Oleh: Alja Yusnadi, S.TP.,M.Si
Jika kita berjalan dari barat
hingga ke timur Indonesia, maka akan menemukan banyak sekali Suku, Bahasa,
adat-istiadat, tradisi, kebudayaan. Kesemuanya itu hidup-subur secara
terus-menerus dari generasi ke generasi. “Kekayaan” tersebut dapat menjadi aset
berharga, namun jika diekploitasi bisa saja menjadi jurang pemisah yang
menganga pula. Apa yang terjadi dalam satu dekade terakhir, akibat keterbukaan
arus informasi-teknologi, siapa saja bisa menggunakan sosial-media tanpa saringan.
Akibatnya gesekan-gesekan kecil mudah terjadi, saling hujat, sebar berita hoax,
seolah-olah semua menyentuh esensi, padahal tidak samasekali.
Sebenarnya, sesuatu yang
dipolemikkan oleh beberapa kalangan itu sudah selesai dibahas saat negara ini
hendak merdeka. Sejak pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan dibentuk pada 29 April 1945, pembahasan tentang falsafah yang
mendasari negara itu secara marathon di perbincangkan. Dimana, badan ini memang
diberikan mandat untuk menyusun rancangan Undang-undang Dasar yang akan dipakai
sebagai konstitusi tertulis jika kelak Indonesia Merdeka.
Keragaman tadi juga terlihat dari
anggota BPUPK, Tim Enam, Tim Sembilan dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia. Keragaman Agama dan cara pandang. Dalam sidang-sidang tersebut sudah
mulai nampak aliran pemikiran, secara garis besar ada dua, yaitu aliran
agamis-islam dan aliran nasionalis.
BPUPK merupakan panitia yang di
bentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang yang beranggotakan 60 orang. Dalam
Bahasa Jepang disebut Dokuritzu Zunbi
Tjoosakai. Tim Delapan merupakan tim kerja dari BPUPK yang dipimpin oleh
Bung Karno untuk merumuskan kebijakan tentang falsafah negara yang akan
dilaporkan dalam masa sidang kedua. Tim Sembilan merupakan lanjutan dari Tim
Delapan, perubahan komposisi ini merupakan inisiatif Bung Karno, Karena pada
tim sebelumnya dianggap tidak berimbang, karena enam orang mewakili pemikiran
nasionalis dan hanya dua orang mewakili pemikiran Islam. Pada Tim Sembilan ini,
komposisi menjadi empat orang mewakili
pemikiran nasionalis dan empat orang mewakili pemikiran islam, satu lagi adalah
Bung Karno sebagai ketua tim.
Yang paling tajam dan menonjol
perbedaan cara pandang tersebut disaat Tim Sembilan melaporkan hasil kerja
dihadapan sidang. Pencantuman narasi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat islam bagi pemeluk-pemeluk Nya” mendapat respon tajam dari anggota
sidang yang lain, ialah Latuharhary yang meminta penyebutan tujuh kata tersebut
dihapus karena dianggap diskriminasi tehadap agama lain. Dengan kewibawaannya,
Bung Karno mengharapkan kepada peserta sidang untuk menghargai apa yang telah
dicapai oleh Tim Sembilan dan meminta yang tidak setuju untuk meninggalkan
pendapatnya.
Bermulanya Pancasila
Diawal masa persidangan, 29 Mei
1945, KRT. Radjiman Wediodiningrat selaku ketua BPUPK menanyakan kepada seluruh
anggota,”apa dasar negara yang akan kita bentuk ini?”. Issue ini menjadi
pembicaraan utama pada rapat pertama. Sejak tanggal 29-31 Mei sudah berpuluh
orang berpidato dihadapan sidang, namun belum ada yang dapat menjawab dengan
tepat apa yang menjadi dasar negara. Baru, pada tanggal 1 juni, Bung Karno
berpidato tanpa teks tentang Pancasila.
Berpidato tanpa teks bukan lah
perkara yang gampang jika tidak menjiwai tentang apa yang akan disampaikan,
tidak cukup dengan jago orasi saja. Apa yang disampaikan tentang Pancasila itu
secara keseluruhan merupakan hasil kontemplasi dan perjalanan hidup. Bung Karno
menggali Pancasila itu dari nilai luhur nusantara, bukan barang import.
Pergulatan panjang sejarah perjuangan Bung Karno hingga dibuang ke pulau Flores
dan Lampung.
Dalam pengantar pidatonya tentang
Pancasila, Bung Karno menyampaikan,”Kita sama-sama mencari persatuan Philosophische grondslag, mencari satu Weltanschauung yang kita semua setuju.
Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui,
yang Ki Hajar setujui, yang sdr. Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui,
yang sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus,”. Maknanya,
Bung Karno berharap pancasila yang akan disampaikannya dan menjadi dasar negara
harus merefresentasikan kepentingan semuanya, yang dapat merajut
kepingan-kepingan perbedaan itu menjadi nusantara.
Pertama, Kebangsaan Indonesia.
Dalam hal ini Bung Karno menyebutkan hendak mendirikan suatu negara “semua buat
semua”, bukan buat satu orang saja, bukan buat satu golongan yang kaya, tapi
“semua buat semua”. Kedua, Internasionalisme atau peri kemanusiaan. Kebangsaan
yang dianjurkan, menurut Bung Karno bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvunisme. Kita harus menuju persatuan
dunia persaudaraan dunia, bukan saja harus mendirikan negara Indonesia, tetapi
harus menuju kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Ketiga, Mufatakat atau Demokrasi.
Menurut Bung Karno, syarat mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan,
perwakilan. Jika terjadi perbedaan, ada yang belum terpuaskan, dibicarakan
dalam permusyawaratan.
Keempat, Kesejahteraan Sosial.
Menurut Bung Karno jika kita menempuh jalan demokrasi, maka pilihannya bukan
demokrasi barat. Tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politeik economische democratie yang
mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Semua masyarakat tidak hanya sama
dalam hal politik, tapi juga harus sama dalam lapangan ekonomi, kesejahteraan
bersama yang sebaik-baiknya.
Kelima, Ketuhanan yang
berkebudayaan. Prinsip Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Urutan sila ini, menurut
Roeslan Abdoelgani sebagaimana disampaikan dalam sidang konstituante jika dalam urutan keterangan yang disampaikan oleh
Bung Karno Ketuhanan disebut belakangan hendaknya jangan ditarik kesimpulan
seakan-akan dasar ini hendak dikebelakangkan.
Jauh daripada itu, ia hanya sekedar
menuruti sistematika penjelasan saja. Bahkan menurut Roeslan, dalam bagian
akhir itu hendaknya diartikan sebagai sesuatu yang mengunci didalam kekuasaan
keempat dasar yang disebutkan sebelumnya.
Begitulah intisari dari pidato
Bung Karno terkait dengan Pancasila yang akan dijadikan sebagai dasar negara
yang disampaikan pada sidang BPUPK, 1 juni 1945, dan diterima secara aklamasi
sebagai dasar dalam menyusun falsafah negara Indonesia Merdeka. Dalam sidang
tersebut, Bung Karno satu-satunya yang tegas mengusulkan filosofische grondslag untuk negara
yang akan dibentuk yaitu lima sila yang disebut Pancasila.
Selesai masa sidang pertama, Tim
Delapan mulai bekerja untuk menyerap dan memeriksa usul-usul menyangkut
beberapa masalah yang digolongkan menjadi beberapa katagori. Diakhir pertemuan,
Bung Karno berinisiatif membentuk Tim Sembilan. Setelah melewati perdebatan
yang alot, akhirnya tim Sembilan menyepakati konsep rancangan pembukaan
undang-undang dasar yang ditandatangani pada 22 Juni 1945. Ada beberapa
penyebutan untuk kesepakatan ini, Bung Karno menyebutnya “Mukhaddimah”, M.
Yamin menyebut “Piagam Jakarta”, Sukiman menyebutnya “Gentlemen’s Agreement”.
Dikemudian hari, kita lebih mengenalnya sebagai “Piagam Jakarta”.
Perlu diingat, keputusan tim
Sembilan ini masih berupa rancangan karena BPUPK hanya melakukan usaha-usaha
penyelidikan kemerdekaan. Tepat 18 Agustus, kesepakatan yang terdapat dalam
piagam Jakarta tersebut diubah pada bagian akhirnya oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia, sehingga hanya tinggal Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut taufiq Kiemas dalam
naskah disertasi Doktor Honoris Causanya di Universitas Trisakti, ketiga
rumusan tentang Pancasila tersebut harus dipahami sebagai satu kesatuan proses
dalam kelahiran Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara. Dimulai dari
pidato Bung Karno di hadapan sidang BPUPK pada 1 Juni, Piagam Jakarta 22 Juni,
hingga keputusan PPKI 18 Agustus 1945.
Setelah melalui serangkaian
sejarah panjang dan berliku, mulai dari mengurangi pengaruh Bung Karno,
menjadikannya tahanan rumah, hingga mengaburkan sejarah tentang dirinya dan
Pancasila, pada tahun 2012 pemerintah menjadikannya sebagai pahlawan nasional.
Terakhir, melalui keputusan presiden nomor 24 tahun 2016 tentang hari lahir
Pancasila, pemerintah menetapkan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila dan
menjadi hari libur nasional. Pemerintah bersama segenap komponen bangsa dengan
penuh semangat memperingati 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila. Ternyata,
sudah 72 tahun Pancasila merajut nusantara.
Alja Yusnadi S.TP adalah ketua DPC PDI Perjuangan kabupaten aceh selatan
https://padebooks.com/pancasila-merajut-nusantara/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar