![]() |
Ilustrasi (Int) |
Oleh: Alja Yusnadi
Hal
lain yang dapat kita pelajari dibalik Pandemi Corona adalah tersingkapnya tabir
beberapa istilah dalam Bahasa Aceh. Selama ini, saya hanya belajar Bahasa Aceh
secara praktis, turun-temurun, tidak secara akademis.
Saya
mengenal Bahasa Aceh dan selanjutnya menggunakan dalam percakapan sehari-hari
dari orang tua, keluarga dan lingkungan. Walau, ditempat saya lahir, Aceh
Selatan, terdapat tiga Bahasa utama; Bahasa Aceh, Bahasa Kluet dan Bahasa Aneuk
Jamee.Dalam keseharian, lingkungan saya tinggal lebih dominan menggunakan
Bahasa Aceh.
Selama
ini, ada beberapa kosata yang saya bisa melafazkan akan tetapi tidak mengetahui
arti dan sejarahnya. Beberapa diantaranya adalah Ta’eun, Waba Sampoh.
Kosakata
Ta’eun, sering saya dengar pengucapannya disaat seseorang dalam kondisi palak
(kesal). Misalnya, “lagee Umpeun Ta’eun”, “Ohh, Seuh ta’eun nyoe”. Jika
menunjukkan penyakit, Ta’eun lebih sering disandingkan dengan penyakit hewan,
terutama Ayam. Jika ada Ayam yang mati mendadak, disebut ka keunong Ta’eun.
Rupanya,
dalam khazanah Bahasa Aceh, Ta’eun itu merujuk kepada sejenis penyakit yang
mewabah sampai ke Aceh, Kolera. Banyak orang Aceh pada saat itu yang
terjangkit.
Ada
juga yang menyebutnya Ta’eun Ija Brok, karena diperkirakan penyakit itu berasal
atau menular dari kain lap. Ija itu artinya kain, Brok itu atinya busuk, Ija
Brok lebih tepat diartikan kain yang digunakan untuk membersihkan ( kain lap).
Dari peristiwa itu juga, orang Aceh pada saat itu berhasil membuat
penawar. Bukan secara medis, karena pada saat itu obat medis masih jarang atau
belum sampai ke Aceh.
Obat tersebut dibuat dari air tebu yang dicampur
dengan kunyit atau air beras dicampur gambir. Ekstrak pinang tumbuk atau air
jambu biji yang sudah dipanggang. Kemudian ramuan tersebut diminum.
Cerita ini masih bisa kita dengar dari orang tua yang
sudah sepuh, namun jarang kita praktekkan, semua sudah dimudahkan oleh obat
kimiawi. Secara tertulis, C.Snuck Hurgronje telah menulis dalam bukunya The
Achehnese yang sudah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia.
Kita, bisa sepakat bisa tidak dengan apa yang telah
ditulis oleh orientalis ini. Belanda untuk menaklukkan Aceh mengirim Teungku
Puteh ini untuk menyamar hingga ke Arab. Dia belajar banyak tentang Aceh dan
Islam. Teungku Puteh adalah nama penyamarannya.
Hasil penelitian atau pengamatan guru besar
universitas Liden ini dilaporkan kepada pemerintah Belanda dan selanjutnya
dijadikan pedoman dalam mempelajari watak orang Aceh.
Kosakata berikutnya adalah Waba Sampoh. Hampir sama
dengan Ta’eun tadi, saya mendengarnya disaat orang sedang dalam kondisi ingin
meluapkan amarah. Misalnya, “Ohh, Waba Sampoh nyoe”.
Namun, saya belum pernah mendengar sebelumnya
penjelasan apa yang dimaksud dengan kosata kata itu. Setelah merebak virus
Corona, saya membaca berbagai literature yang menerangkan terkait beberapa
istilah yang menyangkut penyakit ini.
Diantaranya adalah penjelasan WHO tentang tingkat
penyebaran virus: Wabah, Epidemi dan Pandemi.
Wabah, kejadian
luar biasa, kecil tetapi tidak biasa. Epidemi, lebih besar dan menyebar, wabah
diwilayah geografis yang lebih luas. Kemudian Pandemi, penularannya
Internasional dan di luar kendali.
Begitu suatu
epidemi menyebar ke banyak negara atau wilayah di dunia, ia dianggap sebagai
pandemi. Namun, beberapa ahli epidemiologi mengklasifikasikan situasi sebagai
pandemi hanya setelah penyakit ini bertahan di beberapa daerah yang baru
terkena melalui transmisi lokal.
Saya menduga,
penggunaan kosakata Waba berkaitan dengan Wabah colera pada saat itu. Bagaimana
wabah membunuh banyak manusia, termasuk orang Aceh. Dalam Bahasa Aceh, wabah
itu disebut Waba.
Sementara Sampoh,
dalam Bahasa Aceh artinya sapu. Sehingga, Waba Sampoh dapat diartikan disapu
oleh wabah. Demikian juga dengan Waba Puta, Waba Kireuh. Waba, juga berarti
loba atau tamak.
Pun demikian,
tulisan ini hanya melihat dari penggunaan kosakata Bahasa Aceh dalam percakapan
sehari-hari. Aceh, bukan hanya kaya Sumberdaya Alam, namun juga kaya Bahasa.
Ditengah pandemi
yang terus mencekam, dimana pada saat kolom ini ditulis, di Aceh sudah 4 orang
dinyatakan positif terjangkit Corona, satu diantaranya adalah Ustadz yang baru
pulang dari pengajian di Jakarta.
Lebih berat dari
penyebaran Colera pada masa lalu, Corona ini sudah menjadi pandemi, dimana
lebih dari 180 negara yang sudah terjangkit. Mungkin saja, kedepan akan lahir
kosakata baru dalam Bahasa Aceh, misalnya, bek meukorona tat lah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar