Oleh : Alja Yusnadi
Syahdan, di
suatu negeri bertuan-puan, masyarakatnya sedang sibuk menentukan siapa yang
akan menjadi Tuan Besar di negeri itu. Menghadapi suksesi ini, masyarakat
meninggalkan sawah-ladang. Mereka berbondong-bondong, bersyarikat mendukung
jagoannya. Mereka menyiapkan berbagai rupa persembahan. Biasanya pemilihan
tetua negeri tak serumit ini, mengikuti sampai sang tetua sudah uzur, tak
sanggup lagi. tetua negeri biasanya tidak dipilih, ditentukan oleh beberapa
orang perwakilan sagi, wali sagi inilah yang memilih tetua negeri. Tidak ada
protes keras dari tuan-puan penghuni negeri.
Entah apa
sebabnya, tiba-tiba sistem penentuan tetua negeri tak lagi seperti biasa.
Masyarakat diberikan hak suara untuk menentukan tetua negeri. Bagai pisau
bermata dua ; bisa untung, dapat pula buntung. Dengan penuh keterbatasan,
akhirnya mereka membuat sistem pemilihan tetua negeri. Dibentuk lah panitia
pemilihan, panitia pengawas pemilihan. Kemudian masyarakat dibelah, mereka
diharuskan mendirikan perkumpulan-perkumpulan, melalui perkumpulan inilah tetua
negeri ini dicalonkan.
Hari berganti
mingu hingga berganti bulan, tuan-puan mendirikan beberapa perkumpulan, mereka
mengasosiakan diri di dalamnya. Para calon diberikan kesempatan untuk
menawarkan program kerjanya jika menjadi tetua negeri. Bermacam ragam, ada yang
menyewa kelompok rebana dari negeri sebelah, ada yang membagi-bagi bunga, ada
yang menyiapkan persembahan, itu semua dilakukan untuk menarik perhatian
tuan-puan semua, dan mengajak untuk memilih.
Semua calon
menawarkan program yang bagus, menjulang tinggi, hingga membawa negeri tak
bernama ini masuk kedalam perkumpulan negeri-negeri. Ada juga yang menawarkan
dukun gratis, tuan-puan tak perlu risau jika sakit, karena dukun telah dibayar
oleh negeri. Sekelolah keluar negeri, hingga menawarkan nikah siri gratis.
Bahkan, ada yang berani menjamin memberi uang untuk penghuni negeri sebanyak
tiga stali.
Begitulah,
masing-masing disibukkan mendukung jagoannya. Berbagai cara dilakukan, bahkan
hingga mengancam secara fisik. Ini lah kemundurannya, dulu puan dan tuan
penghuni negeri ini bersatu melawan penjajah dari negeri lain, bersama-sama
mengusirnya. Kini, mereka yang dulu satu barisan saling bantahan. Hingga
melampauai batas kemanusiaan. Beberapa orang sudah di bunuh, mereka menjadi
korban. Beberapa orang penduduk negeri tetangga juga diancam, di bunuh. Situasi
negeri sudah mulai kacau. Sawah-ladang yang sudah ditinggalkan tak terurus
lagi, penghuninya sudah sibuk mengurus calon tetua negeri. Pembangunan mesjid,
pembangunan rangkang juga tersendat. Begitu besar dampaknya. Penduduk
bertetangga sudah tidak saling sapa, padahal dulu mesra. Situasi negeri begitu
cepat berubah.
Hari pemilihan
hampir tiba, masing-masing kandidat dan pendukung sudah menyiapkan strateginya.
Tibalah pada masanya, tuan-puan beramai-ramai memberi suara. Rupanya ada yang
tak puas, entah darimana ihwalnya, pertempuran tak dapat dielakkan, pemilihan
gagal, tetua negeria tak jadi diganti.
Melihat situasi
ini, tetua negeri yang sudah sangat tua turun tangan, dia menenangkan keadaan.
Semua kelompok menginginkan jagoannya yang ditetapkan sebagai tetua negeri yang
baru, sehingga kesepakatan sulit dicapai. Tidak hilang akal, ditengah
kepikunan, tetua negeri mempersilahkan masing-masing kelompok untuk membubarkan
diri, kembali rumah masing-masing, pemilihan ulang akan diberitahukan kemudian.
Dengan raut kecewa, tuan-puan meninggalkan pusat negeri, menuju rumah
masing-masing.
Beberapa waktu
kemudian, tetua negeri membuat pengumuman, isinya meminta rakyat untuk pergi ke
lapangan Blang Padang, menghadiri kenduri raya. Beberapa ekor kerbau dan lembu
di sembelih, rakyat dengan sukarela mempersiapkan segala sesuatu, mulai
menyembelih, mencari buang nangka, peras kelapa, hingga memasak, masing-masing
bekerja sesuai keahliannya.
Setelah kuah
beulangong masak, tetua negeri meminta rakyatnya mundur, menjauh dari
beulangong. Kemudian tetua negeri meminta beberapa kandidat untuk maju,
menghadap beulangong. Tetua negeri memberikan perintah, agar masing-masing
kandidat dipercayakan untuk membagi kuah belangong kepada seluruh rakyat,
secara bergiliran.
Dimulai dari
kandidat pertama, dengan penuh percaya diri, disertai sorak-sorai pendukungnya
membagikan kuah beulangong kepada tuan-puan yang hadir. Satu persatu maju
dengan membawa sepiring nasi yang telah dipersiapkan. Disaat yang sama datang
tuan-puan pendukung kandidat kedua, kandidat pertama memberikannya setengah aweuk, begitu sampai pada pendukung dan
saudaranya, dia memberikan satu aweuk
penuh.
Tetua negeri
menghentikan, meminta kandidat kedua untuk membagikan kuah beulangong. Sama
saja, disaat tiba pendukung dan sanak-saudaranya, sang kandidat memberikan satu
aweuk penuh. Begitu pun dengan
kandidat-kandidat berikutnya. Tetua negeri menggeleng kepala, rakyat sudah
tenggelam dalam kenikmatan kuah beulangong.
Rakyat selesai
makan, petanda kenduri akan berakhir. Tetua negeri naik mimbar. Sekejap suasana
jadi senyap. “rakyat ku, hari ini kita telah menyaksikan bagaimana para kandidat
ini telah membagikan kuah beulangong pada kalian,” ucap sang tetua negeri.
“kalian bisa melihat, bagaimana mereka membagikan kuah beulangong itu tidak
secara adil, jika dihadapannya adalah sanak saudara dan pendukung, dia
melebihkan, ini tandanya mereka tidak adil, hanya merebut kekuasaan, negeri ini
akan hancur jika dipimpin oleh orang seperti ini,” tetua negeri terus
berceramah, mengalir bagai air bah. Tuan-puan tercengang, para kandidat
tertunduk lesu. Sejak itu, para kandidat mengundurkan diri, untuk sementara
negeri tetap dipimpin tetua dahulu, hingga rakyat negeri itu betul-betul siap
berdemokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar