Senin, 12 Desember 2011

Kinerja Lemah, DPRA Harus Berbenah!


Kinerja Lemah, DPRA Harus Berbenah!.[1]
(Catatan Akhir Tahun)

Oleh : Alja Yusnadi[2]

Berdasarkan UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, DPRA merupakan lembaga legislatif aceh yang mempunyai fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan (pasal 22 atay 1).
DPRA periode 2009-2014 berjumlah 69 orang, terdiri dari 7 Komisi : Komisi A membidangi Hukum, Politik dan Pemerintahan, Komisi B membidangi Perekonomian, Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Komisi C membidangi Keuangan dan Investasi, Komisi D membidangi Pembangunan dan Tata Ruang, Komisi E membidangi Pendidikan, Sain dan Teknologi, Komisi F membidangi Kesehatan dan Kesejahteraan, Komisi G membidangi Agama dan Kebudayaan. Serta terdiri dari 4 Fraksi : Fraksi Partai Aceh, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, dan Fraksi PPP/PKS.
Sejak dikukuhkan pada akhir 2009, DPRA sudah menuai konflik internal, hal tersebut terjadi dalam menetapkan wakil ketua III, Partai Amanat Nasional (PAN) yang memiliki 5 orang anggota di DPRA dan menjadi Partai Pemenang Pemilu ke 4 merasa berhak atas kursi Wakil Ketua III, sementara Partai Aceh (PA) menyatakan jabatan tersebut diberikan kepada Partai Aceh. polemik tersebut sampai ke Menteri Dalam Negeri, tapi hingga saat ini jabatan Wakil Ketua III masih kosong, belum ada kepastian hukum yang tetap.

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh ACSTF, selama 6 bulan pertama di tahun 2011 DPRA disibukkan dengan hal-hal yang bersifat audiensi, baik menerima kunjungan DPRD, DPRK, dan instansi lainnya. Fungsi utama : Legislasi, Budgeting, Controling tidak berjalan maksimal. Untuk tahun 2011, DPRA melalui Badan Legislasinya telah menetapkan 31 rancangan qanun prioritas, namun sampai Juni belum ada satu pun yang berhasil diparipurnakan, kecuali qanun APBA. Hal ini menjadi salah satu indikator lemahnya kemampuan DPRA dalam hal legislasi.

Sebagai salah satu produk hukum yang dihasilkan setelah Penandatanganan MoU Perdamaian antara GAM dan RI, UU. No 11 tahun 2006 merupakan sandaran hukum bagi aceh dalam menjalankan roda pemerintahan kedepan. Menjalankan aturan yang dirumuskan didalam undang-undang tersebut merupakan salah satu upaya untuk terus merawat damai aceh. UU akan berjalan sempurna jika aturan pelaksananya turun semua, baik itu Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Presiden, Qanun Aceh, Qanun Kabupaten/Kota, maupun Peraturan Gubernur. Sejauh ini, dari 63 Qanun Aceh yang direkomendasikan oleh UU-PA, baru 20% dibuat oleh Pemerintahan Aceh (Legislatif dan eksekutif).

Dalam hal budgeting, DPRA juga masih belum disiplin. Pengesahan APBA pada akhir April adalah salah satu bukti nyata. Berdasarkan hasil pemantauan, fokus DPRA dalam melaksanakan pembahasan R-APBA 2011 ini berlangsung optimal pada bulan April 2011, ini pun berjalan dibawah tekanan pemerintah pusat yang telah mengeluarkan peringatan finalty. Aceh pun mendapat gelar “provinsi paling telat mengesahkan APBA 2011 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia”, ini menjadi preseden buruk bagi pemerintahan Aceh dalam menjalankan roda pemerintahan. 

Akibat keterlambatan pengesahan APBA ini juga mempengaruhi kondisi dan situasi perekonomian yang berdampak negatif bagi masyarakat serta pembangunan Aceh menjadi terhambat. Ini belum lagi arah kebijakan pembangunan Aceh yang tidak jelas tergambar dalam platform anggaran belanja Aceh, artinya pemerintah Aceh sendiri baik eksekutif maupun legislatif belum mampu mentransformasi arah dan konsep pembangunan Aceh yang berkelanjutan dalam penyusunan R-APBA guna meningkatkan taraf hidup masyarakat, pelestarian damai dan mewujudkan aceh yang modern.

Fungsi Pengawasan yang dilakukan DPRA juga belum siginifikan. Selama ini pengawasan lebih kepada pengawasan teknis, misalnya pengawasan pembangunan jalan dan  jembatan, dan sifatnya seporadis.  DPRA belum menunjukkan fungsi pengawasan yang optimal diseluruh sektor publik yang menjadi kebutuhan penting masyarakat. Dalam hal ini fungsi pengawasan DPRA masih fokus pada 1 sektor yaitu pengawasan infrastruktur. 

Namun bagaimana pengawasan sektor lainnya, ini menjadi perhatian penting bagi DPRA kedepan. Mutu  pendidikan aceh masih berada di urutan bawah, besarnya anggaran dinas pendidikan tidak serta-merta dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Bagaimana dengan pengawasan sektor kesehatan, anggaran yang dialokasikan disektor ini jumlahnya besar tapi jumlah orang yang sakit atau tingkat kesehatan masyarakat Aceh memiliki kualitas kesehatan rendah. Ini ditunjukkan dengan ramainya masyarakat yang sakit atau masyarakat yang memanfaatkan program JKA. Dampak ini juga akan berpengaruh pada proses pelayanan rumah sakit yang akhirnya masyarakat tidak mendapat pelayanan optimal dan juga kurangnya sarana-prasarana pelayanan kesehatan.

Seharusnya jika pengawasan disektor publik ini dilakukan secara maksimal dan menyeluruh oleh anggota DPRA, dapat dipastikan seluruh persoalan yang timbul dan penyalahgunaan wewenang oleh pihak eksekutif dalam menggunakan anggaran Aceh akan dapat diminimalisir dan wibawa DPRA sebagai wakil rakyat akan meningkat.

Berdasarkan Pasal 23 UU No. 11 tahun 2011, tugas pengawasan DPRA adalah melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun Aceh dan peraturan perundang-undangan lain, melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Aceh dalam melaksanakan program pembangunan Aceh, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta penanaman modal dan kerja sama internasional.

Pola kinerja juga masih rendah, indikatornya adalah masih banyaknya anggota parlemen Aceh yang kurang disiplin baik menyangkut dengan kehadiran dalam persidangan, pertemuan/audiensi maupun rapat-rapat lainnya. Hal  ini didasarkan pada data laporan pemantauan (absensi) yang menunjukkan tingkat kedisiplinan anggota DPRA masih rendah, bahkan ada yang hanya melakukan tandatangan daftar hadir.

Alat kelengkapan DPRA, seperti Badan Kehormatan Dewan belum berjalan optimal, hal ini mengakibatkan lemahnya pengawasan internal DPRA. Unsur Pimpinan juga perlu bersikap tegas terhadap anggota dewan dan panitia khusus (Pansus) yang diberikan tanggung jawab untuk merumuskan materi qanun.
Beberapa Fraksi tidak memanfaatkan keberadaannya di DPRA sebagai penyeimbang terhadap Fraksi mayoritas, sehingga transformasi informasi ke publik di kuasai oleh fraksi mayoritas. Dalam beberapa rencana kebijakan yang di follow-up oleh media massa, seperti Qanun APBA, Qanun Pilkada, Qanun Wali Nanggroe yang sering menanggapinya adalah anggota DPRA dari fraksi mayoritas. Kondisi seperti ini berdampak negatif terhadap kualitas kebijakan yang akan dihasilkan.

Rendahnya produktivitas kinerja parlemen ini menjadi cerminan dari peranan partai politik dalam melakukan pendidikan bagi kadernya. Untuk menginterfensi kinerja anggota parlemen juga dapat melalui fungsi pengawasan partai politik. Dalam implementasinya, Parpol harus memiliki sistem pendidikan dan pengkaderan yang berbasis pengetahun “legislastif” bagi setiap calon anggota legislatif yang akan diusung. Parpol juga harus menjadikan tolak ukur berbasis kinerja dalam melakukan pengawasan terhadap kadernya yang duduk di parlemen. 

Partisipasi Publik
Partisipasi Publik merupakan elemen mendasar dalam kerangka perwujudan good governance. Sejatinya, rakyatlah yang memiliki kedaulatan. Untuk mewujudkan hal itu, rakyat memiliki hak dan kesempatan yang cukup untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan dan demokrasi, tidak cukup dengan refresentative democracy saja. Sebagai salah satu bentuk kebijakan, proses pembuatan Qanun aceh harus memberikan ruang partisipasi publik yang luas. 

Dalam proses pembuatannya, mulai dari perencanaan hingga penyebarluasan/sosialisasi, masyarakat harus dilibatkan. Dasar hukum keterlibatan/partisipasi masyarakat sudah diatur dalam qanun No. 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembuatan Qanun. Qanun ini merupakan derivasi dari Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 

Sejauh ini DPRA belum memberikan ruang akses yang memadai terhadap partisipasi publik. Media Centre (MC) DPRA yang awalnya dijadikan sebagai sumber informasi kedewanan tidak berfungsi maksimal. Banyak agenda DPRA tidak terpajang dipapan pengumuman MC. Pentingnya pusat informasi yang tersusun rapi mempermudah public untuk mengakses agenda sidang DPRA. Dalam beberapa kasus, singkronisasi informasi lintas alat kelengkapan dewan juga tidak berjalan lancar.

Dalam proses pembuatan qanun, seharusnya DPRA baik melalui Pansus, Komisi, fraksi ataupun alat kelengkapan dewan lainnya harus memperbanyak dan memperluas wilayah penyerapan aspirasi publik. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), Hearing, sharing, seminar seharusnya tidak hanya mengundang Instansi terkait, tapi kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dari kebijakan tersebut harus dilibatkan.

Hal itu telah dijamin oleh qanun no.3 tahun 2007, seperti disebutkan pada pasal 23, ayat (1) “Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik”. Pada ayat (2) disebutkan “masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan qanun. 

Selama ini, selain proses partisipasi publik yang sangat minim, banyak qanun yang telah disahkan tidak disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga akan berpengaruh terhadap tingkat kesadaran hukum.
Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas qanun Aceh, DPRA hendaknya membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya dengan tetap mengacu kepada aturan yang ada. Kampus (akademisi, mahasiswa) dapat mengambil peran sebagai “pemantau” kinerja DPRA, sehingga pertarungan kepentingan politik dapat diorientasikan menjadi kepentingan aceh, bukan hanya kepentingan sekelompok, apalagi pribadi.




[1] Disampaikan pada Seminar Akuntabilitas DPRA sebagai badan perundang-undangan, Senin, 12 Desember 2011.
[2] Penulis adalah Manager Program Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar