Oleh : Alja Yusnadi
Terus-terusan
berlindung di balik kata “transisi” bukanlah pilihan yang tepat bagi Aceh,
memberikan pema’afan dan pemakluman yang berlebihan terhadap segala kekurangan membuat
bangsa ini bebal. Justru, yang paling penting mengetahui dan mengakui
kekurangan, kemudian memperbaikinya dimasa yang akan datang.
Dari
sisi demokrasi, sudah terjadi perubahan jika dibandingkan dengan era konflik. Dulu,
pemilu dijadikan alat kampanye untuk menolak sistem pemilihan Indonesia, pemilu
tahun 2004 berlangsung di bawah tekanan, masyarakat aceh di intimidasi untuk
tidak ikut pemilu, bahkan ada beberapa calon legislatif yang di paksa untuk
tidak ikut pemilihan.
Ditengah
uforia perdamaian, Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) Aceh tahun 2006 berjalan lancar. Itu merupakan momentum
pertama rakyat Aceh memilih kepala daerah secara langsung. Irwandi-Nazar yang
naik melalui jalur perseorangan memperoleh suara terbanyak. Pasangan ini di
dukung mayoritas mantan GAM--Gerakan Aceh Merdeka--. Nuansa yang hampirsama
juga terlihat pada Pilkada 2012. Pasangan Zaini-Muzakir yang di usung Partai
Aceh dan didukung penuh mantan GAM yang terorganisir di dalam Komite Peralihan
Aceh—KPA—mendapatkan suara terbanyak.
Demokrasi
Salah
satu prinsip demokrasi adalah keikutsertaan masyarakat dalam menentukan
pemimpin, dengan cara satu orang satu suara. Pada pilkada 2006 dan 2012 proses
ini sudah terjadi. Secara kuantitas, demokrasi sudah berjalan, tapi bagaimana dengan
kualitas?. Apakah masyarakat memilih dengan cukup sadar?atau masih berada
dibawah tekanan?, baik itu tekanan fisik, teror, penculikan?, atau tekanan
ekonomi dalam bentuk penyogokan?.
Menurut
DR. Riant Nugroho--ahli Kebijakan Publik--, ada beberapa klasifikasi demokrasi,
pertama ; demokrasi sinaran,
demokrasi yang dilanjutkan dengan excellencing
public policy, membawa pada keindahan dan bersinar-sinar. pemilihan kepala
daerah hanya dijadikan sebagai proses, sementara substansinya adalah bagaimana
merumuskan kebijakan publik yang dapat memberikan dampak positif terhadap kemajuan
negara/daerah dan kesejahteraan masyarakatnya.
Kedua,
demokrasi siaran, yaitu demokrasi
yang hanya diomongkan, disosialiasikan, dan hanya digembar-gemborkan. demokrasi
berhenti dimeja-meja seminar akademisi, diujung lidah penggiat demokrasi,
diujung toa dinas informasi dan
komunikasi, sementara rakyat tidak begitu peduli, bahkan tidak tahu makna
berdemokrasi.
Ketiga,
demokrasi sialan, yaitu demokrasi
yang dibajak oleh elit, baik itu elit intelektual, elit politik, elit partai,
pengusaha elit, atau elit internasional, dijadikan proyek dan memberi
keuntungan bagi mereka sendiri. Ini adalah kualitas terburuk dari demokrasi
menurut Riant, demokrasi sialan!.
Aceh saat ini
Berada
di level manakah kualitas demokrasi aceh saat ini?. Jika masyarakat memberikan
hak suaranya dengan sadar, tanpa intimidasi, dan setelah itu diikuti dengan kebijakan
publik yang excellent, demokrasi di aceh
sudah berada pada demokrasi sinaran. Jika demokrasi masih menjadi wacana kalangan
menengah, masyarakat dalam menentukan pilihan masih digiring, intimidasi,
demokrasi di aceh masih kelas siaran.
Nah, jika demokrasi hanya menjadi
milik kelompok tertentu saja, masyarakat hanya dijadikan sapi perah, terjadinya
kooptasi terhadap kepemilikan aceh, ini menandakan demokrasi di aceh berada
pada kualitas demokrasi sialan!.
Demokrasi sialan
ini tidak berhenti sampai pada proses pemilihan saja, namun juga berpengaruh
terhadap hasilnya. Proses sialan akan menghasilkan hasil yang sialan juga, dan
akan berdampak pada kebijakan publik yang membawa sial pula. Ruang terhadap keterlibatan
masyarakat juga dibatasi, hanya kalangan tertentu saja yang dapat mengaksesnya.
Iklim
demokratisasi harus berjalan dengan baik. Dalam tatanan negara maju, memperkuat
demokrasi diikuti dengan memperkuat
masyarakat sipil dan memperkuat pemerintahan. Memperkuat negara tidak berarti
melemahkan demokrasi dan masyarakat sipil. Masing-masing harus berjalan pada
pilar yang sama. Memperkuat masyarakat sipil bukan berarti melakukan infiltrasi terhadap Organisasi
Masyarakat Sipil, misalnya melakukan interfensi
terhadap suksesi OMS, memasukkan orang-orang dari lingkar kekuasaan kedalam
kepengurusan, hingga menyetir kebijakan, apalagi mengadu-domba.
Nasehat
klasik Huntington yang menyatakan pentingnya penegakan tertib politik, termasuk
melakukan penekanan terhadap partisipasi politik untuk pemerintahan yang baru
terbentuk, tidak relevan lagi. memperkuat pemerintahan melalui penekanan
partisipasi politik masyarakat mengakibatkan timbulnya embrio konflik baru.
Gubernur/wakil
gubernur terpilih harus berlaku sama terhadap seluruh lapisan masyarakat.
perbedaan pilihan pada saat pilkada harus dipandang sebagai dinamika demokrasi,
sehingga tidak ada diskriminasi pembangunan dan distribusi kesejahteraan, baik
itu berdasarkan wilayah, dukungan politik dan semacamnya. Hal ini penting
dilakukan sebagai jawaban terhadap aspirasi sebagian masyarakat Barat-Selatan
yang menghendaki terbentuknya Provinsi Aceh Barat Selatan (ABAS), dan
masyarakat Tengah-Tenggara yang menghendaki terbentuknya Provinsi Aceh Leuser
Antara (ALA), dimana aspirasi tersebut sempat reda menjelang pilkada. Apalagi
gubernur/wakil gubernur dan ketua DPRA berasal dari wilayah pesisir
timur-utara.
Belajar
dari masa orde baru, pendekatan militerisme harus dihilangkan dari pola
penyelenggaraan pemerintahan kedepan. Pemimpin Aceh harus mampu merumuskan
kebijakan publik yang excellent.
Paling tidak, ada beberapa issue penting yang menjadi concern aceh, pertama; pengelolaan sumberdaya alam. Setelah
Tsunami, pengerukan sumberdaya alam terjadi secara masif, lebih dari seratus
perusahaan sudah mendapatkan izin ekplorasi, ekploitasi tambang di Aceh,
sementara pemasukan daerah dari sektor ini tidak begitu signifikan. Produk
Domestik Regional Bruto—PDRB—beberapa kabupaten yang menjadi basis
pertambangan, seperti Abdya, Aceh Besar, Aceh Selatan masih didominasi dari
sektor pertanian, perkebunan. Sementara resiko kerusakan, dampak yang
ditimbulkan oleh pertambangan lebih besar daripada pertanian, perkebunan. Untuk
itu, pemerintahan aceh kedepan perlu memformulasikan kembali arah kebijakan
pertambangan.
Kedua,
relasi aceh-jakarta. Untuk kepentingan pembangunan aceh kedepan, pemerintah
aceh perlu membangun relasi yang kompromis-setara dengan jakarta. Hal itu
berguna untuk mendorong penuntasan beberapa aturan hukum berkaitan dengan
implementasi Undang-Undang No. 11 tentang Pemerintahan Aceh—UUPA--. Ketiga, konsolidasi internal aceh, Nahkoda baru harus
mampu bersinergi dengan berbagai kekuatan di aceh, mulai dari akademisi,
politisi, dayah, pengusaha, cerdik pandai, aktivis, dibarengi dengan
penghapusan jarak diantara semuanya. Keempat, Gubernur/wakil gubernur terpilih
harus memiliki arah pembangunan aceh kedepan. Sejauh ini baru angan-angan saja
yang terlihat. Implementasi UUPA seperti dijanjikan semasa kampanye adalah hal
mutlak yang harus dilakukan. UUPA jangan dijadikan senjata untuk meninabobokkan
rakyat aceh. Seterusnya, Pemerintah Aceh bertanggung jawab untuk mensosialisasikan
UUPA kepada khalayak ramai, agar rakyat Aceh tidak tersesat. Jika ini tidak
disikapi dengan serius, demokrasi di aceh adalah demokrasi sialan!.
*) Penulis adalah Manager Program Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF),
Alumni Civic Education For Future Indonesian Leaders (CEFIL) II
Pernah dimuat di tabloid MODUS Aceh, edisi 17-24 Juni 2012
Fhoto : Int
Tidak ada komentar:
Posting Komentar