Senin, 10 Oktober 2011


Damai, Bukan Hanya Pilkada!
Oleh : Alja Yusnadi
Damai Menjadi kata yang sering disuarakan oleh berbagai pihak, terutama diaceh. Sebagai daerah bekas konflik yang memiliki sejarah pelanggaran Hak Azasi Manusia yang panjang, tentu damai adalah harapan besar. Menariknya, Kata damai juga menjadi pendulum bagi politisi, mereka menariknya kedalam ranah pilkada. Bagi pendukung, pengusung penundaan pilkada, maka kata damai dipadankan dengan kata penundaan pilkada, artikata, damai akan tercipta jika pilkada ditunda. Begitu juga dengan pendukung, pengusung pilkada jangan ditunda, kata damai akan lahir jika pilkada tidak ditunda.
Begitulah, damai telah diseret kedalam kepentingan politik. Seolah-olah, aceh damai ada diujung lidah mereka. Namun demikian, diera demokrasi, kebebasan berpendapat juga dijamin undang-udang. Sebagai salah satu variabel yang hidup dan terus berkembang, demokratisasi (elektroral) menjadi satu sudut yang dapat berpengaruh terhadap situasi aceh, terutama elit yang dapat menggerakkan mesin-mesin politiknya. Pilkada sendiri merupakan Hajatan lima tahunan untuk menggantikan kepala daerah, dimana rakyat dapat memilih calon kepala daerah sesuai dengan pilihannya, walaupun pemilih rasional masih dapat diperdebatkan, Politiking elit masih menjadi faktor utama dalam memobilisasi pemilih.

Sejauhmana Pelaksanaan atau Penundaan Pilkada akan berdampak terhadap perdamaian aceh?, tentu untuk menjawab secara kongkrit hal itu dapat dilakukan dengan melakukan sejumlah survey. Sejauh ini, perdebatan mengenai pilkada masih menjadi perdebatan ditingkat elit. Masyarakat tidak terlalu mempersoalkannya, pilkada tidak akan mempengaruhi angka kemiskinan, pilkada tidak dapat menekan angka pengangguran, pilkada tidak dapat menjadikan garam hambar asin kembali. Yang sudah pasti, pilkada menghabiskan uang rakyat (APBA).

Lalu, apa yang diperdebatkan oleh elit aceh?, tentu masing-masing pihak dapat menginterpretasikannya, dari sudut pandang yang berbeda. Yang jelas, melalui pilkada, stakeholder pilkada akan memperjuangkan jagoannya untuk memimpin aceh lima (5) tahun kedepan. Dengan demikian, akan memudahkan akses untuk mengeruk uang rakyat.

Rakyat sudah jenuh dengan dramatisasi pilkada ini, eksekutif-legislatif plus KIP Aceh dalam beberapa bulan terakhir telah menjadi tontonan yang sebenarnya tidak lucu. Dimata orang luar, aceh tidak dapat mengurus rumah tangga disaat kondisi damai, sesama aceh tidak akur lagi, kontras dengan saat konflik, dimana keacehan dapat dikontruksikan menjadi semangat bersama. Mulai dari tukang RBT dipelosok gampong hingga politisi disenayan.

Pengaduan ke Jakarta (Kemendagri) juga dipahami oleh rakyat sebagai sikap cengeng stakeholder pilkada, untuk menjaga isi perut semua mengadu kejakarta. Entah berapa kali sudah mereka terbang kesana, berapa banyak pula uang rakyat terkuras untuk sekedar mengadu itu? Tidak pernah terpublikasi, hanya mereka yang tahu. 

Jakarta pun tidak ambil pusing. Sejauh ini pengaduan tersebut berhenti sampai di Dirjen Otonomi Daerah. Entah dimana letak marwah aceh yang dikooptasi oleh stakeholder pilkada. Seolah-olah, masalah aceh hanya soal pilkada. Padahal masih banyak hal penting lain yang harus dan wajib diurusi mereka!.
Jika mengacu kepada skenario Aceh Baru yang disusun oleh Konsorsium Aceh Baru tahun 2007 silam, aceh saat ini berada pada posisi Aceh lama I, bahkan mendekati Aceh Hancur. Eksekutif berjalan sendiri, tidak mendapat dukungan dari DPRA, hal ini akan menghambat realisasi ekonomi pro rakyat, sehingga pemerataan ekonomi tidak dapat terwujud. Retaknya Hubungan Gubernur dan DPRA ikut mempengaruhi pelayanan publik. 

Kebijakan ekonomi tidak mampu meningkatkan kesejahteraan secara signifikan, karena lembaga keuangan yang ada diaceh tidak mendukung. Pengelolaan Sumberdaya alam juga tidak diarahkan untuk mendukung perkembangan ekonomi masyarakat. Penguasa memfasilitasi para pemodal besar untuk berkuasa diatasa sumberdaya alam aceh, eksesnya akan menimbulkan gesekan sosial ditengah masyarakat. barangkali, prediksi itu sudah terjadi ditengah masyarakat yang berada disekitar Perusahaan Pertambangan, seperti di Lhong,Aceh besar, Menggamat, Aceh Selatan, Babahrot, Abdya.

Beberapa kondisi aktual lain, seperti persoalan Peraturan Pemrintah tentang dana perimbangan untuk mengimplementasikan pembagian hasil antara Jakarta dengan Aceh dibidang hidrokarbon dan sumberdaya alam lainnya, apalagi dana bagi hasil dari minyak dan gas serta sektor kehutanan juga menggambarkan aceh sedang berada dalam Aceh Lama I. Disamping itu, peraturan tentang pendapatan dari dana bagi hasil dan dana otonomi khusus hanya aturan diatas kertas.

Di aceh sendiri, Provinsi dan Kab/kota tidak mampu mengelola dan mengorientasikan dana perimbangan. Sudah beberapa tahun aceh mendapat aliran dana tersebut, namu belum terlihat arah penggunaannya. Hal tersebut diperparah dengan terjadinya indikasi korupsi diberbagai instansi pemerintah, dan lebih celakanyanya lagi penegak hukum tidak dapat mengungkap indikasi tersebut secara terang-benderang.

Dari sisi keamanan, sepanjang tahun 2008 sampai dengan sekarang masih didominasi oleh merajalelanya pencurian, pemerasan, penculikan dan perampokan bersenjata yang menimbulkan keresahan dimasyarakat. Aprat kepolisian tidak mampu mengendalikan beredarnya senjata ilegal dalam masyarakat.
Soal pilkada, diskenario itu ditulis pada tahun 2012 dan berlangsung agak kacau. Barangkali apa yang terjadi sejak empat (4) bulan yang lalu dapat membuktikan, pelaksanaan pilkada agak kacau, dan digambarkan gubernur berasal dari kelompok dominan di DPRA.

Upaya untuk mempertahankan situasi damai ini sebenarnya dapat di interfensi oleh pemerintahan aceh melalui peningkatan sumberdaya eknomi masyarakat, pengelolaan sumberdaya alam yang berkeadilan, menciptakan situasi keamanan yang kondusif, pengelolaan dan pemanfaatan dana bagi hasil dan dana otonomi khusus, bukannya menghabiskan energi hanya untuk Pilkada.

Hal ini tentu menjadi warning bagi pengusa, terutama yang selama ini menjadi “penjaga gawang” perdamaian. Jika tidak, aceh berada dalam Aceh lama I, dimana ciri selanjutnya adalah retaknya hubungan Gubernur terpilih dengan DPRA, hal ini diperuncing oleh ego sektoral, hubungan gubernur dengan para bupati/walikota juga tidak harmonis,  DPRA tidak mampu membuat regulasi yang mengutungkan rakyat aceh.
Hal itu tidak lepas dari gagalnya parlok menjadi sumber bagi elit baru aceh yang berkualitas. Parlok yang seharusnya melahirkan kader-kader baru yang mengembangkan sikap toleran, berorientasi pada aceh yang kosmopolitan, dan merakyat, terjerembab sekedar menjadi mesin politik untuk kepentingan elit dan bersikap elitis, parlok tidak mampu berhasil membangun karakter yang berberda dari parnas.

Disisi lain kekuatan politik lama mulai memperkuat diri dengan berkolusi dengan perwira milter, baik untuk beking politik maupun persengkokolan memburu rente ekonomi. Pembuatan qanun yang mengatur tentang pembagian dana otonomi khusus untuk kab/kota dirumuskan sangat kabur sehingga sulit untuk melacak pemakaiannya. Keuntungan bagi hasil dari bidang kehutanan, minyak, gas dan hasil tambang lainnya yang awalnya direncanakan untuk menunjang ekonomi rakyat, pada akhirnya menjadi ajang rebutan partai politik dan birokrat, bahkan APBA mulai digunakan untuk modal politik dan menunjang operasi militer dalam rangka meningkatkan stabilitas. Jadi, Persoalan Aceh bukan hanya Pilkada!

Penulis adalah analis kebijakan dan Manager Program Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF),

Tidak ada komentar:

Posting Komentar