Oleh : Alja Yusnadi, S. TP.,M.Si
Akhir-akhir ini, nasionalisme
kembali diperbincangkan dengan hangat. Dari elit pusat, elit daerah hingga yang
awam. Nasionalisme dipakai sesuai selera. Baik kelompok yang mengatakan diri
nasionalis maupun kelompok yang mengatakan diri agamais. Keduanya menerjemahkan
nasionalisme sekenanya, seenaknya saja.
Sebenarnya, membenturkan
nasionalsme dengan agama kurang tepat. Karena kontruksi nasionalisme sudah
selesai dirancang-bangun oleh pendiri negara ini disaat sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan, Tim Delapan, Tim Sembilan dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1945 silam.
Nasionalisme, terdiri dari kata
“Nation-Nasional” yang berarti bangsa.
Isme, merupakan paham atau ajaran. Sehingga secara sederhana Nasionalisme dapat
dipahami sebagai sebuah paham kebangsaan. Paham yang meletakkan kepentingan
bangsa diatas kepentingan pribadi dan kelompok.
Dalam perkembangannya,
kontradiksi paham nasionalisme dengan paham agamis sudah selesai ketika tokoh
dari kedua paham tersebut telah menandatangani consensus nasional, yaitu dasar negara
Indonesia adalah Undang-undang Dasar 1945 yang didalamnya disebutkan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Atau disebut juga dengan Pancasila.
Munculnya paham paham nasionalis
dan paham agamis pertama sekali terlihat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan. Dimana, ada peserta sidang yang menginnginkan negara ini
berdasarkan agama, dan ada yang berkeinginan negara ini berdasarkan diatas
perbedaan yang ada.
Dari Kalangan pertama, semuanya
beragama Islam, jadi mereka menginginkan Indonesia menjadi negara Islam.
Kalangan Kedua, ada yang beragama Islam, ada juga yang beragama bukan islam.
Mereka berpandangan, karena Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama,
adat-istiadat, kebudayaan, sehingga mereka berdiri diatas satu bangsa. Berbeda
dari beberapa sisi, tapi satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Semangat
kebangsaan ini juga yang mengartikulasi sebelumnya dalam menentang kolonialisme
dan imperialsme.
Harusnya, du acara pandang ini
telah selesai disaat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia memutuskan bahwa
Indonesia sebagai negara berdasarkan Pancasila. Sejak saat itu, sampai sekarang
Indonesia tetap berdiri kokoh karena dilandasi semangat kebangsaan itu.
Hegemoni Nasionalis-Agamis itu,
setelah masa kemerdekaan dikristalkan dalam membangun gagasan kepartaian. Ada
yang menyebut partai Agamis, partai Nasionalis, bahkan ada yang menasbihkan
diri sebagai partai Nasionalis-Religius.
Sejatinya, semua partai politik
itu sama. Semua menjadikan Pancasila sebagai dasar, karena itu memang dasar
negara. Sebagai organisasi penting yang menopang negara ini, sudah seharusnya
partai politik mengikuti dasar negara. Karena melalui partai politik, kita
dapat menjadi Presiden/wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Kelapa/wakil kepala daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tentu selain calon
dari jalur perseorangan. Semua partai tunduk dibawah undang-undang partai
politik.
Hanya saja, sebagai organisasi
yang berbasis massa, untuk menarik dan memelihara pendukung, partai politik,
biar lebih enak mencari simpati menggunakan berbagai issue. Misalnya saja
Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan
Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bulan Bintang mengusung tema agamis. Mereka
mencoba menarik simpatisan melalui pendekatan keagamaan. PPP dan PKB misalnya
dikenal dekat dengat kaum Nahdathul Ulama, PAN para pembesarnya dekat dengan
Muhammadyah. NU dan Muhammadyah merupakan organisasi masyarakat yang memiliki
jumlah pengikut paling banyak di Indonesia. Kemudian PKS, partai ini membentuk
pola kaderisasi yang terstruktur, pendekatannya melalui pengajian atau disebut
Halaqah. Metode pengorganisirannya hamper mirip dengan Ikhwanul Muslimin.
Menariknya, tidak satupun dari Partai politik tersebut memakai nama Islam.
Dulu, pada pemilu 1999, bahkan
ada partai yang menggunakan nama agama secara terang-terangan, seperti Partai
Kristen Nasional atau Krisna, Partai Damai Sejahtera atau PDS yang menggunakan
lambang salip, yang mencerminkan simbol agama Kristen. Tentu Partai ini ingin
menarik simpati dari rakyat Indonesia yang beragama Khatolik dan Protestan,
walau pada kenyataannya Partai ini tidak bertahan sampai pada pemilu
berikutnya.
Sementara itu, partai seperti
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai
Gerindra, Partai Hanura, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia tidak
menjadikan issue agama untuk menarik dukungan bassis masa. Pemeluk semua agama
di buka ruang untuk bergabung.
Kedua model perjuangan partai
tersebut sama-sama tunduk dibawah undang-undang partai politik. Sama-sama
berjuang dalam koridor negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Kecuali,
ada yang berkeinginan untuk merubah dasar negara, baik diam-diam maupun
terang-terangan, baik melalui jalur konstitusional apalagi jalur makar. Kalua
ini yang terjadi, bukan hanya partai, apapun nama organisasinya harus
dibubarkan. Yang dibubarkan itu Partai Politiknya, Ormasnya, OKPnya, bukan
Nasionalismenya!. Karena dengan Nasionalisme, Indonesia mampu bertahan hingga
72 tahun, sampai saat ini.
*)Penulis adalah Ketua DPC PDI Perjuangan Aceh Selatan
Tulisan ini sudah pernah dimuat di :
https://www.acehtrend.com/2017/06/08/membubarkan-nasionalisme/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar