Senin, 16 Maret 2020

Membubarkan Nasionalisme?

 
Oleh : Alja Yusnadi, S. TP.,M.Si



Akhir-akhir ini, nasionalisme kembali diperbincangkan dengan hangat. Dari elit pusat, elit daerah hingga yang awam. Nasionalisme dipakai sesuai selera. Baik kelompok yang mengatakan diri nasionalis maupun kelompok yang mengatakan diri agamais. Keduanya menerjemahkan nasionalisme sekenanya, seenaknya saja.


Sebenarnya, membenturkan nasionalsme dengan agama kurang tepat. Karena kontruksi nasionalisme sudah selesai dirancang-bangun oleh pendiri negara ini disaat sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan, Tim Delapan, Tim Sembilan dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1945 silam.

Nasionalisme, terdiri dari kata “Nation-Nasional”  yang berarti bangsa. Isme, merupakan paham atau ajaran. Sehingga secara sederhana Nasionalisme dapat dipahami sebagai sebuah paham kebangsaan. Paham yang meletakkan kepentingan bangsa diatas kepentingan pribadi dan kelompok.

Dalam perkembangannya, kontradiksi paham nasionalisme dengan paham agamis sudah selesai ketika tokoh dari kedua paham tersebut telah menandatangani consensus nasional, yaitu dasar negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar 1945 yang didalamnya disebutkan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Atau disebut juga dengan Pancasila.

Munculnya paham paham nasionalis dan paham agamis pertama sekali terlihat dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan. Dimana, ada peserta sidang yang menginnginkan negara ini berdasarkan agama, dan ada yang berkeinginan negara ini berdasarkan diatas perbedaan yang ada.

Dari Kalangan pertama, semuanya beragama Islam, jadi mereka menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Kalangan Kedua, ada yang beragama Islam, ada juga yang beragama bukan islam. Mereka berpandangan, karena Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, adat-istiadat, kebudayaan, sehingga mereka berdiri diatas satu bangsa. Berbeda dari beberapa sisi, tapi satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Semangat kebangsaan ini juga yang mengartikulasi sebelumnya dalam menentang kolonialisme dan imperialsme.

Harusnya, du acara pandang ini telah selesai disaat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia memutuskan bahwa Indonesia sebagai negara berdasarkan Pancasila. Sejak saat itu, sampai sekarang Indonesia tetap berdiri kokoh karena dilandasi semangat kebangsaan itu.

Hegemoni Nasionalis-Agamis itu, setelah masa kemerdekaan dikristalkan dalam membangun gagasan kepartaian. Ada yang menyebut partai Agamis, partai Nasionalis, bahkan ada yang menasbihkan diri sebagai partai Nasionalis-Religius.

Sejatinya, semua partai politik itu sama. Semua menjadikan Pancasila sebagai dasar, karena itu memang dasar negara. Sebagai organisasi penting yang menopang negara ini, sudah seharusnya partai politik mengikuti dasar negara. Karena melalui partai politik, kita dapat menjadi Presiden/wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Kelapa/wakil kepala daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tentu selain calon dari jalur perseorangan. Semua partai tunduk dibawah undang-undang partai politik.

Hanya saja, sebagai organisasi yang berbasis massa, untuk menarik dan memelihara pendukung, partai politik, biar lebih enak mencari simpati menggunakan berbagai issue. Misalnya saja Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bulan Bintang mengusung tema agamis. Mereka mencoba menarik simpatisan melalui pendekatan keagamaan. PPP dan PKB misalnya dikenal dekat dengat kaum Nahdathul Ulama, PAN para pembesarnya dekat dengan Muhammadyah. NU dan Muhammadyah merupakan organisasi masyarakat yang memiliki jumlah pengikut paling banyak di Indonesia. Kemudian PKS, partai ini membentuk pola kaderisasi yang terstruktur, pendekatannya melalui pengajian atau disebut Halaqah. Metode pengorganisirannya hamper mirip dengan Ikhwanul Muslimin. Menariknya, tidak satupun dari Partai politik tersebut memakai nama Islam.

Dulu, pada pemilu 1999, bahkan ada partai yang menggunakan nama agama secara terang-terangan, seperti Partai Kristen Nasional atau Krisna, Partai Damai Sejahtera atau PDS yang menggunakan lambang salip, yang mencerminkan simbol agama Kristen. Tentu Partai ini ingin menarik simpati dari rakyat Indonesia yang beragama Khatolik dan Protestan, walau pada kenyataannya Partai ini tidak bertahan sampai pada pemilu berikutnya.

Sementara itu, partai seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Hanura, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia tidak menjadikan issue agama untuk menarik dukungan bassis masa. Pemeluk semua agama di buka ruang untuk bergabung.

Kedua model perjuangan partai tersebut sama-sama tunduk dibawah undang-undang partai politik. Sama-sama berjuang dalam koridor negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Kecuali, ada yang berkeinginan untuk merubah dasar negara, baik diam-diam maupun terang-terangan, baik melalui jalur konstitusional apalagi jalur makar. Kalua ini yang terjadi, bukan hanya partai, apapun nama organisasinya harus dibubarkan. Yang dibubarkan itu Partai Politiknya, Ormasnya, OKPnya, bukan Nasionalismenya!. Karena dengan Nasionalisme, Indonesia mampu bertahan hingga 72 tahun, sampai saat ini.



*)Penulis adalah Ketua DPC PDI Perjuangan Aceh Selatan

Tulisan ini sudah pernah dimuat di :

https://www.acehtrend.com/2017/06/08/membubarkan-nasionalisme/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar