Oleh : Alja Yusnadi*
Salah
satu tantangan terbesar dalam mewujudkan kelestarian alam adalah terjadinya
pertentangan antara mendahulukan kepentingan masyarakat yang berada disekitar
hutan atau mendahulukan kelestarian hutan. Seperti yang sedang dialami
masyarakat Buloh Seuma, di Aceh Selatan. satu sisi pemerintah mendahulukan
kepentingan hutan lindung, disis lain ada ratusan manusia yang harus
diselamatkan.
Dalam
perjalanan saya ke Kali Biru, kabupaten Kulon Progo, Jogjakarta, hal itu dapat
di formulasikan dengan baik. Berdasarkan cerita masyarakat sekitar, hutan yang
ada disekeliling mereka adalah milik masyarakat, yang kemudian pada masa kolonial
diambil alih oleh Belanda, tapi tak ada dokumen yang dapat mendukung pernyataan
ini, selain bukti tanaman tua yang dianggap ditanam oleh pendahulu mereka. Selanjutnya
hutan tersebut menjadi hak pemerintah dengan status hutan lindung.
Pada
kenyataannya, sekitar 500 masyarakat hidup berdampingan dengan hutan. Beberapa
meter keluar dari rumah sudah hutan. Pemerintah sudah membangun jalan sebagai
akses transportasi yang menghubungkan Kali Biru dengan daerah lain, walaupun
medannya terjal. Antar rumah penduduk dipisahkan oleh pohon-pohon kayu.
Pemerintah memberikan “kelonggaran” kepada masyarakat untuk memanfatkan hutan,
dengan cara bercocok tanam melalui pemberdayaan kelompok tani. Pun demikian,
masyarakat memiliki kesadaran untuk tidak menebang pohon.
Biaya
untuk mendirikan rumah sangat tinggi, material bangunan harus dipasok dari
daerah yang jauh dari Kali Biru. Ditengah peliknya ekonomi, masyarakat memiliki
tradisi yang unik. Hampir disetiap rumah ada saja satu, dua orang bahkan lebih
yang memilih migrasi. Banyak diantara mereka yang sudah berhasil di rantau
orang, salah satunya adalah Rektor Universitas Negeri Jakarta. Sang rektor ini
menjadi ikon keberhasilan masyarakat, dan hal ini pula yang menjadi motivasi
buat mereka untuk menyekolahkan anak hingga keperguruan tinggi.
Padahal tidak
ada sekolah di tempat ini, anak-anak disini harus menempuh perjalanan sekitar
40 KM untuk bersekolah. Pagi-pagi sebelum kesekolah, mereka mencari kayu bakar
untuk uang jajan. Dari beberapa orangtua yang berhasil saya wawancarai, dengan
kerasnya hidup ini membuat mereka terpacu untuk terus mngubah nasib dengan cara
keluar dari Kali Biru. Kebanyakan dari mereka yang telah berhasil tidak kembali
ke Kali Biru, hal ini disebabkan sempitnya lahan pekerjaan dan sempitnya lahan
pemukiman.
Sebagai
upaya untuk mencari alternatif perekonomian, masyarakat Kali Biru secara gotong
royong mendirikan Objek Pariwisata ditengah hutan, pengelolaannya secara
bersama-sama. Sejak tahun 2009, pariwisata ini sudah dikunjungi berbagai pelancong
dari dalam dan luar negeri. Bahkan, Kali biru juga menjadi objek studi banding
bagi instansi pemerintah yang mengelola hutan dan juga bagi kelompok tani.
Sejauh ini sudah ada beberapa provinsi yang melakukan study banding ketempat
yang masih berstatus sebagai Daerah Tertinggal ini.
*) Dikisahkan Berdasarkan
Penglihatan, semasa menjadi Peserta Training Civic Education For Future
Indonesian Leaders (CEFIL Level II), di Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar