Sabtu, 11 April 2020

Corona dan Rekayasa Sosial


Ilustrasi (Int)

Oleh : Alja Yusnadi

Selama ini, arus modernisasi global telah merubah cara pandang manusia terhadap suatu kejadian atau perkara kehidupan. Perbedaan kontras antara Desa dengan Kota dapat jadi patokan.


Desa, dengan komposisi masyarakatnya yang cenderung homogen memiliki tingkat interaksi sosial yang lebih tinggi. Masyarakat kota yang lebih duluan terpapar tidak begitu acuh dengan kondisi sekitar.

Bukan hanya modernisasi, belakangan, Corona juga ikut mempengaruhi nilai sosial ditengah masyarakat, bisa jadi pergeseran itu kearah konstruktif ataupun destruktif.

Pergeseran nilai oleh pandemi tersebut sangat cepat lajunya, mengalahkan kecepatan perubahan yang disebabkan modernisasi, yang mengikis secara perlahan terhadap satu generasi.

Bahkan pergeseran tersebut menusuk hingga ke ritual keagamaan, pendidikan, teknologi, ekonomi, hampir menyentuh semua lini. Bagaikan tangki air yang bocor, kalau tidak segera dipotong, akan menjalar ke segela penjuru.

Bagi generasi yang lahir diatas tahun 70-an, tidak pernah merasakan sekolah diliburkan dalam batas waktu ber bulan-bulan, bahkan saat Aceh sedang perang, sekolah dibakar, tidak ada kebijakan khusus yang meliburkan sekolah.

Sebagai orang timur, kebiasaan disaat bertemu adalah bersalaman, saling sapa. Sekarang, anjuran pertama adalah mengurangi interaksi, hindari kontak fisik, termasuk salaman.

Jika bertemu, saling lempar senyuman itupun dalam balutan masker, dengan jarak lebih dari satu meter, paling tidak itulah protokol kesehatan yang dianjurkan untuk keselamatan.

Disaat ada hajatan, tuan rumah mengadakan pesta, syukuran, baik itu nikahan, sunatan, dan bermacam rupa kegiatan yang melibatkan handai taulan. Sekarang, jika ada keramaian polisi langsung membubarkan.

Kecuali kecolongan, seperti pesta perkawinan mantan Kapolsek Kembangan, Jakarta baru-baru ini. Untuk urusan pesta, Desa memiliki kearifan. Perangkatnya menyepakati tidak boleh ada hajatan sampai Corona mereda.

Berikutnya kesadaran masyarakat untuk berobat ke Rumah Sakit juga berbeda. Jumlah pengunjung menurun drastis. Mulai dari pasien sampai pembezuk. Dulu, antusias masyarakat untuk berobat tinggi, sekarang, kalau tidak terlalu parah masyarakat memilih berobat mandiri di rumah, takut tertular atau disangka Corona.

Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) yang merupakan Rumah Sakit Tipe A dan Rumah Sakit rujukan dari seluruh Aceh juga terlihat sepi. Malam hari, lorong-lorong terlihat sepi, sunyi. Kamar rawat inap juga hanya beberapa ranjang yang terisi.

Secara ekonomi juga demikian. Beberapa pengusaha jatuh bangun, sementara pemilik ZOOM, aplikasi konferensi video, kekayaan nya justru bertambah, karena pengguna aplikasi yang dia buat meningkat tajam.

Begitu juga dengan pengusaha Health Care, disaat pandemi ini melanda seluruh negeri, kebutuhan terhadap alat kesehatan seperti Alat Pelindung Diri juga semakin meningkat.

Pegawai pemerintah bekerja dari rumah, pegawai swasta dirumahkan. Perusahaan tidak sanggup menutupi pengeluaran tanpa pemasukan. Dunia ini serasa anti maentsrem. Dulu, pemuda desa memilih jadi perantau. Ramai-ramai meninggalkan desa menuju kota. Sekarang kaum urban itu kembali ke desa.

Corona virus desaises-19 (Covid-19) ini juga membalikkan ritual keagamaan. Pelaksanaan umrah ditangguhkan, ibadah Haji menunggu kepastian. Ritual misa bagi umat kristiani di tiadakan.

Shalat berjamaah dianjurkan di rumah, kalaupun masih ada Mesjid yang melaksanakan, shafnya tidak rapat. Bahkan, menteri agama baru-baru ini mengeluarkan Surat Edaran. Meminta lembaga dibawah naungan kemenag untuk menghimbau umat islam untuk melaksanakan shalat tarawih di rumah.

Corona merekayasa sosial. Pun demikian, masih tersisa harapan, seperti kata pepatah, selalu ada secercah cahaya diujung lorong kegelapan. Ditengah kegelapan di pelataran ketakutan dan keterbatasan akibat Covid-19, ada harapan.

Misalnya, walau karena terpaksa, proses pembelajaran dari rumah dengan menggunakan teknologi tentu menjadi terobosan. Barangkali, jika bukan dalam kondisi seperti ini, system dan teknologi belajar jarak jauh ini akan diperkenalkan belasan tahun kedepan.

Ancaman pandemi ini, membuat kita lebih nyaman bertransaksi non-tunai, karena uang yang digunakan sebagai alat tukar dianggap berpeluang untuk menjadi media penyebaran.

Ketika stay at home diterapkan, penggunaan jasa aplikasi online meningkat tajam. Orang-orang akan merasa lebih aman disaat berbelanja menggunakan jasa kurir online. Secara distribusi normal, barangkali penggunaan aplikasi ini secara massif akan terjadi beberapa tahun kedepan.

Begitulah, bagaimana Corona membuat hal tabu menjadi biasa. Bahkan menggeser pepatah, “bersatu kita runtuh, bercerai kita utuh”. Pembatasan Sosial Berskala Besar(PSBB) mewajibkan kita untuk tidak berkumpul dalam satu tempat dalam jumlah yang besar.

Kita di dorong untuk individualistis. Pembatasan sosial yang berakibat kepada pembatasan fisik membuat kita enggan untuk mengunjungi kerabat, baik dalam kondisi sehat maupun sakit.

Covid-19 belum reda, penyebarannya terus ditekan, penawarnyapun terus dicari. Ditengah pengharapan yang tiada henti itu, mudah-mudahan kita dan para pemimpin negeri ini dapat menangkap cahaya diujung lorong kegelapan dan menerjemahkannya menjadi hal yang konstruktif.

Jangan sampai, manusia sebagai makhluk sosial atau Zoon Politikon, berubah menjadi manusia yang individualistik atau Homo Robotik.[]

Tulisan ini pernah dimuat di:





































Tidak ada komentar:

Posting Komentar