Kamis, 31 Maret 2011

APBA 2011 terancam!


Oleh : Alja Yusnadi*
Triwulan Pertama dalam masa abdi tahun 2011 sudah memasuki masa akhir. Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) belum juga diwujudkan menjadi APBA melalui penetapan qanun Aceh. Dari 33 Provinsi di Indonesia,  Aceh menjadi satu-satunya Provinsi yang belum mensahkan APBD.  Hal tersebut dikatakan Menteri Dalam Negri, Gamawan fauzi, dalam rapat kerja dengan komite IV DPR RI (Waspada Online). Bahkan, 28 Provinsi mensahkan APBD sebelum Januari, dan 3 Provinsi Mensahkan pada bulan Januari. Ada Apa dengan Aceh?, sampai bulan Maret belum mensahkan APBA (Untuk Aceh berlaku sebutan APBA, untuk provinsi lain APBD).
Yang lebih berbahaya adalah statement Menteri Keuangan, Agus Martowardojo, yang mendukung menteri keuangan sebelumnya untuk memfinalti bagi daerah yang terlambat mensahkan APBD nya. Hal tersebut harus menjadi warning bagi Legislatif dan eksekutif di Aceh. Jangan sampai, aceh melalui kekhususannya yang merupakan buah dari pada perjuangan panjang yang telah menelantarkan banyak korban, memiliki APBA (termasuk suntikan dana pusat) Triliunan rupiah harus difinalti (pemotongan) hanya gara-gara keterlambatan pengesahan oleh DPRA dan gubernur Aceh. sumber penerimaan keuangan Pemerintah Aceh pada tahun 2011 Rp 6,8 triliun. (Serambi Indonesia/28/2/2011)

Secara Umum, APBD dapat didefinisikan sebagai rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember (Wikipedia).

Dalam ketentuan Umum Undang-undang No 11 tentang Pemerintahan Aceh disebutkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Aceh yang selanjutnya disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah Provinsi Aceh yang ditetapkan dengan Qanun Aceh.

Secara mandat, dalam UU- Pemerintahan Aceh secara jelas disebutkan : Gubernur atau bupati/walikota mempunyai tugas dan wewenang: menyusun dan mengajukan rancangan qanun tentang APBA kepada DPRA dan APBK kepada DPRK untuk dibahas, disetujui, dan ditetapkan bersama (pasal 42, ayat 1, point d UU-PA).

Berdasarkan pasal tersebut, terlihat jelas yang bertanggung jawab terhadap penyusunan dan pengesahan APBA adalah Gubernur dan DPRA. Sehingga, timbul praduga, kedua lembaga (karena jabatan) inilah yang telah menarik ulur, sehingga Aceh menjadi satu-satunya provinsi yang belum mensahkan APBD.

Selain terancam finalti, keterlambatan pengesahan APBA juga berdampak terhadap keberlangsungan pembangunan di Aceh. Banyak sektor “mengganggur” akibat belum ada kepastian hukum terhadap arah pemajuan Aceh selama 7 bulan kedepan. Karena salah satu fungsi dari qanun APBA adalah Fungsi otorisasi ; bermakna bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk merealisasi pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan. Tanpa dianggarkan dalam APBA sebuah kegiatan tidak memiliki kekuatan untuk dilaksanakan. Kelalaian ini juga mencerminkan kinerja dari kedua lembaga di Aceh; Eksekutif dan Legislatif.

Kenapa Terlambat?
Tahun 2011, merupakan tahun hiruk-pikuk politik di Aceh. Bayangkan saja, 17 Kab/kota dan provinsi akan menggelar pemilihan kepala daerah (Pemilukada) pada tahun 2011. Sehingga, Legislatif yang diisi oleh perwakilan partai politik akan sangat sibuk mengurusi taktik, kecap apa yang akan layak dijual dalam pesta tipu rakyat kali ini, sehingga calon yang mereka ajukan dapat naik ekstabilitas dan dapat diterima oleh masyarakat sebagai pemegang kedaulatan. Ketidakmandirian politik ini akan mempengaruhi kerja wakil rakyat di Daud Beureueuh. Sejak dilantik akhir 2009 lalu, anggota parlemen sudah bertugas lebih dari satu tahun, dan sudah banyak mendapat pelajaran, sehingga alasan ketidakmampuan agak kurang relevan dijadikan alasan dimasa tugas tahun ke 3 ini.

Dipihak eksekutif juga setali tiga uang, Gubernur Aceh (dan juga wakil gubernur) akhir-akhir ini juga menyatakan hasratnya ingin maju kembali dalam laga tahun ini. Kesibukan pun dialihkan untuk mendongkrak popularitas dan nilai jual, mulai menghadiri acara dayah, peresmian kecamatan, temu ramah dengan berbagai kelompok, hingga lawatan keluar negeri. Sehingga, konsentrasi terhadap perumusan kebijakan strategis yang dapat mendongkrak taraf kesejahteraan masyarakat terabaikan. Begitu juga nasibnya dengan APBA 2011.

Alasan lain yang juga tidak kalah menariknya yang dapat dimunculkan adalah “Transaksi Politik”. Sebagaimana disebutkan, APBA adalah legalitas untuk mengatur keuangan tahunan. Tidak jarang, APBA menjadi alat tukar saham antara legislatif dan eksekutif. Misalnya apa yang terjadi pada tahun anggaran sebelumnya, anggota dewan mendapatkan suntikan Rp 5 Milyar perorang melalui dana aspirasi (dikali 69 orang), sementara Gubernur mendapat sekitar Rp 68 M. Jika satu pihak saja kepentingannya tidak diakomodir, maka jangan pernah mimpi ABPA akan disahkan. Hal ini juga yang sedang menarik perhatian masyarakat terhadap Opera yang sangat tidak lucu sekali yang sedang dilakoni Bupati Abdya versus DPRK Abdya. Gara-gara tidak mengakomodir kepentingan keduabelah pihak, akhirnya APBK tidak kunjung mendapat persetujuan bersama.

Fenomena tersebut tidak tertutup kemungkinan menjadi salah satu alasan keterlambatan pengesahan APBA 2011. Para “konsultan-marketing” masing-masing pihak sedang bergerlya, melihat dengan seksama post mana dari APBA yang dapat disulap untuk dapat dijadikan modal politik yang dianggap legal.
Secara politis, pihak DPRA mengemukakan alasan mengenai keterlambatan pengesahana APBA 2011 karena ada perubahan anggaran dari beberapa SKPA, yang total anggarannya melebihi Rp 2 Triliun. Perubahan itu juga dilanjutkan dengan beberapa catatan, misalnya saja harus mengutamakan program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat banyak dan multi efek.

Sebenarya, keterlambatan pengesahan APBA bukan tahun ini saja, justru sudah menjadi langganan tahunan. Bayangkan saja bagaimana 28 Provinsi dapat mengesahkan APBD nya sebelum bulan januari, ini artinya DPRD dan Gubernurnya sudah siap, sudah memasang kuda-kuda jauh hari sebelum tahun anggaran.

Keterlambatan pengesahan APBA ini akan berakibat pada tersendatnya proses pembangunan dan rentang waktu yang pendek dalam masa anggaran. Seandainya APBA 2011 disahkan pada pertengahan Maret atau awal april, pemerintah Aceh (SKPA, pihak ke 3) hanya memiliki waktu sekitar tujuh atau delapan bulan masa realisasi anggaran. 6,8 Triliun akan diserap dengan masa sesingkat itu?.

Bisa dibayangkan, bagaimana nasib pembangunan aceh kedepan. Untuk mengantisipasi pendeknya rentang waktu anggaran, SKPA dan pihak ke 3 (seperti kontraktor) akan kejar tayang. Proyek-proyek fisik dikerjakan seadanya, seperti hasil temuan pansus DPRA baru-baru ini yang menemukan ratusan proyek fisik yang dikerjakan asal jadi.

Sudah saatnya, bagi Pihak Eksekutif dan Legislatif Aceh untuk berkaca ulang, mengenyampingkan kepentingan pribadi dan kelompok untuk mendahulukan kepentingan rakyat. Karena tuan-puan sekalian dipilih oleh rakyat, tanpa rakyat, tidak ada pemerintahan.

Sebagai salah satu bentuk kebijakan publik, Keberadaan qanun APBA adalah hal yang sangat mutlak diperlukan. Tujuan dari kebijakan publik sendiri, sebagaimana dikemukakan oleh Riant Nugroho (expert Kebijakan publik) dapat dibedakan menjadi dua : Pertama, kebijakan publik yang bertujuan mendistribusikan sumberdaya negara dan yang bertujuan menyerap sumberdaya negara.

Dalam hal APBA 2011 ini, DPRA dan Gubenur Aceh hendaknya memanfatkan sumberdaya aceh dengan segala kelebihannya untuk didistribusikan kepada masyarakat banyak, bukan malah sebaliknya ; mempolitiking APBA untuk kekayaan kelompok dan modal gratis untuk Pilkada kedepan. Semoga!

*Penulis adalah Ka. Div. Advokasi Kebijakan pada Lembaga Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF). Mantan Ketua DPO Himpunan Mahasiswa Aceh Selatan (HAMAS).

1 komentar: