Oleh : Alja
Yusnadi*
Perdebatan
antara Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dengan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) Aceh kian meruncing, kedua lembaga tersebut saling berbalas pantun
politik dimedia massa. Perdebatan pelaksanaan pemilukada di Aceh menyisakan KIP
dan DPR Aceh sebagai penjaga gawang kedua kesebelasan.
KIP
sebagai lembaga pelaksana pemilihan berada pada kesebelasan yang memperjuangkan
agar pemilukada terlaksana sesuai dengan jadwal, sementara DPRA, khususnya
pansus III yang diberi mandat untuk merumuskan qanun pemilihan gubernur/wakil
gubernur, walikota/wakil wali kota, dan bupati/wakil bupati sebagai keseblasan
yang menentang putusan KIP dan terindikasi untuk menunda pemilukada serta
“mendiskualifikasi” calon independen dari kompetisi.
Sebernarnya
ada beberapa tim lagi yang ikut berkompetisi dalam liga Pemilukada kali ini,
seperti Pemerintah Pusat, gubernur aceh (Irwandi Yusuf), wakil gubernur aceh
(M. Nazar). Sebagai kelompok pemerintah, ke 3 keseblasan terakhir baik secara
terbuka maupun diam-diam, langsung maupun tak langsung bersikap mendukung KIP
Aceh. Dalam kompetisi yang akan memperebutkan kepala daerah ini DPRA menjadi
“musuh” dari beberapa kontestan lain.
Situasi
politik tersebut menggambarkan bagaimana tercerai-berainya aktor-eksekutor
kebijakan diaceh dalam memandang sesuatu permasalahan. Semangat kebersamaan
yang sempat dibangun pada tahun 2006 melalui Jaringan Demokrasi Aceh (JDA).
Berbagai kelompok, baik itu DPRA, Civil Society, akademisi, jurnalis, unsur
pemerintah bersatu untuk merumuskan dan memperjuangkan UU tentang Aceh, yang
kemudian disahkan oleh DPR RI menjadi UU. No. 11 tahun 2006 tentang
pemerintahan aceh. Bahkan, satu-satunya rapat Pansus DPRA yang dapat dihadiri
oleh CSO dalam sejarah DPRA hanya saat mengadvokasi UU-PA.
Romantisasi
JDA menempatkan kepentingan aceh diatas kepentingan pribadi/kelompok. Berbagai
kelompok yang terlibat mampu mengorientasikan arah pembangunan aceh pasca
perdamaian. Aceh menjadi keuramat saat itu, upaya penggalangan opini untuk
menyusun materi UU-PA masif hingga ke perguruan tinggi. Kelompok yang
berkepentingan disaat itu sangat kompromis.
Disaat
aceh masih dalam situasi konflik, dan diawal perdamaian, aceh mampu membangun
sebuah entitas politik yang mengakomodir kepentingan berbagai kelompok. Namun,
disaat kucuran dana besar mengalir ke aceh, Undang-Undang ke khususan aceh
telah lahir, beberapa keistimewaan telah diberikan pusat, namun aktor aceh
gagal dalam membangun komunikasi politik yang dapat menaungi banyak kelompok.
Tujuan
utama perdamaian bukanlah menguasai aset-aset vital, menguasai kepala daerah
dan mengumpulkan pundi-pundi uang. Meningkatkan taraf hidup rakyat aceh melalui
pemanfaatan sumber daya alam dan keuangan dengan terarah dan terencana menjadi
hakekat daripada perdamaian.
Dalam logika konflik manapun, penyebab utama
konflik adalah ketimpangan kebijakan dan kesejahteraan. Pada fase kedua
perdamaian sangat rentan kembali pada titik nol, dalam range waktu
perdamaian, aceh saat ini berada pada fase kedua, sehingga diperlukan upaya
preventif untuk menjaga aceh tetap berada pada situasi damai.
Banyak
pekerjaan untuk menjaga perdamaian yang belum terlaksana. Salah satu sektor
yang dapat memperkuat pekerjaan itu adalah menuntaskan kebijakan pemerintah
yang berhubungan dengan publik, jika sudah sepakat menempatkan UU. No. 11 tahun
2006 sebagai landasan/pijakan dalam membangun aceh.
Ada Sekitar 59 rancangan
qanun aceh yang dimandatkan oleh UU tersebut. Sejak tahun 2007 hingga
pertengahan 2011, DPRA baru menyelesaikan sekitar 22 qanun aceh yang diamantkan
oleh UU-PA. Pada situasi seperti ini, yang sangat dibutuhkan adalah kesamaan
cara pandang berbagai kelompok politik dalam melihat aceh, sehingga dalam
penerjemahan aturan tidak terjadi konflik and interes.
Eksekutif-Legislatif Aceh Bersatulah!
Untuk
tahun 2011, DPRA melalui Badan Legislasinya telah menetapkan 31 rancangan qanun
prioritas, namun sampai saat ini belum ada satu pun yang berhasil
diparipurnakan, kecuali qanun APBA (per 21 Juni 2011). Hal ini menjadi salah
satu indikator lemahnya kemampuan DPRA dalam hal legislasi.
Dalam
hal budgeting, DPRA juga masih belum disiplin. Pengesahan APBA pada
akhir April adalah salah satu bukti nyata. Berdasarkan hasil pemantauan, fokus
DPRA dalam melaksanakan pembahasan R-APBA 2011 ini berlangsung optimal pada
bulan April 2011. Aceh pun mendapat gelar “provinsi paling telat mengesahkan
APBA 2011 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia”, ini menjadi preseden buruk
bagi pemerintahan Aceh dalam menjalankan roda pemerintahan.
Fungsi
Pengawasan yang dilakukan DPRA juga belum siginifikan. Selama ini pengawasan
lebih kepada pengawasan teknis, misalnya pengawasan pembangunan jalan dan
jembatan, dan sifatnya seporadis. Namun bagaimana pengawasan sektor
lainnya, ini menjadi perhatian penting bagi DPRA kedepan.
Mutu
pendidikan aceh masih berada di urutan bawah, besarnya anggaran dinas
pendidikan tidak serta-merta dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Bagaimana
dengan pengawasan sektor kesehatan, anggaran yang dialokasikan disektor ini
jumlahnya besar tapi jumlah orang yang sakit atau tingkat kesehatan masyarakat
Aceh memiliki kualitas kesehatan rendah.
Ini
ditunjukkan dengan ramainya masyarakat yang sakit atau masyarakat yang
memanfaatkan program JKA. Dampak ini juga akan berpengaruh pada proses
pelayanan rumah sakit yang akhirnya masyarakat tidak mendapat pelayanan optimal
dan juga kurangnya sarana-prasarana pelayanan kesehatan.
Berdasarkan
Pasal 23 UU No. 11 tahun 2011, tugas pengawasan DPRA adalah melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun Aceh dan peraturan perundang-undangan
lain, melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Aceh dalam
melaksanakan program pembangunan Aceh, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta penanaman modal dan kerja sama internasional.
Alat
kelengkapan DPRA, seperti Badan Kehormatan Dewan belum berjalan optimal, hal
ini mengakibatkan lemahnya pengawasan internal DPRA. Unsur Pimpinan juga perlu
bersikap tegas terhadap anggota dewan dan panitia khusus (Pansus) yang
diberikan tanggung jawab untuk merumuskan materi qanun.
Pansus III yang
bertugas merumuskan materi qanun pemilukada sudah diperpanjang masa kerja
selama 2 kali oleh pimpinan DPRA. Hal ini dapat dinilai sebagai bentuk ketidak
tegasan unsur pimpinan dalam mendelegasikan wewenang kepada pansus.
Beberapa
Fraksi tidak memanfaatkan keberadaannya di DPRA sebagai penyeimbang terhadap
Fraksi mayoritas, sehingga transformasi informasi ke publik di kuasai oleh
fraksi mayoritas. Dalam beberapa rencana kebijakan yang di follow-up
oleh media massa, seperti Qanun APBA, Qanun Pemilukada, Qanun Wali Nanggroe
yang sering menanggapinya adalah anggota DPRA dari fraksi mayoritas. Kondisi
seperti ini berdampak negatif terhadap kualitas kebijakan yang akan dihasilkan.
Rendahnya
produktivitas kinerja parlemen ini menjadi cerminan dari peranan partai politik
dalam melakukan pendidikan bagi kadernya. Untuk menginterfensi kinerja anggota
parlemen juga dapat melalui fungsi pengawasan partai politik. Dalam
implementasinya, Parpol harus memiliki sistem pendidikan dan pengkaderan yang
berbasis pengetahun “legislastif” bagi setiap calon anggota legislatif yang
akan diusung. Parpol juga harus menjadikan tolak ukur berbasis kinerja dalam
melakukan pengawasan terhadap akdernya yang duduk di parlemen.
Disisi
lain, eksekutif juga “macet”, ditahun terakhir masa kepemimpinannya sebagai
gub/wagub Aceh, Irwandi Nazar belum mampu membawa aceh kearah yang lebih baik.
Sebagai eksekutor kebijakan sebenarnya peran pemerintah aceh sangat strategis
dalam menjaga perdamaian aceh, tentunya dalam merumuskan kebijakan yang
berpihak kepada rakyat.
Akhirnya,
siapapun yang keluar sebagai pemenang dalam kompetisi politik ini-tentunya
tidak dengan memangsa setiap yang berlawanan(srigala)-harus mampu membawa aceh
kearah yang lebih baik, tentunya melalui peningkatan sektor ekonomi, pelayanan
kesehatan yang dapat diakses oleh masyarakat, pendidikan yang bermutu,
menciptakan lapangan kerja, dan mengarahkan pemanfaatan sumberdaya yang ada
diaceh untuk kemaslahatan masyarakat, bukan memperbanyak double cabin!
*Penulis adalah Analis Kebijakan Publik di Achehnese Civil Society Task
Force (ACSTF)
Catatan: Tulisan ini dibuat pada tahun 2011, menyikapi situasi pada saat
itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar