Oleh: Alja Yusnadi,
S.TP.,M.Si
Apa
yang pertama sekali terbayang ketika mendengar kata Apam?. Pasti sesuatu yang
berhubungan dengan makanan, mirip serabi. Apam dibuat dari tepung beras, pakai
santan. Bukan sekedar makanan, di Aceh juga dikenal dengan buleun kanuri apam.
Tidak
hanya kaya sumberdaya alam, Aceh juga kaya dengan kuliner, bahkan nama bulan
dalam Bahasa Aceh juga menggunakan jenis kuliner, ada Buleun Kanuri Bu (Bulan kenduri Nasi), Buleun Kanuri Bungong Kayee (Bulan Kenduri Bunga Kayu-Buah-buahan),
Buleun Kanuri Apam (Bulan kenduri Apam).
Selain
nama bulan yang dinamai dengan jenis kuliner, orang Aceh masa lampau, dalam sepanjang
tahun tidak jauh-jauh dari kuliner, seperti Kanuri
Molod (Maulid) yang sampai tiga bulan, kemudian bulan Safar yang
diperingati dengan hari Rabu Habeh,
dan lain sebagainya.
Kali
ini, kita membahas buleun kanuri apam. Bulan ini bertepatan dengan bulan Safar
dalam penanggalan Hijriah. Dalam sejarah Islam, ada peristiwa penting yang
terjadi pada bulan ini, yaitu perjalanan nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram
ke Masjidil Aqsa, dan dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha, atau dikenal juga
dengan Isra’ Mi’raj.
Dalam
perjalanan spiritual ini, nabi Muhammad SAW menerima wahyu dari ALLAH SWT,
mengenai perintah shalat untuk ummat islam. Untuk memperingati peristiwa malam
tersebut, masyarakat berkumpul di Mesjid, Meunasah, mengadakan ceramah tentang
Isra’ Mi’raj atau menggelar berbagai lomba, bisa juga menggabungkan keduanya.
Kenapa
harus Apam? Saya belum menemukan referensi yang jelas mengenai kenapa harus
Apam. Dari sedikit literature, C. Snuock Hurgronje dalam buku nya The Achehnese
(Orang Aceh-edisi terjemahan) mengatakan, pada suatau waktu ada orang Aceh yang
merasa penasaran berkaitan dengan apa yang menimpa manusia di (alam) kubur,
khususnya berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh malaikat
kubur, Munkar dan Nankir, serta hukuman yang akan menimpa mereka.
Orang
tersebut ditanyai oleh dua Malaikat berkaitan dengan agama dan perbuatannya,
dan ketika dia kedapatan kurang hormat, Malaikat mulai memukul dengan tongkat
dan gada besi. Namun tidak satupun pukulan yang mengenainya.
Sesuatu
yang tidak dapat dilihat dengan jelas dalam gelapnya kuburan tetapi yang nampak
mirip rembulan berbentuk bundar, menjadikan dirinya sebagai tameng dan
menghindarkannya dari pukulan Malaikat.
Ia
berusaha menemukan jalan keluar dari penjara sempit dan segera menuju
kerabatnya, yang menerimanya dengan rasa heran. Setelah menceritakan
perjalanannya tersebut, akhirnya ia tahu apa yang telah membebaskannya dari
siksaan gada malaikat tersebut.
Pada
saat ketika tameng berbentuk rembulan tersebut memberinya perlindungan, para
anggota keluarganya di dunia sedang mempersiapkan kanduri kue Apam, yang
bentuknya bundar seperti rembulan.
Kemudian,
muncullah keyakinan bahwa kue Apam benar-benar memberikan pengaruh yang
menguntungkan bagi keberuntungan orang yang sudah meninggal. Dan masih menurut
Snouck, hal ini pulalah yang menyebabkan orang Aceh memanggang kue Apam dan
membagi-bagikannya sebagai Kenduri pada tanggal 7 Rajab, bagi kepentingan nenek
moyang dan kerabat yang sudah meninggal. Selain perayaan besar, Kanuri Apam
juga dilaksanakan pada hari ke 7 setelah kematian seseorang dan setelah
terjadinya gempa bumi.
Kita
bisa sepakat atau pun tidak dengan pendapat Orientalis yang dikirim khusus oleh
Belanda untuk mempelajari Orang Aceh dari segala sisi, termasuk adat-istiadat,
ini. Jika ada referensi lain yang dapat kita jadikan rujukan tentu akan
memperkaya pengetahuan.
Orang
Aceh masa lampau memang hidup tidak lepas dari kenduri. Reusam ini menjadi ciri
khas dari kaum Sufi, bisa jadi, dulu,
Islam yang berkembang di Aceh adalah yang dibawa ulama Sufi, sehingga berbagai
bentuk acara diikuti dengan kenduri.
Diluar
soal historis, kebiasaan kenduri ini patut diketahui oleh orang Aceh generasi
pasca konflik dan Tsunami. Barangkali, sedikit dari anak muda Aceh yang
mengetahui bahwa di Aceh ada penanggalan yang bernama buleun kanuri Apam.
Tulisan
ini menjadi refleksi, bahwa orang Aceh, selain “teuleubeh” juga memiliki
kepedulian sosial yang tinggi. Apam-apam itu, dibagikan kepada tetangga atau
masyarakat yang membutuhkan. Melalui Apam, interaksi dengan masyarakat sekitar
terjalin. Disaat ancaman bencana seperti Corona ini, kita hendaknya saling
membantu, jangan menipu. Karena secara genetika kita sudah mewarisi kepedulian sosial
dari endatu.
Patut
diduga, kebiasaan itu tidak lahir begitu saja, pasti ada yang memberikan
intruksi. Mungkin saja Wali pada saat
itu berkeinginan kanuri Apam, bisa jadi, sekarang Wali mengintruksikan Lemon
atau kanuri lainnya agar kita terbebas dari bencana, termasuk Corona!
Tulisan ini sudah pernah tayang di :
Tulisan ini sudah pernah tayang di :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar