Oleh : Alja Yusnadi
Judul tersebut saya kutip dari buku
Dr. Ahmad Basarah,”Bung Karno, Islam dan
Pancasila”. Baskara, begitu saya dengar para ketua DPP, termasuk Ketua Umum,
Hajjah Megawati Soekarno Putri memanggil dirinya, menulis buku tersebut setebal 151 halaman yang diperas dari
desertasi doktoralnya.
Baskara merupakan fungsionaris
DPP yang mendalami dan mempelajari sejarah Pancasila ini dari semua sisi,
termasuk “menelusurinya” melalui jalur akademis yang memenuhi kaedah ilmiah. Promosi
Doktoralnya disampaikan dihadapan para professor, dua diantaranya adalah
pimpinan dan mantan pimpinan Mahkamah Konstitusi. Dirinya juga begitu cakap
dalam menjelaskan tentang Pancasila secara oral. Tidak berlebihan jika
menyebutnya “Profesor” Pancasila atau “Jurubicara” Pancasila.
Tulisan ini barangkali tidak
dengan detail membahas tentang Islam, Bung Karno dan juga Pancasila. Tapi
bagaimana ketiganya memiliki korelasi dan mempengaruhi pada nilai-nilai, dan
itu pula yang hendak disampaikan dalam tulisan singkat ini, tentu salah satu
inspirasi dan sumbernya adalah Dr. Ahmad Basarah, tadi.
Islam merupakan agama yang sudah
masuk ke nusantara sejak abad ke tujuh. Dalam perkembangannya, islam diterima
dengan baik di nusantara, terutama di Jawa sebagai pusat pergerakan
kemerdekaan. Serupa dengan Islam, agama-agama lain juga mendapat tempat untuk
berkembang. Dan secara umum kesadaran masyarakat nusantara adalah berketuhanan,
mengakui adanya agama dan Tuhan.
Dengan demikian, para tokoh pergerakan
kemerdekaan saat itu bergerak dengan membawa serta nilai-nilai yang dianut
didalam kepercayaan masing-masing. Begitu juga dengan Ir. Soekarno, selanjutnya
saya sebut Bung Karno. Sebagai salah satu tokoh kunci yang sudah mulai berfikir
dan berbicara kemerdekaan di awal tahun 1900-an, Bung Karno juga dibekali
dengan nilai-nilai spritualitas.
Pada usia remaja (sekitar 15
tahun), ayahnya menitipkan Bung Karno pada tokoh besar islam pada saat itu,
Haji Omar Said Tjokroaminoto. Soal ini, Bung Karno kepada Cindy Adam
menyebutkan bahwa,”Pak Cokro adalah idolaku, aku muridnya. Secara sadar atau
tidak dia telah menggemleng ku,” ucap Bung Karno. Pada tahun-tahun tersebut
Bung Karno mengakui bahwa kontruksi pemikirannya dipengaruhi oleh islam.
Termasuk, salah satu faktor
pendorong Bung Karno dalam bergerak melawan kolonialisme dan imperialisme
adalah nilai-nilai islam yang dipelajari dan dihayatinya ketika itu. Bung Karno
mengartikulasikan pemahaman keislaman kedalam wujud anti pejajah. Ketertarikan
Bung Karno kepada islam juga mendorong dirinya untuk mengikuti tabligh-tabligh
Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadyah. Soal kedekatan dengan Muhammadyah ini,
Bung Karno juga pernah menyampaikan dalam pidatonya pada saat penutupan
Mukhtamar tahun 1962, jika suatu saat dia meninggal untuk ditutupi dengan panji
kebesaran Muhammadyah.
Selanjutnya, Bung Karno juga
dekat dengan pendiri Nahdatul Ulama, KH, Hasyim ‘Asyari. Dalam Mukhtamar NU
tahun 1954 di Surabaya, Bung Karno dianugerahi gelar Waliyul Amri Ad Dharuri Bi Assyaukah (pemimpin pemerintahan di masa
darurat yang mengikat oleh sebab kekuasaannya atau pemegang pemerintahan de facto dengan kekuasaan penuh.
Dari 26 penghargaan akademis, dua
diantaranya menegaskan tentang dimensi keislaman Bung Karno. Gelar Doktor Honoris
Causa yang ke 24 pada tanggal 2 Desember 1964 dari IAIN (UIN) Jakarta dalam
Fakultas Ushuluddin jurusan Dakwah dengan pidatonya yang berjudul “Tjilaka
Negara Jang Tidak ber-Tuhan”. Gelar Doktor Honoris Causa yang ke 26 dari
Universitas Muhammadyah Jakarta pada 3 Agustus dalam Filsafat Ilmu Tauhid
dengan Pidatonya yang berjudul “Tauhi adalah Djiwaku”.
Bung Karno juga memiliki
sumbangsih terhadap islam di dunia internasional. Misalnya, Bung Karno ikut
berperan dalam penemuan kembali makam imam bukhari di Samarkand, Uzbekistan, di
tahun 1961. Bung Karno juga yang mengusul padang arafah ditanami pohon yang
dinamakan “Syajarah Soekarno” atau “Pohon Soekarno”. Bung Karno juga berperan
terhadap hidupnya kembali Mesjid Jamul Muslim (Mesjid Biru) di sebuah negara
komunis yaitu saint Petersburg, Uni Soviet.
Perumusan Pancasila
Dalam proses perumusan falsafah
bangsa, Bung Karno juga memiliki peran besar. Dimulai dengan terbentuknya BPUPK
pada 29 April 1945 yang diketuai oleh KRT. Radjiman Wediodiningrat. Pada masa
siding pertama, lembaga ini focus pada merumuskan Fhilosofisce grondslag, dasar falsafah yang harus dipersiapkan
dalam rangka negara Indonesia merdeka.
Pidato pertama ketua BPUPK
mempertanyakan apa yang menjadi dasar negara yang akan dibentuk ini. Dari
sekian orang yang berpidato, belum ada yang bisa menjawab pertanyaan ketua
tadi, karena ini dianggap penting bagi sebuah negara yang baru merdeka. Disaat
Bung Karno menyampaikan pidato baru mengarah kepada dasar negara, yaitu
Pancasila.
Pada akhir masa persidangan yang
pertama, ketua BPUPK membentuk panitia kecil yang terdiri dari delapan orang
yang bertugas mengumpulkan masukan dari anggota untuk disampaikan pada masa
persidangan kedua, Bung Karno ditunjuk sebagai ketua. Komposisi tim ini terdiri
dari Bung Karno, M. Hatta, M. yamin, A. Maramis, M. Sutardjo Kartohadikoesoemo,
Otto Iskandardinata, Ki Bagoes Hadikoesoemo, KH. Wachid Hayim.
Setelah mengadakan rapat untuk
merumuskan beberapa hal teknis yang akan disampaikan pada masa persidangan
kedua, Bung Karno berinisiatif untuk membentuk panitian Sembilan untuk
menyelidiki usul-usul menganai perumusan dasar negara yang melahirkan konsep
rancangan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Perubahan komposisi panitia delapan menjadi panitia Sembilan karena keinginan
Bung Karno untuk memberikan penghormatan kepada golongan islam dan menjaga
keseimbangan golongan islam dengan golongan kebangsaan.
Tim Sembilan ini diketuai oleh
Bung Karno. Dalam kelanjutannya, memang ditemukan perbedaan pandangan, namun
disepakati pada 22 Juni 1945. Ada beberapa penamaan terhadap hasil kesepakatan
ini, Bung Karno menyebutnya “Mukhaddimah”, M. Yamin menyebutnya “Piagam
Jakarta”, Sukiman menyebutnya “Gentlemen’s Agreement”.
Hasil kerja tim Sembilan ini
disampaikan dalam masa siding kedua. Laporan tersebut ternyata mendapat
penentangan dari anggota BPUPK yang lain, salah satunya adalah Latuharhary. Dia
menyebutkan kata Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi
pemeluknya dapat menimbulkan diskriminasi bagi pemeluk agama lain. Persidangan hampir
menemui jalan buntu. Bung Karno mencoba menjelaskan betapa apiknya perumusan di
panitia Sembilan, dan meminta kepada yang tidak setuju untuk meninggalkan
pendapatnya demi persatuan Indonesia. Hasilnya piagam Jakarta tersebut bertahan
hingga akhir masa persidangan.
Selanjutnya, pada tanggal 18
Agustus 1945 kesepakatan yang terdapat dalam Piagam Jakarta tersebut diubah
pada bagian akhirnya oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Tentang penghapusan tujuh kata tersebut, beberapa tokoh bangsa saat itu memiliki
peran, diantaranya adalah Mohammad hatta. Hatta mencoba meyakinkan tokoh-tokoh
islam untuk mengganti kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
islam bagi pemeluknya” dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Melunaknya
tokoh-tokoh islam pada saat itu harus dipahami sebagai bentuk keluasan pikir,
karena pada saat yang sama tokoh-tokoh diluar islam yang mendiami wilayah timur
Indonesia menganggap diskriminasi, dan berkeinginan untuk berada diluar
Indonesia.
Ternyata, untuk Indonesia tetap
utuh, para pendahulu kita menemukan consensus nasional. Hidup bergandengan
dalam bingkai Negara Kesatuan. Bhinneka Tunggal Ika. Jika tokoh besar seperti
mereka bisa merajut perbedaan, kenapa sampai pada generasi kita harus mencabik
nya?!
*)Penulis adalah Ketua DPC PDI Perjuangan kabupaten aceh selatan
Tulisan ini sudah pernah dimuat di:
https://padebooks.com/islam-bung-karno-dan-pancasila/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar