Oleh : Alja Yusnadi
Selalu
ada cerita dibalik peristiwa. Ditengah upaya pemerintah dan kita semua untuk
memutus rantai penyebaran virus Corona, ada saja perilaku orang (pasien atau
keluarga) yang tidak bertanggungjawab dan menyebabkan orang lain termasuk
tenaga medis celaka.
Baru-baru
ini, beredar kabar di media sosial, seorang pasien yang dirawat di Rumah Sakit
Umum Daerah Zainal Abidin (RSUDZA) menyembunyikan riwayat perjalanannya. Saat
ditanya apakah memiliki riwayat bepergian ke daerah yang sudah terjangkit Virus
Corona, jawabannya tidak.
Alhasil,
pasien dirawat diruang rawat biasa. Bisa dibayangkan bagaimana dampaknya?.
Rupapanya si pasien tadi memiliki riwayat perjalanan ke daerah rawan Corona.
Seketika, tenaga medis yang menangani harus diisolasi.
Ini
(mungkin) bukan yang pertama dan bukan pula yang terakhir. kejadian hampir sama
juga diceritakan oleh salah seorang dokter di Rumah Sakit Umum Daerah
lainnya,”Ada salah seorang keluarga pasien, pergi berkunjung ke Rumah Sakit,
rupanya yang bersangkutan sudah ODP, seharusnya dia isolasi mandiri selama 14
hari, bukannya keluyuran,“Ungkap sang dokter penuh kecemasan.
Cerita
lain, di Kolaka, Sulawesi Tenggara, jenazah Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang
sudah dibungkus plastik, oleh keluarga dibuka dan ramai-ramai menciumnya.
Barangkali, ini tradisi, atau bisa jadi mereka menganggap orang yang sudah
meninggal tidak akan menularkan virus lagi.
Kejadian
serupa juga menimpa salah satu keluarga di Aceh Utara. Keluarga pasien yang
sebelumnya telah ditetapkan PDP oleh RSUDZA membuka bungkusan plastik jenazah,
dan keluarga dan masyarakat tetap memperlakukannya sebagaimana biasa.
Sebagaimana
di sebutkan oleh Sekda Aceh Utara, “Informasi yang kita terima seperti
itu. Warga melayat ke rumah duka seperti biasa. Seandainya EY meninggal
dikarenakan Virus ini bagaimana,” Sebut sekda kepada media, Kamis (26/3).
Jika informasi ini benar, dan jika
kemudian posotif Corona, bagaimana nasib keuarga yang ada bersentuhan lagsung
dengan jenazah?, dan bagaimana nasib pelayat yang bersentuhan langsung dengan
jenazah atau bersalaman dengan pihak keluarga yang sudah bersentuhan langsung
dengan jenazah?
Saya tidak akan menduga-duga,
masing-masing dapat mengambil kesimpulan sesuai pengetahuan atau keyakinan.
Setidaknya, issue tersebut sudah merebak ditengah masyarakat.
Dalam situasi normal, perlakuan
kepada jenazah disebutkan fardhu kifayah
; Memandikan, Mengafankan, Menshalatkan, Menguburkan. Itu kewajiban orang yang
masih hidup terhadap orang yang sudah meninggal dunia.
Tulisan ini hanya memotret peristiwa
sosial, bukan dalam rangka mebahas perkara Fiqh
menangani jenazah disaat krisis.
Cerita
diatas menunjukkan bagaimana peran masyarakat dalam memutus atau menyambung rantai
penyebaran Cofid-19 ini. Barangkali, modusnya berbeda, ada yang takut jika
menyampaikan informasi yang sebenarnya tidak akan mendapat penanganan
selayaknya pasien biasa, bisa juga ketidaktahuan akan dampaknya, mudah-mudahan
saja tidak sengaja berbohong untuk mencelakai orang lain.
Disinilah
peran kita semua. Dipimpin oleh pemerintah semua tingkatan; Presiden-DPR,
Gubernur-DPRD Provinsi, Bupati/Walikota-DPRD kabupaten/Kota, Kepala Desa
(Geuchik)-Badan Permusyawaratan Desa(Tuha Peut). Mereka menyiapkan kebijakan
dengan segala akibatnya.
Ada
tenaga medis (Dokter, Perawat) dan para medis yang secara teknis berada di
garda paling depan penanganan Cofid-19. Mereka ini ibarat pasukan tempur dari
berbagai kesatuan disaat Darurat Militer. Mereka harus dipersenjatai dengan
alat tempur yang canggih.
Pedagang,
membantu masyarakat dengan tidak menimbun bahan pokok dan tidak menaikkan
harga. Pemuka agama menyampaikan hal yang sejuk dan menenangkan kepada pengikutnya.
Jika tidak mengurangi dampak, jangan memperparah dengan berbagai provokasi.
Dan
beberapa profesi lain yang ikut membantu penanggulangan virus Corona, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Yang tidak kalah penting adalah
kesadaran kita semua; masyarakat.
Jika
saja kita semua, memiliki kesadaran tanpa harus dipaksa dengan rasa takut lebih
dahulu, niscaya penyebaran virus ini bisa ditekan. Kesadaran itu harus kita
artikulasikan dalam berbagai aspek, diantaranya adalah menghindari kerumunan,
menjarak jarak, mencuci tangan, dan lain sebagainya sebagaimana telah
dianjurkan oleh pemerintah dan para pakar.
Pasien
yang akan berobat ke fasilitas kesehatan harus menyampaikan informasi dengan
jujur dan bertanggung jawab. Jika baru pulang dari daerah yang sudah lebih
duluan terjangkut Cofid-19, katakan apa adanya.
Dengan
kesadaran sendiri pula, bagi siapa saja (baca ODP-Orang Dalam Pengawasan) yang
baru pulang dari daerah yang sudah terjangkit untuk mengisolasi diri, minimal
14 hari.
Sampai
hari ini, dibeberapa kabupaten/kota yang masih belum terdeteksi pasien positif
Corona, masih santai, beramai-ramai di rumah kenduri, berjalan kesana-kemari.
Semua akan panik disaat ada tetangga, keluarga atau diri sendiri yang terjangkit
ta’eun Iba brok ini.
Sebelum
terlambat, sebelum semuanya menjadi Ija
brok, sudah saatnya kita patuhi pemimpin negeri ini. Kita batasi diri.
Mengutip kata-kata Direktur RSUDZA, dr. Azharuddin,“Masyarakat
jangan tungang, bandel, tetap di rumah, supaya virusnya ini melemah. Kalau
manusia menyebar, tidak mau dengar, dan tidak percaya, kita tinggal menunggu
musibah seperti di Italia,”.
Ke-tungang-an tidak hanya mecederai
diri sendiri, namun sangat jauh dari situ, dapat menularkan kepada keluarga,
tetangga, dan siapa saja yang bersentuhan langsung dengan anda. Termasuk tenaga
medis. Padahal, dalam situasi seperti ini, kehadiran mereka sangat membantu.
Kita berharap, dengan peran bersama,
apa yang dikatakan dr. azhar dipenghujung kalimat nya tadi tidak terjadi.
Akhirnya, kita memohon kepada Yang Maha Kuasa, berkat syafaat kekasih-Nya, pendemi
ini cepat berlalu, dan kita kurangi bodoh kawan agar tidak Waba Sampoh!
Tulisan ini sudah pernah tayang di:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar