Senin, 12 Desember 2011

Kinerja Lemah, DPRA Harus Berbenah!


Kinerja Lemah, DPRA Harus Berbenah!.[1]
(Catatan Akhir Tahun)

Oleh : Alja Yusnadi[2]

Berdasarkan UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, DPRA merupakan lembaga legislatif aceh yang mempunyai fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan (pasal 22 atay 1).
DPRA periode 2009-2014 berjumlah 69 orang, terdiri dari 7 Komisi : Komisi A membidangi Hukum, Politik dan Pemerintahan, Komisi B membidangi Perekonomian, Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Komisi C membidangi Keuangan dan Investasi, Komisi D membidangi Pembangunan dan Tata Ruang, Komisi E membidangi Pendidikan, Sain dan Teknologi, Komisi F membidangi Kesehatan dan Kesejahteraan, Komisi G membidangi Agama dan Kebudayaan. Serta terdiri dari 4 Fraksi : Fraksi Partai Aceh, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, dan Fraksi PPP/PKS.

Senin, 10 Oktober 2011

Jangan Amputasi partisipasi masyarakat!



Jangan Amputasi partisipasi masyarakat!*

Oleh : Alja Yusnadi

Salah satu Rancangan Qanun (Raqan) yang akan dibahas oleh DPRA dalam masa persidangan tahun 2011 adalah Raqan Perubahan atas Qanun No. 3 tahun 2007 tentang Tatacara Pembentukan Qanun (TCPQ). Qanun tersebut merupakan acuan dasar dalam menyusun qanun-qanun berikutnya. Mengingat keberadaan qanun ini yang sangat penting, diawal perumusannya, Koalisi Masyarakat Sipil melakukan advokasi bersama terhadap penyusunan materi qanun ini.

Setelah berjalan beberapa tahun, akhirnya tahun 2011 DPRA melalui Pansus II akan merevisi, bahkan jika perubahannya lebih dari 50% maka qanun tersebut akan diganti. Dalam proses perubahan, DPRA tidak melibatkan masyarakat sipil, pembahasan yang terkesan tertutup itu diprediksi akan memangkas keterlibatan masyarakat dalam setiap perumusan qanun. 

Padahal, UU. No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah menjamin keterlibatan masyarakat dalam peyusunan qanun, seperti disebutkan dalam Pasal 238 Ayat (1) “ Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan qanun.” Lalu ditegaskan pada Ayat (2) untuk “Setiap Tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi Publik”.  Dengan melihat keterbukaan yang dimaksudkan didalam pasal tersebut, sudah seharusnya hari ini DPR Aceh dan eksekutif mulai memaknai dengan seksama dan dipahamai sebagai wujud dalam menciptakan pemerintahan yang baik. 

Bentuk keterlibatan masyarakat tidak hanya disaat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) saja atau mendengar putusan. Pada saat penyusunan materi raqan, hendaknya DPRA atau Pemerintah Aceh melakukan jaring aspirasi dengan masyarakat, karena sebagai salah satu objek penderita, aspirasi masyarakat sangat diperlukan dalam setiap perumusan materi qanun.

Dengan Demikian, DPRA jangan memangkas materi qanun no. 3 tahun 2007 yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat, karena hal tersebut bertentangan dengan semangat perencanaan pembangunan yang berbasis kebutuhan masyarakat. kepada organisasi masyarakat sipil untuk ikut serta memantau pembahasan dan pengesahan qanun tersebut.


*)(Masukan Kepada DPRA Terhadap Rencana Perubahan Qanun No. 3 Tahun 2007)




Damai, Bukan Hanya Pilkada!
Oleh : Alja Yusnadi
Damai Menjadi kata yang sering disuarakan oleh berbagai pihak, terutama diaceh. Sebagai daerah bekas konflik yang memiliki sejarah pelanggaran Hak Azasi Manusia yang panjang, tentu damai adalah harapan besar. Menariknya, Kata damai juga menjadi pendulum bagi politisi, mereka menariknya kedalam ranah pilkada. Bagi pendukung, pengusung penundaan pilkada, maka kata damai dipadankan dengan kata penundaan pilkada, artikata, damai akan tercipta jika pilkada ditunda. Begitu juga dengan pendukung, pengusung pilkada jangan ditunda, kata damai akan lahir jika pilkada tidak ditunda.

Selasa, 20 September 2011

Loe, Gue, End!


Loe, Gue, end!
Oleh : Alja Yusnadi
Sejak beberapa waktu terakhir, istilah “loe, gue, end” sedang trend. Istilah yang dipopulerkan oleh Jesica Iskandar dalam salah satu acara ditelevisi swasta. Istilah itu untuk menggantikan perumpamaan yang berarti pengakhiran sebuah hubungan. 

Jumat, 16 September 2011

Selain Syurga, Menulis itu juga obat!


Selain Syurga, Menulis itu juga obat!

Menjelang magrib, mengahabiskan waktu didepan layar komputer, setelah selesai dengan urusan wajib, tiba saatnya untuk berselancar didunia maya. Selama ini langganannya adalah jejaring sosial, memuat apa yang sedang dipikirkan, walau sekedar melihat notification, atau kabar berita distatus kawan.

Historikal Sindrom


Historikal Sindrom
(catatang ringan, diakhir petang)
Barang kali, dalam memulai suatu yang baru dan menatap masa depan yang nanar, banyak faktor yang dapat mempengaruhinya. Sering, dalam berbagai forum, baik itu didunia nyata maupun dunia maya, narasumber mendikhotomi antara laki-laki dan perempuan. Ya, dalam menentukan pasangan, biasanya laki-laki memasukkan point “masa lalu” calon pasangannya dalam salah satu faktor yang akan mempengaruhi keputusannya, bahkan persentasenya sangat besar, melebihi kadar kecantikan, kekayaan, barangkali berimbang dengan kadar kesetiaan. Sementara perempuan?nampaknya lebih cenderung mempertimbangkan masa depan calon pasangannya.

Minggu, 14 Agustus 2011

Yang Tersisa Setelah Perang


Yang  Tersisa Setelah Perang
(Refleksi 6 Tahun MoU Helsinki)

Oleh : Alja Yusnadi

Perdamaian bukanlah hadiah!.Perdamaian adalah proses.  Mengutip kata Prof. Dr. Kamarulzaman Askanda, seorang Penyelaras Unit Penyelidikan dan Pendidikan untuk Perdamaian (Peace Unit USM-Malaysia), perdamaian bukanlah matlamat akhir yang ingin dicapai tetapi juga merupakan peta perjalanan yang memberikan tunjuk arah kepada perjalanan ini.

Rabu, 27 Juli 2011

Melanjutkan Perdamaian Aceh


Melanjutkan Perdamaian Aceh
Oleh : Alja Yusnadi
Hampir tidak ada orang yang tidak sepakat jika aceh tetap dalam keadaan aman dan damai. Sudah cukup konflik yang terjadi puluhan tahun (dihitung mulai 1976-2005) menjadi pelajaran bagi kita semua. Dimana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi barang langka yang tidak dijual dibumi Iskandar Muda ini. Perdamaian telah berhasil diraih, pekerjaan selanjutnya adalah mengisi perdamaian.

Damai bukanlah kotak kosong yang tidak bergerak, damai harus diisi!.salah satu pihak yang bertanggung jawab untuk mengisi perdamaian aceh demi keberlanjutannya adalah pemerintahan aceh. damai harus mampu memberi ruang gerak bagi rakyat untuk mengakses kesejahteraan. Pemerintahan aceh, baik eksekutif maupun legislatif memiliki tanggung jawab konstitusional dan moral kepada masyarakat aceh. maju mundurnya perdamaian sedikit banyak dipengaruhi oleh tangan mereka.

Senin, 25 Juli 2011

Menimbang Pilkada Aceh

Menimbang Pilkada Aceh
Oleh : Alja Yusnadi

Konstelasi politik di Aceh kian bergerak mencari bentuk idealnya. Salah satu percaturan politik yang menarik diawal tahun 2011 ini adalah keterlambatan pengesahan APBA 2011 dan wacana penundaan Pemilihan Kepala Daerah. Wancana Penundaan tersebut pertama sekali dilontarkan oleh ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Drs. Hasbi Abdullah, M.Si kepada media massa. (serambi Indonesia, 4 April 2011).

Politik Srigala, atau Srigala politik?


Politik Srigala, atau Srigala politik?
Oleh : Alja Yusnadi*
Perdebatan antara Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh kian meruncing, kedua lembaga tersebut saling berbalas pantun politik dimedia massa. Perdebatan pelaksanaan pemilukada di Aceh menyisakan KIP dan DPR Aceh sebagai penjaga gawang kedua kesebelasan. Dimana KIP sebagai lembaga pelaksana pemilihan berada pada kesebelasan yang memperjuangkan agar pemilukada terlaksana sesuai dengan jadwal, sementara DPRA, khususnya pansus III yang diberi mandat untuk merumuskan qanun pemilihan gubernur/wakil gubernur, walikota/wakil wali kota, dan bupati/wakil bupati sebagai keseblasan yang menentang putusan KIP dan terindikasi untuk menunda pemilukada serta “mendiskualifikasi” calon independen dari kompetisi.

Kamis, 31 Maret 2011

APBA 2011 terancam!


Oleh : Alja Yusnadi*
Triwulan Pertama dalam masa abdi tahun 2011 sudah memasuki masa akhir. Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) belum juga diwujudkan menjadi APBA melalui penetapan qanun Aceh. Dari 33 Provinsi di Indonesia,  Aceh menjadi satu-satunya Provinsi yang belum mensahkan APBD.  Hal tersebut dikatakan Menteri Dalam Negri, Gamawan fauzi, dalam rapat kerja dengan komite IV DPR RI (Waspada Online). Bahkan, 28 Provinsi mensahkan APBD sebelum Januari, dan 3 Provinsi Mensahkan pada bulan Januari. Ada Apa dengan Aceh?, sampai bulan Maret belum mensahkan APBA (Untuk Aceh berlaku sebutan APBA, untuk provinsi lain APBD).

Kamis, 10 Maret 2011

Mak Rante?


Oleh : Alja Yusnadi

Berita itu kian merebak. Bergerak meresahkan masyarakat. Dimulai beberapa bulan yang lalu, memuncak sampai diberitakan oleh Serambi Indonesia, edisi 13 Desember. Penculikan anak-anak. Begitu berita disebar. Sebenarnya, ini bukan kisah baru. sejak saya kecil, issue ini sudah pernah dihembuskan. Berbagai istilah disematkan ; makrante, jogak, dua istilah itu beredar di masyarakat sekitar kluet dan Pulau Banyak.

Modus operandinya banyak. Ada yang mengatakan kepala anak-anak untuk memperkokoh pembangunan jembatan, diambil organ-oragan tubuhnya. Menariknya, dari sekian banyak kasus yang dihembus, belum ada satupun yang berhasil diungkap.

Rabu, 09 Maret 2011

Mahasiswa dan Dialaektikanya*


Oleh : Alja Yusnadi**

Dinamika Gerakan Mahasiswa.
Jika kita membuka lembaran sejarah, akan mucul anasir-anasir didalamnya. Salah satu anasir tersebut adalah mahasiswa. Mahasiswa mempunyai peranan penting dalam “menghancurkan” dan membangun Negara, sejarah membuktikan mahasiswa mempunyai peranan dalam meruntuhkan Orde Lama, mahasiswa bertanggung jawab atas Dominasi Militer sejak Orde Baru (Orba) mulai menapakkan kakinya dikancah perpolitikan Indonesia, melalui aksi demonstrasi, akhirnya Mahasiswa angkatan ’66 berhasil menuntut Sokarno mundur dari kursi kepresidenan walupun akhirnya suara mahasiswa dibungkam rezim Orba, karena Soeharto sadar akan peran dan fungsi kaum muda intelektual tersebut.


Waktu terus berlalu, generasi lama di pangkas generasi baru, walau demikian mahasiswa masih menjadi garda terdepan perubahan, puluhan mahasiswa gugur dalam beberapa aksi demonstrasi; Malari, Semanggi, Tanjung Priok, dan beberapa aksi lainnya, baik di sekitar Pulau Jawa maupun di luar itu, tujuannya tidak lain; memperjuangkan nasib rakyat dan “membangunkan” pengemudi negara yang sudah larut dalam gemerlapnya lingkungan istana.

Selasa, 08 Maret 2011

Calon Independent, Silahkan masuk!




Laporan : Alja Yusnadi

Tahun 2011 menjadi “terminal” dalam perpolitikan di Aceh. Pada tahun ini, rakyat Aceh akan memilih siapa yang akan memimpin Aceh selama 5 tahun kedepan melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pemilihan kali ini merupakan pemilihan ke-dua setelah Aceh damai. Tahun 2006, atau setahun setelah penandatanganan naskah perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia, melalui pilkada rakyat telah berhasil mengantarkan pasangan Irwandi-Nazar sebagai gubernur-wakil gubernur aceh periode 2007-2012.

Selain pemilihan guberbur dan wakil gubernur, rakyat aceh di 17 kabupaten/kota juga akan memilih Bupati/wakil bupatinya. Sebenarnya, pilkada merupakan salah satu pesta demokrasi rakyat. Kepala daerah, mulai dari presiden (tingkat paling tinggi dalam negara kesatuan Republik Indonesia), sampai ke Geuchik (tingkat paling bawah dalam struktur pemerintahan) merupakan jabatan yang akan mengurus “nasib” masyarakat. Berbagai persoalan masyarakat akan tergantung kepada kemampuan pemimpin tersebut dalam mengelola, dengan kata lain, maju-mundurnya negara ada ditangan mereka. Oleh karena itu, sangat penting kiranya bagi masyarakat sebagai pemegang mandat kedaulatan untuk berhati-hati dan terampil dalam memilih calon pemimpin tersebut.

Dari beberapa referensi, Demokrasi dapat diartikan sebagai bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

Minggu, 06 Maret 2011

Kenapa KKR Macet?



Oleh : Alja Yusnadi*

Pertama sekali, gagasan tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi  (KKR) ini mucul setelah konflik usai di Bumi Serambi Mekkah. Konflik, menurut  Luthans (1981) adalah kondisi yang ditimbulkan oleh  adanya kekuatan yang saling bertentengan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada  keinginan manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu  perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan.

Dalam konteks Aceh, agaknya konflik bersenjata yang terjadi antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia dalam rentang waktu sejak diproklamirkan GAM Desember 1976 sampai dengan penandatanganan nota kesepahaman pada Agustus 2005 melingkupi defenisi yang disampaikan Luthans. Dimana dua Kelompok saling bertentangan karena adanya perbedaan pendapat tentang pendefenisian Aceh, dan berujung pada permusuhan.

Dengan memakai pola berpikir sederhana saja, konflik yang berlangsung hampir 30 tahun tersebut pasti menimbulkan dampak negatif, terutama bagi masyarakat yang tidak terlibat secara aktif dalam pertentangan.
Sejauh ini, berbagai usaha telah dilakukan oleh kelompok masyarakat untuk menghadirkan KKR di Aceh. Anggapannya, melalui instrumen ini keadilan bagi korban dapat terwujud, dan dapat menjawab persoalan yang selama masih tersembunyi didasar kesadaran sosial masyarakat Aceh.

Menggamat ; Konflik Ditengah Toke dan Agen Tambang.


Menggamat ; Konflik Ditengah Toke dan Agen Tambang.

Oleh : Alja Yusnadi*


Jika ada daerah yang sangat rentan semasa konflik, Menggamat adalah salah satunya.Mendengar nama “Menggamat”, yang terlintas di benak adalah pertempuran, kamp latihan militer, dan hal lain yang berbau militer. Pernah, medio 2003, seorang penduduk, babak belur dihajar dalam sebuah pemeriksaan aparat, hanya karena mengantongi KTP Menggamat. Begitulah Nuansa Menggamat semasa konflik dulu.

Menggamat adalah salah satu kawasan yang berada dipegunungan, dulu daerah ini masuk kedalam Kecamatan Kluet Utara, sekarang sudah menjadi Kecamatan sendiri ; Kluet Tengah. Potensi alam dikawasan ini tergolong cukup. Tanahnya yang subur, cocok untuk lahan pertanian. Beberapa komoditi unggulan keluar dari kawasan ini, seperti nilam dan tanaman holtikultura. Masyarakat Kota Fajar(Ibu kota Kluet Utara), Tapaktuan (ibukota Kabupaten Aceh Selatan) dan sekitarnya tidak bisa menikmati sayur-mayur jika masyarakat Menggamat berhenti berproduksi.

Kesuburuan tanah tidak serta merta menjamin tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Sejak genderang “perang” resmi ditabuh di Aceh, masyarakat Menggamat tidak hidup selayaknya manusia merdeka. Menggamat masuk dalam zona merah. Bukan hanya tanah yang subur, pegunungan yang berliku, dengan kecuraman yang tajam, kawasan menggamat menjadi medan latihan bagi Gerakan Kemerdekaan Aceh wilayah Lhok-Tapaktuan.

Implementasi UUPA : Upaya merawat damai dan pembangunan Aceh berkelanjutan


Implementasi UU-Pemerintahan Aceh : Upaya Merawat Damai dan Pembangunan Aceh Berkelanjutan


Oleh : Alja Yusnadi*


Tepat 15 Agustus 2010, perdamaian aceh memasuki usia 5 tahun. Ibarat bayi, perdamaian terus merangkak mencari format terbaiknya, sehigga pada suatu saat perdamaian yang merupakan buah dari perundingan antara GAM dengan Pemerintah Indonesia bisa berdiri kokoh bersama dengan dinamika sosial, politik, ekonomi yang terus berkembang di Aceh. Sebagai legalitas penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, maka disusunlah sebuah Undang-undang Pemerintah Aceh, sebagaimana diamanatkan oleh Memorandum Of Understanding (MoU) Helsinki yang merupakan dokumen kesepahaman antara GAM dengan Pemerintah Indonesia yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.

 Point 1.1.1 MoU Menyebutkan : Undang-Undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006. Berdasarkan MoU tersebut jelas terlihat bahwa, untuk mengatur tentang Aceh setelah perjanjian damai itu ditandatangani maka diperlukan Undang-undang. Pada Agustus 2006, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menetapkan Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sebelum ditetapkan, Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut terlebih dahulu dibahas di Aceh dengan melibatkan masyarakat sipil dan perguruan tinggi negeri yang ada di Aceh.

Banda Aceh : Visit Debu dan Macet.





Oleh : Alja Yusnadi

Akhir-akhir ini, wajah sebagian Kota Banda Aceh semakin karuan saja sembrautnya. Ditengah gencarnya program “Visit Banda Aceh” yang dicanangkan oleh Wali Kota bersama jajarannya, disitu pula warga Banda Aceh di beri kado istimewa, nyaris setiap hari, warga yang berada disekitar lampineung, Darussalam, Banda raya, dan beberapa wilayah lain yang masuk kedalam “Debu dan Macet Area” menikmati debu, dan kemacetan.

Kado yang membawa bencana ini merupakan ekses daripada kegiatan proyek pembangunan saluran drainase kota. Sebagaimana kita lihat, dimulai sejak tahun 2010 lalu, sebagai salah satu kota yang hendak menuju kosmopolitan atau metro politan, Banda Aceh hendak disulap dan disetarakan dengan beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Medan, Makasar, dan kota-kotalainnya di Indoneisa. Rupanya, salah satu aspek yang hendak dibenahi adalah soal drainase, permasalah serupa juga sedang menghantui masyarakat di beberapa kota besar tadi.

Ayo Bertani!


Oleh :Alja Yusnadi 
PEMERINTAH Aceh sedang giat-giatnya menumbuhkan semangat investasi di Aceh. Mulai dari tour ke berbagai negara, sampai menggait “investor” untuk mencengkram modal di Aceh, seperti Aceh Summit (Aceh International Business Summit (AIBS)) baru-baru ini. Jerih payah tersebut telah menelurkan keringat-keringat investasi, sektor yang banyak dilirik adalah pengerukan sumberdaya alam, semisal emas, bijih besi, dan kandungan mineral lain di perut bumi.

Di tengah kegetiran pemerintah, hasil sementara justru jungkir balik. Simak saja, data yang disajikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, dari seluruh provinsi, Aceh berada pada urutan ke 3 yang memiliki kabupaten yang masih berstatus tertinggal (Viva News.com). Dahsyat Bukan? Untunglah, pemerintah dan elit, memiliki kearifan tersendiri untuk “memaklumkan” keadaan semacam ini; sedang meniti, masa transisi. Upaya untuk menarik Aceh dari jurang ketertinggalan harus diapresiasi, namun kicauan pagi di media massa acap kali berhenti di kertas buram yang dijilid spiral.


Selasa, 18 Januari 2011

Penyelesaian Kasus Korban Konflik ; Antara Prosedural dan Kemanusiaan

Penyelesaian Kasus korban Konflik; Antara Prosedural dan kemanusiaan.

Oleh    : ALJA YUSNADI

Setelah di obrak-abrik konflik selama puluhan tahun, sejak dideklarasinya GAM 1976 oleh Hasan Tiro di Gunung Halimun, kini masyarakat Aceh sedikit tersenyum, pasalnya kesepakatan damai antara Pemerintahan RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah ditandatangani.
Salah satu buahnya adalah kehadiran Badan Reintegrasi-Damai Aceh (BRA). Dengan segala keterbatasannya, lembaga ini hadir untuk mengupayakan proses Reintegrasi. Termasuk membangun kembali rumah korban konflik yang dibakar ketika konflik masih berkecamuk di Aceh.
            Sejak terbentuk beberapa tahun lalu, BRA telah merealisasikan berbagai programnya, dengan harapan amanat Reintegrasi terpenuhi.
Belakangan, dari berbagai permasalahan yang terjadi, yang mencuat kepermukaan adalah kasus pembangunan rumah korban konflik di Aceh Tengah dan Bener meriah. Menurut data yang diperoleh dari korban, BRA meng-anggarkan dana sekitar Rp. 34.500.000, per-unit, namun pada realisasinya, rumah yang dibangun hanya berkisar sekitar Rp. 18.000.000 sampai Rp. 20.000.000 per-unit nya.
            Imbasnya, pembangunan tidak sesuai spesipikasi. Menurut pengakuan korban, beberapa diantaranya tidak layak huni. Namun, sejak 2005 sampai saat ini, persoalan ini belum teratasi.
            Jika terjadi penyalahgunaan anggaran, maka ini menjadi mandat aparat penegak hokum untuk mengusutnya. Sekali lagi kasus ini seakan hilang ditelan masa. Menurut pengakuan Ketua Pelaksana harian BRA, ketika dana itu disalurkan BRA belum terbentuk.
Juli 2007. korban konflik mendatangi Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), tujuannya ingin mengadukan permasalahan tersebut ke wakil rakyat. Awalnya DPRA menyambut baik kedatangan korban konflik tersebut. Tidak lama berselang, Ketua Komisi A DPRA bersama anggotanya turun langsung kelapangan, dan berjanji akan segera menyelesaikan permasalahan tersebut.
            Setelah menunggu sekitar empat bulan, ternyata perbaikan rumah  belum juga dipenuhi. Hal ini membuat korban konflik semakin gerah. Sampai akhirnya pada tanggal 12 Desember 2007, ratusan nasyarakat dari dataran tinggi gayo tersebut mendatangi kembali DPRA, tujuannya mereka kembali memperjuangkan haknya.
            Sebagai lembaga tempat bernaungnya aktor-aktor politik, DPRA kembali berkomitmen untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut. Raihan Iskandar, wakil ketua DPRA mengutarakan niat baik tersebut. Politisi PKS ini juga mengungkapkan keprihatinannya dihadapan korban konflik.
            Bukan hanya DPRA, entah karena merasa dipilih oleh rakyat, Pemerintah Aceh juga mendukung sikap kritis masyarakat tersebut. Dalam Siaran persnya, Gubernur Aceh yang juga penanggung jawab BRA mengatakan “Saya mengintruksikan agar BRA tetap mencari jalan supaya dapat merehab rumah korban konflik Bener Meriah dan Aceh tengah yang tidak sesuai dengan spesipikasi”. Satu sisi, niat baik tersebut patut dihargai, namun tidak bisa memulihkan hati korban konflik yang telah duluan tersayat.
            Bahkan, pihak Kejaksaan Tinggi NAD, juga menyampaiakan komitmennya untuk mengusut tuntas jika terjadi penyelewengan anggaran, seperti disebutkan wakil Kepala Kejaksaan Tinggi NAD Hafidzam dihadapan peserta aksi pertengahan Desember lalu.
            Namun, yang perlu diingat adalah, keprihatinan, niat untuk menyelesaikan masalah dari pengambil kebijakan tersebut tidaklah cukup untuk mengembalikan korban konflik ke tempat asalnya. Yang mereka butuhkan adalah rumah layak huni.
            Jika alasannya tidak ada pos anggaran, sangat lah ironis dengan kondisi Aceh sekarang. Ditengah besarnya kucuran dana, disitu pula terjadi krisis keuangan. Yang diperlukan adalah langkah konkrit dari pengambil kebijakan, bukan hanya retorika. Karena beban moral ketika konflik sudah cukup berat dipundak mereka.
            Maka setidaknya ada beberapa langkah yang dapat diambil, baik DPRA, Pemerintah Aceh dan Institusi Penegak Hukum, diantaranya adalah :
  1. DPRA
Untuk sesegera mungkin memfasilitasi pertemuan atau dialog antar seluruh pihak yang terlibat dalam hal ini dengan melibatkan perwakilan dari masyarakat korban. Bahwa, DPRA tidak bisa begitu saja melepaskan persoalan ini kepada pihak eksekutif semata, ini merupakan persoalan bersama yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
  1. Pemerintah Aceh
Untuk segera mencari solusi terbaik dengan mengedepankan aspek kemanusiaan, tidak hanya menggunakan sistem dan prosedure yang baku. Mengingat bahwa ada kondisi sosial yang memaksa, bahwa hingga saat ini masyarakat masih tetap bertahan di kamp pengungsian.
  1. Institusi Penegak Hukum
Untuk segera melakukan upaya hukum dan menindak tegas pelaku tanpa pandang bulu, bahwasanya hukum harus ditegakkan dalam kondisi apapun.

Setidaknya, penerapan langkah tersebut akan dapat menjawab persoalan yang sedang dihadapi masyarakat korban konflik.
                                                                                       

Jangan tinggalkan kesan “Cuci Tangan”.
Sejauh ini, komitmen BRA, DPRA dan Pemerintah Aceh terkesan “cuci tangan”. Pasalnya, berbagai solusi yang ditawarkan tidak bisa menjawab persolan. Seperti dilontarkan Komisi A DPRA dihadapan korban konflik yang berunjuk rasa, Raihan Iskandar yang didampingi Bahrom Mohammad Rasyid mengatakan, DPRA tidak mempunyai mandat untuk mengambalikan dana yang diselewengkan. Ditambah lagi statemen Khairul Amal dalam dialognya bersama Dawan Gayo (dari BRA), Hendra budian (dari Aceh Judicial Monitoring Institute) di TVRI beberapa waktu lalu. Menurut Ketua Komisi A DPRA tersebut seharusnya Masyarakat korban konflik lebih tepat berunjuk rasa ke kantor Gubernur.
BRA juga demikian, Dawan Gayo mengatakan ketika dana tersebut disalurkan, BRA belum dibentuk, hal itu juga diperkuat Irwandi Yusuf, selaku Gubernur Aceh dan Penanggung jawab BRA. Dari beberapa statemen dan komitmen diatas setidaknya cukup untuk menggambarkan sikap cuci tangan, seolah-olah ini bukan tanggung jawab mereka.
Terlepas dari itu semua, bocah-bocah yatim, janda-janda konflik bersama ratusan korban konflik lainnya masih mengungsi, mereka belum mau pulang jika tuntutannya untuk mendapatkan sisa uang pembangunan rumah terpenuhi.
Sampai saat ini (selasa, 25 Desember 2007), sudah dua minggu mereka menetap di kamp pengungsian dengan meninggalkan kebun dan kampong halaman. Maka pertimbangan yang paling mendasar bagi pengambil kebijakan adalah aspek kemanusiaan. Jangan biarkan kehadiran tenda pengungsi merusak citra perdamaian yang telah terbangun sekitar dua tahun lebih. Apalagi mereka telah pernah mengungsi sejak konflik berlangsung di Aceh.