Kamis, 31 Maret 2011

APBA 2011 terancam!


Oleh : Alja Yusnadi*
Triwulan Pertama dalam masa abdi tahun 2011 sudah memasuki masa akhir. Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) belum juga diwujudkan menjadi APBA melalui penetapan qanun Aceh. Dari 33 Provinsi di Indonesia,  Aceh menjadi satu-satunya Provinsi yang belum mensahkan APBD.  Hal tersebut dikatakan Menteri Dalam Negri, Gamawan fauzi, dalam rapat kerja dengan komite IV DPR RI (Waspada Online). Bahkan, 28 Provinsi mensahkan APBD sebelum Januari, dan 3 Provinsi Mensahkan pada bulan Januari. Ada Apa dengan Aceh?, sampai bulan Maret belum mensahkan APBA (Untuk Aceh berlaku sebutan APBA, untuk provinsi lain APBD).

Kamis, 10 Maret 2011

Mak Rante?


Oleh : Alja Yusnadi

Berita itu kian merebak. Bergerak meresahkan masyarakat. Dimulai beberapa bulan yang lalu, memuncak sampai diberitakan oleh Serambi Indonesia, edisi 13 Desember. Penculikan anak-anak. Begitu berita disebar. Sebenarnya, ini bukan kisah baru. sejak saya kecil, issue ini sudah pernah dihembuskan. Berbagai istilah disematkan ; makrante, jogak, dua istilah itu beredar di masyarakat sekitar kluet dan Pulau Banyak.

Modus operandinya banyak. Ada yang mengatakan kepala anak-anak untuk memperkokoh pembangunan jembatan, diambil organ-oragan tubuhnya. Menariknya, dari sekian banyak kasus yang dihembus, belum ada satupun yang berhasil diungkap.

Rabu, 09 Maret 2011

Mahasiswa dan Dialaektikanya*


Oleh : Alja Yusnadi**

Dinamika Gerakan Mahasiswa.
Jika kita membuka lembaran sejarah, akan mucul anasir-anasir didalamnya. Salah satu anasir tersebut adalah mahasiswa. Mahasiswa mempunyai peranan penting dalam “menghancurkan” dan membangun Negara, sejarah membuktikan mahasiswa mempunyai peranan dalam meruntuhkan Orde Lama, mahasiswa bertanggung jawab atas Dominasi Militer sejak Orde Baru (Orba) mulai menapakkan kakinya dikancah perpolitikan Indonesia, melalui aksi demonstrasi, akhirnya Mahasiswa angkatan ’66 berhasil menuntut Sokarno mundur dari kursi kepresidenan walupun akhirnya suara mahasiswa dibungkam rezim Orba, karena Soeharto sadar akan peran dan fungsi kaum muda intelektual tersebut.


Waktu terus berlalu, generasi lama di pangkas generasi baru, walau demikian mahasiswa masih menjadi garda terdepan perubahan, puluhan mahasiswa gugur dalam beberapa aksi demonstrasi; Malari, Semanggi, Tanjung Priok, dan beberapa aksi lainnya, baik di sekitar Pulau Jawa maupun di luar itu, tujuannya tidak lain; memperjuangkan nasib rakyat dan “membangunkan” pengemudi negara yang sudah larut dalam gemerlapnya lingkungan istana.

Selasa, 08 Maret 2011

Calon Independent, Silahkan masuk!




Laporan : Alja Yusnadi

Tahun 2011 menjadi “terminal” dalam perpolitikan di Aceh. Pada tahun ini, rakyat Aceh akan memilih siapa yang akan memimpin Aceh selama 5 tahun kedepan melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pemilihan kali ini merupakan pemilihan ke-dua setelah Aceh damai. Tahun 2006, atau setahun setelah penandatanganan naskah perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia, melalui pilkada rakyat telah berhasil mengantarkan pasangan Irwandi-Nazar sebagai gubernur-wakil gubernur aceh periode 2007-2012.

Selain pemilihan guberbur dan wakil gubernur, rakyat aceh di 17 kabupaten/kota juga akan memilih Bupati/wakil bupatinya. Sebenarnya, pilkada merupakan salah satu pesta demokrasi rakyat. Kepala daerah, mulai dari presiden (tingkat paling tinggi dalam negara kesatuan Republik Indonesia), sampai ke Geuchik (tingkat paling bawah dalam struktur pemerintahan) merupakan jabatan yang akan mengurus “nasib” masyarakat. Berbagai persoalan masyarakat akan tergantung kepada kemampuan pemimpin tersebut dalam mengelola, dengan kata lain, maju-mundurnya negara ada ditangan mereka. Oleh karena itu, sangat penting kiranya bagi masyarakat sebagai pemegang mandat kedaulatan untuk berhati-hati dan terampil dalam memilih calon pemimpin tersebut.

Dari beberapa referensi, Demokrasi dapat diartikan sebagai bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

Minggu, 06 Maret 2011

Kenapa KKR Macet?



Oleh : Alja Yusnadi*

Pertama sekali, gagasan tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi  (KKR) ini mucul setelah konflik usai di Bumi Serambi Mekkah. Konflik, menurut  Luthans (1981) adalah kondisi yang ditimbulkan oleh  adanya kekuatan yang saling bertentengan. Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada  keinginan manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu  perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan.

Dalam konteks Aceh, agaknya konflik bersenjata yang terjadi antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia dalam rentang waktu sejak diproklamirkan GAM Desember 1976 sampai dengan penandatanganan nota kesepahaman pada Agustus 2005 melingkupi defenisi yang disampaikan Luthans. Dimana dua Kelompok saling bertentangan karena adanya perbedaan pendapat tentang pendefenisian Aceh, dan berujung pada permusuhan.

Dengan memakai pola berpikir sederhana saja, konflik yang berlangsung hampir 30 tahun tersebut pasti menimbulkan dampak negatif, terutama bagi masyarakat yang tidak terlibat secara aktif dalam pertentangan.
Sejauh ini, berbagai usaha telah dilakukan oleh kelompok masyarakat untuk menghadirkan KKR di Aceh. Anggapannya, melalui instrumen ini keadilan bagi korban dapat terwujud, dan dapat menjawab persoalan yang selama masih tersembunyi didasar kesadaran sosial masyarakat Aceh.

Menggamat ; Konflik Ditengah Toke dan Agen Tambang.


Menggamat ; Konflik Ditengah Toke dan Agen Tambang.

Oleh : Alja Yusnadi*


Jika ada daerah yang sangat rentan semasa konflik, Menggamat adalah salah satunya.Mendengar nama “Menggamat”, yang terlintas di benak adalah pertempuran, kamp latihan militer, dan hal lain yang berbau militer. Pernah, medio 2003, seorang penduduk, babak belur dihajar dalam sebuah pemeriksaan aparat, hanya karena mengantongi KTP Menggamat. Begitulah Nuansa Menggamat semasa konflik dulu.

Menggamat adalah salah satu kawasan yang berada dipegunungan, dulu daerah ini masuk kedalam Kecamatan Kluet Utara, sekarang sudah menjadi Kecamatan sendiri ; Kluet Tengah. Potensi alam dikawasan ini tergolong cukup. Tanahnya yang subur, cocok untuk lahan pertanian. Beberapa komoditi unggulan keluar dari kawasan ini, seperti nilam dan tanaman holtikultura. Masyarakat Kota Fajar(Ibu kota Kluet Utara), Tapaktuan (ibukota Kabupaten Aceh Selatan) dan sekitarnya tidak bisa menikmati sayur-mayur jika masyarakat Menggamat berhenti berproduksi.

Kesuburuan tanah tidak serta merta menjamin tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Sejak genderang “perang” resmi ditabuh di Aceh, masyarakat Menggamat tidak hidup selayaknya manusia merdeka. Menggamat masuk dalam zona merah. Bukan hanya tanah yang subur, pegunungan yang berliku, dengan kecuraman yang tajam, kawasan menggamat menjadi medan latihan bagi Gerakan Kemerdekaan Aceh wilayah Lhok-Tapaktuan.

Implementasi UUPA : Upaya merawat damai dan pembangunan Aceh berkelanjutan


Implementasi UU-Pemerintahan Aceh : Upaya Merawat Damai dan Pembangunan Aceh Berkelanjutan


Oleh : Alja Yusnadi*


Tepat 15 Agustus 2010, perdamaian aceh memasuki usia 5 tahun. Ibarat bayi, perdamaian terus merangkak mencari format terbaiknya, sehigga pada suatu saat perdamaian yang merupakan buah dari perundingan antara GAM dengan Pemerintah Indonesia bisa berdiri kokoh bersama dengan dinamika sosial, politik, ekonomi yang terus berkembang di Aceh. Sebagai legalitas penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, maka disusunlah sebuah Undang-undang Pemerintah Aceh, sebagaimana diamanatkan oleh Memorandum Of Understanding (MoU) Helsinki yang merupakan dokumen kesepahaman antara GAM dengan Pemerintah Indonesia yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.

 Point 1.1.1 MoU Menyebutkan : Undang-Undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006. Berdasarkan MoU tersebut jelas terlihat bahwa, untuk mengatur tentang Aceh setelah perjanjian damai itu ditandatangani maka diperlukan Undang-undang. Pada Agustus 2006, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menetapkan Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sebelum ditetapkan, Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut terlebih dahulu dibahas di Aceh dengan melibatkan masyarakat sipil dan perguruan tinggi negeri yang ada di Aceh.

Banda Aceh : Visit Debu dan Macet.





Oleh : Alja Yusnadi

Akhir-akhir ini, wajah sebagian Kota Banda Aceh semakin karuan saja sembrautnya. Ditengah gencarnya program “Visit Banda Aceh” yang dicanangkan oleh Wali Kota bersama jajarannya, disitu pula warga Banda Aceh di beri kado istimewa, nyaris setiap hari, warga yang berada disekitar lampineung, Darussalam, Banda raya, dan beberapa wilayah lain yang masuk kedalam “Debu dan Macet Area” menikmati debu, dan kemacetan.

Kado yang membawa bencana ini merupakan ekses daripada kegiatan proyek pembangunan saluran drainase kota. Sebagaimana kita lihat, dimulai sejak tahun 2010 lalu, sebagai salah satu kota yang hendak menuju kosmopolitan atau metro politan, Banda Aceh hendak disulap dan disetarakan dengan beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Medan, Makasar, dan kota-kotalainnya di Indoneisa. Rupanya, salah satu aspek yang hendak dibenahi adalah soal drainase, permasalah serupa juga sedang menghantui masyarakat di beberapa kota besar tadi.

Ayo Bertani!


Oleh :Alja Yusnadi 
PEMERINTAH Aceh sedang giat-giatnya menumbuhkan semangat investasi di Aceh. Mulai dari tour ke berbagai negara, sampai menggait “investor” untuk mencengkram modal di Aceh, seperti Aceh Summit (Aceh International Business Summit (AIBS)) baru-baru ini. Jerih payah tersebut telah menelurkan keringat-keringat investasi, sektor yang banyak dilirik adalah pengerukan sumberdaya alam, semisal emas, bijih besi, dan kandungan mineral lain di perut bumi.

Di tengah kegetiran pemerintah, hasil sementara justru jungkir balik. Simak saja, data yang disajikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, dari seluruh provinsi, Aceh berada pada urutan ke 3 yang memiliki kabupaten yang masih berstatus tertinggal (Viva News.com). Dahsyat Bukan? Untunglah, pemerintah dan elit, memiliki kearifan tersendiri untuk “memaklumkan” keadaan semacam ini; sedang meniti, masa transisi. Upaya untuk menarik Aceh dari jurang ketertinggalan harus diapresiasi, namun kicauan pagi di media massa acap kali berhenti di kertas buram yang dijilid spiral.