Rabu, 06 Agustus 2014

Politek Kuah Beulangong




Oleh : Alja Yusnadi
Syahdan, di suatu negeri bertuan-puan, masyarakatnya sedang sibuk menentukan siapa yang akan menjadi Tuan Besar di negeri itu. Menghadapi suksesi ini, masyarakat meninggalkan sawah-ladang. Mereka berbondong-bondong, bersyarikat mendukung jagoannya. Mereka menyiapkan berbagai rupa persembahan. Biasanya pemilihan tetua negeri tak serumit ini, mengikuti sampai sang tetua sudah uzur, tak sanggup lagi. tetua negeri biasanya tidak dipilih, ditentukan oleh beberapa orang perwakilan sagi, wali sagi inilah yang memilih tetua negeri. Tidak ada protes keras dari tuan-puan penghuni negeri.

Entah apa sebabnya, tiba-tiba sistem penentuan tetua negeri tak lagi seperti biasa. Masyarakat diberikan hak suara untuk menentukan tetua negeri. Bagai pisau bermata dua ; bisa untung, dapat pula buntung. Dengan penuh keterbatasan, akhirnya mereka membuat sistem pemilihan tetua negeri. Dibentuk lah panitia pemilihan, panitia pengawas pemilihan. Kemudian masyarakat dibelah, mereka diharuskan mendirikan perkumpulan-perkumpulan, melalui perkumpulan inilah tetua negeri ini dicalonkan.

Hari berganti mingu hingga berganti bulan, tuan-puan mendirikan beberapa perkumpulan, mereka mengasosiakan diri di dalamnya. Para calon diberikan kesempatan untuk menawarkan program kerjanya jika menjadi tetua negeri. Bermacam ragam, ada yang menyewa kelompok rebana dari negeri sebelah, ada yang membagi-bagi bunga, ada yang menyiapkan persembahan, itu semua dilakukan untuk menarik perhatian tuan-puan semua, dan mengajak untuk memilih.

Semua calon menawarkan program yang bagus, menjulang tinggi, hingga membawa negeri tak bernama ini masuk kedalam perkumpulan negeri-negeri. Ada juga yang menawarkan dukun gratis, tuan-puan tak perlu risau jika sakit, karena dukun telah dibayar oleh negeri. Sekelolah keluar negeri, hingga menawarkan nikah siri gratis. Bahkan, ada yang berani menjamin memberi uang untuk penghuni negeri sebanyak tiga stali.

Begitulah, masing-masing disibukkan mendukung jagoannya. Berbagai cara dilakukan, bahkan hingga mengancam secara fisik. Ini lah kemundurannya, dulu puan dan tuan penghuni negeri ini bersatu melawan penjajah dari negeri lain, bersama-sama mengusirnya. Kini, mereka yang dulu satu barisan saling bantahan. Hingga melampauai batas kemanusiaan. Beberapa orang sudah di bunuh, mereka menjadi korban. Beberapa orang penduduk negeri tetangga juga diancam, di bunuh. Situasi negeri sudah mulai kacau. Sawah-ladang yang sudah ditinggalkan tak terurus lagi, penghuninya sudah sibuk mengurus calon tetua negeri. Pembangunan mesjid, pembangunan rangkang juga tersendat. Begitu besar dampaknya. Penduduk bertetangga sudah tidak saling sapa, padahal dulu mesra. Situasi negeri begitu cepat berubah.

Hari pemilihan hampir tiba, masing-masing kandidat dan pendukung sudah menyiapkan strateginya. Tibalah pada masanya, tuan-puan beramai-ramai memberi suara. Rupanya ada yang tak puas, entah darimana ihwalnya, pertempuran tak dapat dielakkan, pemilihan gagal, tetua negeria tak jadi diganti.

Melihat situasi ini, tetua negeri yang sudah sangat tua turun tangan, dia menenangkan keadaan. Semua kelompok menginginkan jagoannya yang ditetapkan sebagai tetua negeri yang baru, sehingga kesepakatan sulit dicapai. Tidak hilang akal, ditengah kepikunan, tetua negeri mempersilahkan masing-masing kelompok untuk membubarkan diri, kembali rumah masing-masing, pemilihan ulang akan diberitahukan kemudian. Dengan raut kecewa, tuan-puan meninggalkan pusat negeri, menuju rumah masing-masing.

Beberapa waktu kemudian, tetua negeri membuat pengumuman, isinya meminta rakyat untuk pergi ke lapangan Blang Padang, menghadiri kenduri raya. Beberapa ekor kerbau dan lembu di sembelih, rakyat dengan sukarela mempersiapkan segala sesuatu, mulai menyembelih, mencari buang nangka, peras kelapa, hingga memasak, masing-masing bekerja sesuai keahliannya.

Setelah kuah beulangong masak, tetua negeri meminta rakyatnya mundur, menjauh dari beulangong. Kemudian tetua negeri meminta beberapa kandidat untuk maju, menghadap beulangong. Tetua negeri memberikan perintah, agar masing-masing kandidat dipercayakan untuk membagi kuah belangong kepada seluruh rakyat, secara bergiliran.

Dimulai dari kandidat pertama, dengan penuh percaya diri, disertai sorak-sorai pendukungnya membagikan kuah beulangong kepada tuan-puan yang hadir. Satu persatu maju dengan membawa sepiring nasi yang telah dipersiapkan. Disaat yang sama datang tuan-puan pendukung kandidat kedua, kandidat pertama memberikannya setengah aweuk, begitu sampai pada pendukung dan saudaranya, dia memberikan satu aweuk penuh.

Tetua negeri menghentikan, meminta kandidat kedua untuk membagikan kuah beulangong. Sama saja, disaat tiba pendukung dan sanak-saudaranya, sang kandidat memberikan satu aweuk penuh. Begitu pun dengan kandidat-kandidat berikutnya. Tetua negeri menggeleng kepala, rakyat sudah tenggelam dalam kenikmatan kuah beulangong.

Rakyat selesai makan, petanda kenduri akan berakhir. Tetua negeri naik mimbar. Sekejap suasana jadi senyap. “rakyat ku, hari ini kita telah menyaksikan bagaimana para kandidat ini telah membagikan kuah beulangong pada kalian,” ucap sang tetua negeri. “kalian bisa melihat, bagaimana mereka membagikan kuah beulangong itu tidak secara adil, jika dihadapannya adalah sanak saudara dan pendukung, dia melebihkan, ini tandanya mereka tidak adil, hanya merebut kekuasaan, negeri ini akan hancur jika dipimpin oleh orang seperti ini,” tetua negeri terus berceramah, mengalir bagai air bah. Tuan-puan tercengang, para kandidat tertunduk lesu. Sejak itu, para kandidat mengundurkan diri, untuk sementara negeri tetap dipimpin tetua dahulu, hingga rakyat negeri itu betul-betul siap berdemokrasi.   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar