Jumat, 27 April 2012

Mengintip cinta di Kali Biru



Oleh : Alja Yusnadi*
Salah satu tantangan terbesar dalam mewujudkan kelestarian alam adalah terjadinya pertentangan antara mendahulukan kepentingan masyarakat yang berada disekitar hutan atau mendahulukan kelestarian hutan. Seperti yang sedang dialami masyarakat Buloh Seuma, di Aceh Selatan. satu sisi pemerintah mendahulukan kepentingan hutan lindung, disis lain ada ratusan manusia yang harus diselamatkan.

Dalam perjalanan saya ke Kali Biru, kabupaten Kulon Progo, Jogjakarta, hal itu dapat di formulasikan dengan baik. Berdasarkan cerita masyarakat sekitar, hutan yang ada disekeliling mereka adalah milik masyarakat, yang kemudian pada masa kolonial diambil alih oleh Belanda, tapi tak ada dokumen yang dapat mendukung pernyataan ini, selain bukti tanaman tua yang dianggap ditanam oleh pendahulu mereka. Selanjutnya hutan tersebut menjadi hak pemerintah dengan status hutan lindung.

Pada kenyataannya, sekitar 500 masyarakat hidup berdampingan dengan hutan. Beberapa meter keluar dari rumah sudah hutan. Pemerintah sudah membangun jalan sebagai akses transportasi yang menghubungkan Kali Biru dengan daerah lain, walaupun medannya terjal. Antar rumah penduduk dipisahkan oleh pohon-pohon kayu. Pemerintah memberikan “kelonggaran” kepada masyarakat untuk memanfatkan hutan, dengan cara bercocok tanam melalui pemberdayaan kelompok tani. Pun demikian, masyarakat memiliki kesadaran untuk tidak menebang pohon.

Biaya untuk mendirikan rumah sangat tinggi, material bangunan harus dipasok dari daerah yang jauh dari Kali Biru. Ditengah peliknya ekonomi, masyarakat memiliki tradisi yang unik. Hampir disetiap rumah ada saja satu, dua orang bahkan lebih yang memilih migrasi. Banyak diantara mereka yang sudah berhasil di rantau orang, salah satunya adalah Rektor Universitas Negeri Jakarta. Sang rektor ini menjadi ikon keberhasilan masyarakat, dan hal ini pula yang menjadi motivasi buat mereka untuk menyekolahkan anak hingga keperguruan tinggi. 

Padahal tidak ada sekolah di tempat ini, anak-anak disini harus menempuh perjalanan sekitar 40 KM untuk bersekolah. Pagi-pagi sebelum kesekolah, mereka mencari kayu bakar untuk uang jajan. Dari beberapa orangtua yang berhasil saya wawancarai, dengan kerasnya hidup ini membuat mereka terpacu untuk terus mngubah nasib dengan cara keluar dari Kali Biru. Kebanyakan dari mereka yang telah berhasil tidak kembali ke Kali Biru, hal ini disebabkan sempitnya lahan pekerjaan dan sempitnya lahan pemukiman.

Sebagai upaya untuk mencari alternatif perekonomian, masyarakat Kali Biru secara gotong royong mendirikan Objek Pariwisata ditengah hutan, pengelolaannya secara bersama-sama. Sejak tahun 2009, pariwisata ini sudah dikunjungi berbagai pelancong dari dalam dan luar negeri. Bahkan, Kali biru juga menjadi objek studi banding bagi instansi pemerintah yang mengelola hutan dan juga bagi kelompok tani. Sejauh ini sudah ada beberapa provinsi yang melakukan study banding ketempat yang masih berstatus sebagai Daerah Tertinggal ini.

*) Dikisahkan Berdasarkan Penglihatan, semasa menjadi Peserta Training Civic Education For Future Indonesian Leaders (CEFIL Level II), di Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar