Oleh : Alja Yusnadi
Menarik
agaknya, Mencermati rubrik opini Serambi Indonesia beberapa waktu terakhir,
seolah mengisyaratkan ; para abdi ilmu pengetahuan di Universitas Syiah Kuala sedang
mereproduksi gagasan, dan berusaha menularkannya kepada rakyat aceh. Betapa
tidak, sebelum itu jarang sekali para “induk” yang telah melahirkan beribu
sarjana, profesi dan pasca sarjana itu menularkan gagasannya di ruang publik
yang dapat diakses oleh khalayak ramai, apalagi yang dianggap beresiko terhadap
eksistensi keberadaan, dan jabatan.
Sejak
aceh dilanda konflik, dan dilanjutkan dengan proses rehab-rekon pasca tsunami,
serta untuk menyikapi tiga tahun kepemerintahan aceh yang nota-benenya
merupakan pemerintah transisi yang membutuhkan perhatian dan masukan dari
berbagai pihak, kaum kampus malah memilih “bungkam”, nyaris tidak ada masukan
yang konstruktif, apalagi yang membawa nama Universitas. Padahal, secara gelar,
Unsyiah cukup memiliki sumberdaya manusia, para professor/guru besar hampir
dimiliki setiap fakultas (pengecualian untuk fakultas baru berdiri).
Misalnya
saja jika Unsyiah ingin memberi pandangan empiriknya terhadap pembangunan sistem
pertanian yang berbasis masyarakat di Aceh, Fakultas pertanian memiliki ahli
dibidang itu, begitu juga dengan fakultas-fakultas lain yang memiliki
spesipikasi dan keahlian masing-masing, tapi sekali lagi, masukan-masukan
konstruktif-jika tidak ingin dikatakan kritik- itu nyaris tidak ada, hanya
beberapa tenaga pengajar yang mengatasnamakan pribadi yang muncul diruang yang
dapat diakses publik (salah satunya rubrik opini Serambi Indonesia).
Namun,
tatkala Martonis (MT), dan dilanjutkan dengan Otto Samsuddin Ishak (OSI) yang
berusaha menularkan gagasannya mengenai akreditasi Unsyiah, bak kata pepatah,
pucuk dicinta ulam pun tiba, berbalas pantun, beberapa Doktor (DR) dari
berbagai disiplin ilmu membalasnya dengan sempoyongan, sehingga menurut Djamaluddin Husita dalam opininya,
salah satu doktor itu menggunakan gaya premanisme dengan menggunakan bahasa
yang tidak etis, sehingga sang penulis lupa dengan title yang sedang
disandangnya.
Polemik
Ala Darussalam itu, dimulai dengan opini Martonis (MT) dengan judul Pantaskah
Unsyiah Berakreditasi C yang dimuat di serambi edisi 30 Januari 2010, ternyata
berbuntut panjang. Penulis buku dari maaf ke panik aceh, OSI, yang menurut DR.
Ishak Hasan sudah mempunyai reputasi nasional, turut angkat bicara perihal akreditas
unsyiah tersebut.
Rupanya,
opini OSI yang juga tenaga pengajar di Unsyiah telah memancing beberapa peraih
gelar akademik tertinggi (DR) di Unsyiah untuk keluar dari persembunyianya, dan
membalasnya dalam ruang yang sama pula (opini serambi Indonesia).
Sebenarnya,
kebiasaan dan selanjutnya menjadi budaya seperti ini sangat bernilai positif
jika terus-terusan dilakukan oleh kaum terdidik-akademisi dari berbagai
disiplin ilmu, karena dari berbagai komponen, kaum kampus dianggap sebagai
salah satu yang berpijak pada kebenaran empiris, bukan kepentingan golongan
atau kelompok, sehingga dapat mewakili suara kebenaran. Apalagi misalnya,
seorang yang menyandang title DR. bidang koperasi mengomentari tentang
pertumbuhan koperasi di aceh, atau DR. ekonomi mengomentari tentang
perkembangan ekonomi aceh, tentunya hal tersebut dapat menajadi masukan bagi
pengambil kebijakan, dan menjadi referensi bagi masyarakat awam.
Nilai
positif lainnya adalah, walau hanya dikemas dalam rubrik opini, paling tidak
karya-karya dari lumbung pendidikan tersebut jelas terlihat, sehingga apa yang
disebut DR. Nazamuddin dalam opininya tentang lemahnya nilai tawar Unsyiah
terhadap Pemerintah dapat diminimalisir. Agar, kedepannya, baik pemerintah aceh
atau pun pemerintah kabupaten/kota dapat menjalin kerjasama dengan unsyiah,
tentunya setelah terlihat karya-karya nya.
Namun,
sangat miris kiranya, jika beberapa DR itu tidak berpijak atas title yang
disandangnya. Beberapa argumentasi yang dimunculkan tendensius, menghantam
personal, dan nyaris tidak nampak disiplin ilmunya.
Memang,
entah ada kaitannya atau tidak, tidak lama lagi, Unsyiah kembali menggelar
pemilihan orang nomor satu di perguruan tinggi negeri tertua di aceh tersebut.
Terdengar kabar, rektor yang sedang menjabat akan kembali maju sebagai calon in-cumben pada pemilihan yang akan
diselenggarakan beberapa bulan lagi.
Reaksi
yang berlebihan tersebut berkaitan dengan menjaga eksistensi keberadaan-jabatan
atau sebagai bentuk ucapan terimakasih, karena telah diberikan jabatan. Sikap
tersebut terlihat ketika menjawab opini OSI yang tidak berkena ke pokok soal,
tapi lebih menyorot soalan personal yang tidak ada sangkut pautnya dengan
substansi. Atau ada juga yang mengambil ancang-ancang untuk pemetaan
kawan-lawan dalam perebutan kursi rektor untuk empat tahun mendatang.
Akreditas C, Pengelola
intropeksi
Sebenarnya,
soalan tentang internal Unsyiah ini sudah cukup lama berlangsung, namun tidak
sempat mengemuka ketengah publik seperti kali ini. Mulai tenaga pengajar, wali
mahasiswa, dan pengambil kebijakan di Aceh (eksekutif dan legislative) seolah
tutup mata, tutup telinga. Hampir tiap tahun, wacana transparansi tentang
pengelolaan unsyiah disuarakan mahasiswa. Namun gerakan tersebut tidak
terkonsolidasi sampai ke luar unsyiah.
Saya
masih ingat, diakhir tahun 2007, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai
fakultas, menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung rektorat untuk mendorong pengelola
kampus agar mempublikasi pengelolaan anggaran unsyiah, karena biaya SPP terus
naik. Aksi tersebut sempat mencoba untuk memboikot pembayaran SPP mahasiswa
baru, karena dinilai tidak layak ; tidak ada transparansi.
Pembantu
Rektor I Bidang Akademik, pada saat itu berjanji akan melakukan transparansi,
namun sudah hampir tiga tahun berlalu, omongan tersebut hanya menjadi angin
lalu.
Sementara
itu, penguasa kampus terus mendengungkan kalau Unsyiah akan segera menerapkan
BHP, dan hal ini juga lepas dari perhatian pemerhati, peminat, praktisi
pendidikan, bahkan, ketika saya dan rekan-rekan mahasiswa beraudiensi dengan unsur
pimpinan DPRA setahun silam, mereka mengatakan belum pernah membaca
Undang-Undang BHP tersebut. Ini artinya, mulai dari pengambil kebijakan, sampai
ke praktisi pendidikan abai terhadap perkembangan pendidikan di Aceh. Padahal,
yang sudah sangat nyata implikasinya adalah terhadap kenaikan SPP, seperti
baru-baru ini.
Salah
satu alasan penguasa kampus, untuk meningkatkan mutu, kemandirian dana.
Padahal, jika penguasa unsyiah mempunyai iktikad baik, silahkan lakukan
publikasi, misalnya, selama ini unsyiah memiliki omset, berapa harga penyewaan
gedung AAC Prof. Dayan Dawod, MA?, berapa harga penyewaan Wisma Unsyiah, ruang
pertemuan wisma kompas, training center?, Unsyiah juga menyewakan gedung untuk
lembaga luar, semisal NGO, Bank, dan semacamnya. Atau, Unsyiah juga memilki
asset yang tidak diketahui oleh semua civitas akademika, apalagi mahasiswa?.
Sehingga, bukan hanya mahasiswa yang akan terselamatkan dengan tidak tingginya
biaya pendidikan, akan tetapi tenaga pengajar yang non jabatan dan non-guru
besar, dapat merasakan nikmat tersebut.
Lonjakan
biaya tersebut tidak dibarengi dengan akreditasi Unsyiah. Dari kelima belas faktor
yang dinilai dalam akreditasi, salahsatunya adalah sistem pengelolaan, jika
menjawab pertanyaan Martonis “Pantaskah Unsyiah berakreditasi C”, jika dilihat
dari besaran dana yang dikutip dari mahasiswa, dan logika yang dipakai ; dana
menggenjot mutu, seharusnya hal tersebut menjadi tamparan bagi pengelola
unsyiah., karena Unsyiah telah menyedot biaya pendidikan dari mahasiswa
melebihi dari perguruan tinggi swasta di Aceh.
Dari
berbagai soalan diatas, sudah selayaknya akademisi mengeluarkan gagasan-gagasan
terkait dengan disiplin ilmu yang dimiliki, tidak hanya “garang” dikandang,
tapi berani muncul ke ruang publik.
Sebagai
bentuk kepedulian, mempertanyakan tentang polemik yang sedang dihadapi Unsyiah
(salah satunya soal akreditasi, dan rencana terapan BHP), saya kira bukan
merupakan upaya jeruk makan jeruk, menelanjangi, apalagi menyarankan pil
saridon. Tapi sebagai insan akedemik, kepekaan sosial itu dimulai dari
lingkungan kampus.
Dan,
kepada pemerhati, peminat, praktisi, pengambil kebijakan (eksekutif,
legislative), wali mahasiswa, dan seluruh komponen rakyat aceh, sudah saatnya
memberikan sedikit perhatian terhadap pendidikan, sehingga sebagai rahim yang
mereproduksi para sarjana, profesi, dan pasca sarjana, Unsyiah dapat berjalan
sebagaimana mestinya.
Penulis
adalah Mantan Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (HIMATETA) Unsyiah,
dan Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Pertanian Unsyiah, periode
2008-2009
(Tanggapan, atas
serangkaian opini tentang akreditasi Unsyiah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar