![]() |
Kantor DPRA (Int) |
Oleh: Alja Yusnadi
Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) kembali membuat narasi. Kali ini, politisi yang
tergabung dalam Koalisi Aceh Bermartabat (KAB) kembali berselisih pendapat
dengan politisi Non-KAB, dan dipertontonkan kepada masyarakat.
Diawali
dengan rencana ketua DPRA menggelar rapat paripurna pada hari kamis (26/3)
dengan agenda penyerahan hasil reses dan pembentukan sejumlah panitia khusus.
Sebelumnya,
fraksi-fraski diluar KAB sudah menyatakan penolakan terhadap pelaksanaan sidang
paripurna; Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai
Persatuan Pembangunan dan Fraksi PKB-PDA. Menurut mereka, selain Aceh sedang
berjibaku menangani Corona, paripurna tersebut juga dilaksanakan tanpa melalui
rapat badan musyawarah.
Setelah
menggelar rapat dengan ketua fraksi yang juga dihadiri Sekretaris Dewan
(Sekwan), akhirnya ketua DPRA, Dahlan Djamaluddin membatalkan pelaksanaan sidang
Paripurna.
Kepada
awak media, Dahlan berkilah, bahwa penundaan tersebut berkaitan dengan beberapa
orang anggota DPRA yang terindikasi status ODP (Orang Dalam Pengawasan) Virus
Corona. Sebagai antisipasi agar tidak tertular, maka sidang ditunda
pelaksanaannya.
Pernyataan
Dahlan langsung di balas oleh koleganya sesama pimpinan, yang seharusnya mereka
kolektif-kolegial. Adalah Dalimi, wakil ketua dari fraksi Partai Demokrat
bersuara keras, menurutnya, seluruh anggota DPRA yang melakukan perjalanan
dinas ke Jakarta dan daerah lain yang sudah duluan terjangkit Virus Corona
semua ODP. Termasuk Dahlan, karena ketua DPRA dari Fraksi Partai Aceh ini juga
ada melakukan perjalanan dinas ke Jakarta dan Yogyakarta.
Tidak
lama berselang, pernyataan Dalimi kembali diinterupsi oleh anggota DPRA
lainnya. Zulfadli, anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh menimpali Dalimi. Dia
menuding Dalimi asal bunyi.
Menurutnya,
tidak semua anggota gemar keluar daerah, apalagi disaat negara sedang tidak
kondusif oleh Cofid-19, termasuk dirinya.
Setelah
itu, beredar data di media, 25 orang yang melakukan perjalanan dinas ke Jakarta
dan sekitar. Dalam list itu, semua unsur pimpinan masuk daftar. Namun, data itu
pertanyakan oleh Hendra Budian, pimpinan DPRA dari fraksi Partai Golkar.
Menurut mantan aktivis itu, dirinya belum mengehatui dari mana sumber data itu.
Itulah,
sekelumit dinamika di Daud Beureuh,
lembaga terhormat itu belum juga menyelesaikan masalah Alat Kelengkapan Dewan
(AKD), padahal entah sudah berapa banyak uang negara yang mereka habiskan untuk
biaya perjalanan dinas, konsultasi ke kemendagri.
Apa
yang disampaikan oleh kedua kubu merupakan klaim kebenaran, dua-duanya merasa
benar. Seharusnya, perdebatan yang terlalu panjang ini tidak harus terjadi,
apalagi ditengah gempuran pandemik.
Lanjutan
kisah konflik internal DPRA ini bak
cerita bersambung (cerbung). Seharusnya, sebagai lembaga legislative, DPRA
secara proaktif memberi masukan kepada Pemerintah Aceh langkah apa yang akan
diambil dalam menyikapi penyebaran virus Corona, bukan saling serang dan saling
tuding.
Misalnya
saja, untuk menindaklanjuti arahan mendagri perihal revisi APBD untuk
menanggulangi Corona. Kita belum mendengar atau membaca berita yang berkaitan
dengan itu. Langkah apa saja yang sudah diambil oleh eksekutif dan legislative.
Skenario
apa yang sudah mereka persiapkan dalam menghadapi peunyaket Ta’eun ini?. Bagi mereka, tidak cukup dengan beropini
dimedia, butuh tindakan nyata. Atau sudah ada? Sebaiknya diungkap ke publik,
agar kita tidak menerka-nerka.
Hampir
satu semester setelah dilantik, DPRA belum juga berhasil mencapai kata sepakat
tentang perumusan AKD. Jika alat ini belum rampung, bagaimana DPRA akan
melanjutkan agenda kelembagaan?, karena aturan mewajibkan semua aggota DPRA
harus masuk kedalam AKD.
Kita
tunggu saja, apakah polemik ini dapat segera berakhir dengan adanya pandemik,
atau masih penuh dengan intrik. Yang jelas, rakyat (konstituen) sedang menunggu
langkah strategis dari tuan-puan sekalian.
Tulisan ini sudah pernah tayang di:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar