Selasa, 18 Januari 2011

Penyelesaian Kasus Korban Konflik ; Antara Prosedural dan Kemanusiaan

Penyelesaian Kasus korban Konflik; Antara Prosedural dan kemanusiaan.

Oleh    : ALJA YUSNADI

Setelah di obrak-abrik konflik selama puluhan tahun, sejak dideklarasinya GAM 1976 oleh Hasan Tiro di Gunung Halimun, kini masyarakat Aceh sedikit tersenyum, pasalnya kesepakatan damai antara Pemerintahan RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah ditandatangani.
Salah satu buahnya adalah kehadiran Badan Reintegrasi-Damai Aceh (BRA). Dengan segala keterbatasannya, lembaga ini hadir untuk mengupayakan proses Reintegrasi. Termasuk membangun kembali rumah korban konflik yang dibakar ketika konflik masih berkecamuk di Aceh.
            Sejak terbentuk beberapa tahun lalu, BRA telah merealisasikan berbagai programnya, dengan harapan amanat Reintegrasi terpenuhi.
Belakangan, dari berbagai permasalahan yang terjadi, yang mencuat kepermukaan adalah kasus pembangunan rumah korban konflik di Aceh Tengah dan Bener meriah. Menurut data yang diperoleh dari korban, BRA meng-anggarkan dana sekitar Rp. 34.500.000, per-unit, namun pada realisasinya, rumah yang dibangun hanya berkisar sekitar Rp. 18.000.000 sampai Rp. 20.000.000 per-unit nya.
            Imbasnya, pembangunan tidak sesuai spesipikasi. Menurut pengakuan korban, beberapa diantaranya tidak layak huni. Namun, sejak 2005 sampai saat ini, persoalan ini belum teratasi.
            Jika terjadi penyalahgunaan anggaran, maka ini menjadi mandat aparat penegak hokum untuk mengusutnya. Sekali lagi kasus ini seakan hilang ditelan masa. Menurut pengakuan Ketua Pelaksana harian BRA, ketika dana itu disalurkan BRA belum terbentuk.
Juli 2007. korban konflik mendatangi Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), tujuannya ingin mengadukan permasalahan tersebut ke wakil rakyat. Awalnya DPRA menyambut baik kedatangan korban konflik tersebut. Tidak lama berselang, Ketua Komisi A DPRA bersama anggotanya turun langsung kelapangan, dan berjanji akan segera menyelesaikan permasalahan tersebut.
            Setelah menunggu sekitar empat bulan, ternyata perbaikan rumah  belum juga dipenuhi. Hal ini membuat korban konflik semakin gerah. Sampai akhirnya pada tanggal 12 Desember 2007, ratusan nasyarakat dari dataran tinggi gayo tersebut mendatangi kembali DPRA, tujuannya mereka kembali memperjuangkan haknya.
            Sebagai lembaga tempat bernaungnya aktor-aktor politik, DPRA kembali berkomitmen untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut. Raihan Iskandar, wakil ketua DPRA mengutarakan niat baik tersebut. Politisi PKS ini juga mengungkapkan keprihatinannya dihadapan korban konflik.
            Bukan hanya DPRA, entah karena merasa dipilih oleh rakyat, Pemerintah Aceh juga mendukung sikap kritis masyarakat tersebut. Dalam Siaran persnya, Gubernur Aceh yang juga penanggung jawab BRA mengatakan “Saya mengintruksikan agar BRA tetap mencari jalan supaya dapat merehab rumah korban konflik Bener Meriah dan Aceh tengah yang tidak sesuai dengan spesipikasi”. Satu sisi, niat baik tersebut patut dihargai, namun tidak bisa memulihkan hati korban konflik yang telah duluan tersayat.
            Bahkan, pihak Kejaksaan Tinggi NAD, juga menyampaiakan komitmennya untuk mengusut tuntas jika terjadi penyelewengan anggaran, seperti disebutkan wakil Kepala Kejaksaan Tinggi NAD Hafidzam dihadapan peserta aksi pertengahan Desember lalu.
            Namun, yang perlu diingat adalah, keprihatinan, niat untuk menyelesaikan masalah dari pengambil kebijakan tersebut tidaklah cukup untuk mengembalikan korban konflik ke tempat asalnya. Yang mereka butuhkan adalah rumah layak huni.
            Jika alasannya tidak ada pos anggaran, sangat lah ironis dengan kondisi Aceh sekarang. Ditengah besarnya kucuran dana, disitu pula terjadi krisis keuangan. Yang diperlukan adalah langkah konkrit dari pengambil kebijakan, bukan hanya retorika. Karena beban moral ketika konflik sudah cukup berat dipundak mereka.
            Maka setidaknya ada beberapa langkah yang dapat diambil, baik DPRA, Pemerintah Aceh dan Institusi Penegak Hukum, diantaranya adalah :
  1. DPRA
Untuk sesegera mungkin memfasilitasi pertemuan atau dialog antar seluruh pihak yang terlibat dalam hal ini dengan melibatkan perwakilan dari masyarakat korban. Bahwa, DPRA tidak bisa begitu saja melepaskan persoalan ini kepada pihak eksekutif semata, ini merupakan persoalan bersama yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
  1. Pemerintah Aceh
Untuk segera mencari solusi terbaik dengan mengedepankan aspek kemanusiaan, tidak hanya menggunakan sistem dan prosedure yang baku. Mengingat bahwa ada kondisi sosial yang memaksa, bahwa hingga saat ini masyarakat masih tetap bertahan di kamp pengungsian.
  1. Institusi Penegak Hukum
Untuk segera melakukan upaya hukum dan menindak tegas pelaku tanpa pandang bulu, bahwasanya hukum harus ditegakkan dalam kondisi apapun.

Setidaknya, penerapan langkah tersebut akan dapat menjawab persoalan yang sedang dihadapi masyarakat korban konflik.
                                                                                       

Jangan tinggalkan kesan “Cuci Tangan”.
Sejauh ini, komitmen BRA, DPRA dan Pemerintah Aceh terkesan “cuci tangan”. Pasalnya, berbagai solusi yang ditawarkan tidak bisa menjawab persolan. Seperti dilontarkan Komisi A DPRA dihadapan korban konflik yang berunjuk rasa, Raihan Iskandar yang didampingi Bahrom Mohammad Rasyid mengatakan, DPRA tidak mempunyai mandat untuk mengambalikan dana yang diselewengkan. Ditambah lagi statemen Khairul Amal dalam dialognya bersama Dawan Gayo (dari BRA), Hendra budian (dari Aceh Judicial Monitoring Institute) di TVRI beberapa waktu lalu. Menurut Ketua Komisi A DPRA tersebut seharusnya Masyarakat korban konflik lebih tepat berunjuk rasa ke kantor Gubernur.
BRA juga demikian, Dawan Gayo mengatakan ketika dana tersebut disalurkan, BRA belum dibentuk, hal itu juga diperkuat Irwandi Yusuf, selaku Gubernur Aceh dan Penanggung jawab BRA. Dari beberapa statemen dan komitmen diatas setidaknya cukup untuk menggambarkan sikap cuci tangan, seolah-olah ini bukan tanggung jawab mereka.
Terlepas dari itu semua, bocah-bocah yatim, janda-janda konflik bersama ratusan korban konflik lainnya masih mengungsi, mereka belum mau pulang jika tuntutannya untuk mendapatkan sisa uang pembangunan rumah terpenuhi.
Sampai saat ini (selasa, 25 Desember 2007), sudah dua minggu mereka menetap di kamp pengungsian dengan meninggalkan kebun dan kampong halaman. Maka pertimbangan yang paling mendasar bagi pengambil kebijakan adalah aspek kemanusiaan. Jangan biarkan kehadiran tenda pengungsi merusak citra perdamaian yang telah terbangun sekitar dua tahun lebih. Apalagi mereka telah pernah mengungsi sejak konflik berlangsung di Aceh.