiga panjang (yang pernah ikut
jaga malam semasa konflik pasti tahu dengan sandi ini).
Jika
dalam proses jaga malam ada yang mencurigakan, segera nyalakan senter, jika
tidak dibalas seperti kode yang telah diberikan, itu besar kemungkinan pihak
yang mencurigakan. Dan harus segera melapor ke pos serdadu bahwa ada pergerakan.
Kemudian,
sekira tengah malam, komandan regu (danru) beserta beberapa anggota melaporkan
ke pos serdadu mengenai situasi lingkungan. Yang terakhir, menjelang pagi,
anggota jaga malam mengambil KTP, disertai dengan santapan rohani.
Hal
yang paling tidak mengenakkan adalah, ketika terjadi kontak senjata, sasarannya
adalah yang jaga malam. Ada yang di pukul, direndam, kalau sekedar dibentak
hampir tiap malam.
Begitulah
sekilas, cuplikan jaga malam disaat Aceh dilanda konflik bersenjata. Lama tidak
terdengar, akhir-akhir ini istilah jam malam kembali terdengar. Kali ini bukan
karena konflik bersenjata, namun karena Corona, virus yang tingkat
penyebarannya sudah masuk dalam taraf pandemic, menjangkit banyak negara.
Untuk
“melawan” musuh tak nampak ini, Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda)
Provinsi Aceh mengeluarkan imbauan jam malam. Masyarakat Aceh tidak dibolehkan
keluar rumah setelah pukul 20.30 sampai pukul 05.30 WIB.
"Pengelola kegiatan usaha tidak
membuka warung kopi/cafe, tempat makan dan minum, pasar, swalayan, mall,
karoke, tempat wisata, tempat olahraga, dan angkutan umum pada penerapan jam
malam. Kecuali bagi angkutan umum yang melayani kebutuhan pokok masyarakat,
dilengkapi dengan surat tugas atau dokumen yang menjelaskan aktivitas
kerja," demikian salah satu point dalam maklumat bersama Forkopimda Aceh
itu.
Aceh bukan yang pertama. Sebelumnya,
Kuwait juga sudah memberlakukan jam malam, siapa yang melanggar akan dikenakan
sanksi sebesar 10,000 dinar atau sekitar Rp. 515 juta dan penjara hingga tiga
tahun. Yordania juga sudah memberlakukan jam malam, India, USA, dan beberapa
negara lain.
Apa yang diharap dari jam malam ini?.
Jika kita melihat dari sasarannya, Forkopimda jelas tidak menginginkan ada
keramaian. Sebelumnya, warung kopi dan café adalah tempat yang paling banyak
dikunjungi.
Sebelum seruan ini lahir, pemerintah
Aceh dan kota Banda Aceh telah lebih dulu mengeluarkan kebijakan penutupan
sementara tempat-tempat tadi.
Keramaian, dianggap sebagai salah
satu cara penularan Corona, semakin banyak orang berkumpul, kemungkinan
terjangkit akan lebih besar. Pun demikian, kenapa mesti malam saja?
Dibeberapa wilayah, seperti Wuhan di
China misalnya, bukan hanya berlaku jam malam, namun siang-malam, dua puluh
empat jam. Kota yang disinyalir daerah awal terjangkit Cofid-19 ini mengunci
wilayahnya, tidak ada penduduk yang boleh keluar rumah kecuali aparat yang
telah ditunjuk pemerintah.
Apa hasilnya, China berhasil menekan
angka penyebaran di Negaranya. Dampaknya? Negara wajib menjamin ketersediaan
kebutuhan selama masa ini. Bukan hanya terkait anggaran, namun juga
ketersediaan dan mobilisasi.
Sebagai negara yang menerapkan
system satu partai, tentu China lebih mudah mengeluarkan kebijakan yang
mengikat penduduknya, semua masyarakat harus ta’at dan patuh.
Berbeda dengan di Indonesia, dengan
system demokrasi multi-partai, lebih banyak perdebatan dari pada kepatuhannya,
ini adalah konsekwensi logis dari system demokrasi yang telah kita pilih.
Balik lagi ke jam malam, apa yang
bisa kita harapkan?. Kalau kita lihat, ini adalah bentuk kepedulian pemerintah
untuk memutus rantai penyebaran virus, disisi lain, pemerintah belum siap
dengan konsekwensi ekonomi-sosial, maka jadi lah setengah-setengah seperti jam
malam ini.
Salah satu konsekwensinya, bagaimana
dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat jika tidak boleh beraktivitas
di luar rumah dalam waktu tertentu?. Barangkali, bagi sebagian elit, tentu
secara keuangan tidak masalah, bagaimapula memperoleh beras, sayur, minyak
goreng, susu anak-anak dan kebutuhan poko lain?
Yang paling menyedihkan, yang tidak
memiliki tabungan, mengandalkan dari pendapatan harian, siapa yang akan
memenuhi makan anak dan istri?. Itulah varian lain dan elementer sekali,
persoalan keberlangsungan hidup. Tentu jawabannya adalah pemerintah, baik pusat
maupun daerah.
Pemerintah harus menghitung dengan
sangat cermat, jangan sampai seperti di India, ketika pemerintah mengumumkan
penguncian wilayah, masyarakat antri di swalayan, saling baku hantam, pekerja
migran antri di terminal menuju kampong halaman, chaos pun terjadi.
Sampai saat ini, pemerintah Aceh berdalih
masih menghitung, berapa biaya yang dibutuhkan jika masyarakat harus berdiam
diri di rumah, sebagaimana disampaikan Plt. Gubernur baru-baru ini.
Kita tunggu, apakah kebijakan jam
malam ini sekedar saja, atau akan ada kebijakan lain yang akan keluarkan, semisal
pemenuhan hak dasar. Kalau sekedar jam malam, maka sungguh pemerintah sekarang
tidak lebih baik dari rezim serdadu disaat aceh konflik dulu yang bisanya cuma menyuruh
kita tiarap.
Tiarap dibawah bayang-bayang senapan
dan tiarap dibawah bayang-bayang kuburan masal, dasar, rezim Jam malam!
Tulisan ini sudah pernah dimuat di:
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar