Ilustrasi (Int) |
Oleh : Alja Yusnadi
Selama
ini, arus modernisasi global telah merubah cara pandang manusia terhadap suatu
kejadian atau perkara kehidupan. Perbedaan kontras antara Desa dengan Kota
dapat jadi patokan.
Desa,
dengan komposisi masyarakatnya yang cenderung homogen memiliki tingkat
interaksi sosial yang lebih tinggi. Masyarakat kota yang lebih duluan terpapar
tidak begitu acuh dengan kondisi sekitar.
Bukan
hanya modernisasi, belakangan, Corona juga ikut mempengaruhi nilai sosial
ditengah masyarakat, bisa jadi pergeseran itu kearah konstruktif ataupun
destruktif.
Pergeseran
nilai oleh pandemi tersebut sangat cepat lajunya, mengalahkan kecepatan
perubahan yang disebabkan modernisasi, yang mengikis secara perlahan terhadap
satu generasi.
Bahkan
pergeseran tersebut menusuk hingga ke ritual keagamaan, pendidikan, teknologi,
ekonomi, hampir menyentuh semua lini. Bagaikan tangki air yang bocor, kalau
tidak segera dipotong, akan menjalar ke segela penjuru.
Bagi
generasi yang lahir diatas tahun 70-an, tidak pernah merasakan sekolah
diliburkan dalam batas waktu ber bulan-bulan, bahkan saat Aceh sedang perang,
sekolah dibakar, tidak ada kebijakan khusus yang meliburkan sekolah.
Sebagai
orang timur, kebiasaan disaat bertemu adalah bersalaman, saling sapa. Sekarang,
anjuran pertama adalah mengurangi interaksi, hindari kontak fisik, termasuk
salaman.
Jika
bertemu, saling lempar senyuman itupun dalam balutan masker, dengan jarak lebih
dari satu meter, paling tidak itulah protokol kesehatan yang dianjurkan untuk
keselamatan.
Disaat
ada hajatan, tuan rumah mengadakan pesta, syukuran, baik itu nikahan, sunatan,
dan bermacam rupa kegiatan yang melibatkan handai taulan. Sekarang, jika ada
keramaian polisi langsung membubarkan.
Kecuali
kecolongan, seperti pesta perkawinan mantan Kapolsek Kembangan, Jakarta
baru-baru ini. Untuk urusan pesta, Desa memiliki kearifan. Perangkatnya
menyepakati tidak boleh ada hajatan sampai Corona mereda.
Berikutnya
kesadaran masyarakat untuk berobat ke Rumah Sakit juga berbeda. Jumlah
pengunjung menurun drastis. Mulai dari pasien sampai pembezuk. Dulu, antusias
masyarakat untuk berobat tinggi, sekarang, kalau tidak terlalu parah masyarakat
memilih berobat mandiri di rumah, takut tertular atau disangka Corona.
Rumah
Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) yang merupakan Rumah Sakit Tipe A dan
Rumah Sakit rujukan dari seluruh Aceh juga terlihat sepi. Malam hari,
lorong-lorong terlihat sepi, sunyi. Kamar rawat inap juga hanya beberapa
ranjang yang terisi.
Secara
ekonomi juga demikian. Beberapa pengusaha jatuh bangun, sementara pemilik ZOOM,
aplikasi konferensi video, kekayaan nya justru bertambah, karena pengguna
aplikasi yang dia buat meningkat tajam.
Begitu
juga dengan pengusaha Health Care,
disaat pandemi ini melanda seluruh negeri, kebutuhan terhadap alat kesehatan
seperti Alat Pelindung Diri juga semakin meningkat.
Pegawai
pemerintah bekerja dari rumah, pegawai swasta dirumahkan. Perusahaan tidak
sanggup menutupi pengeluaran tanpa pemasukan. Dunia ini serasa anti maentsrem. Dulu, pemuda desa memilih
jadi perantau. Ramai-ramai meninggalkan desa menuju kota. Sekarang kaum urban
itu kembali ke desa.
Corona
virus desaises-19 (Covid-19) ini juga membalikkan ritual keagamaan. Pelaksanaan
umrah ditangguhkan, ibadah Haji menunggu kepastian. Ritual misa bagi umat kristiani
di tiadakan.
Shalat
berjamaah dianjurkan di rumah, kalaupun masih ada Mesjid yang melaksanakan,
shafnya tidak rapat. Bahkan, menteri agama baru-baru ini mengeluarkan Surat
Edaran. Meminta lembaga dibawah naungan kemenag untuk menghimbau umat islam
untuk melaksanakan shalat tarawih di rumah.
Corona
merekayasa sosial. Pun demikian, masih tersisa harapan, seperti kata pepatah,
selalu ada secercah cahaya diujung lorong kegelapan. Ditengah kegelapan di
pelataran ketakutan dan keterbatasan akibat Covid-19, ada harapan.
Misalnya,
walau karena terpaksa, proses pembelajaran dari rumah dengan menggunakan
teknologi tentu menjadi terobosan. Barangkali, jika bukan dalam kondisi seperti
ini, system dan teknologi belajar jarak jauh ini akan diperkenalkan belasan
tahun kedepan.
Ancaman
pandemi ini, membuat kita lebih nyaman bertransaksi non-tunai, karena uang yang
digunakan sebagai alat tukar dianggap berpeluang untuk menjadi media penyebaran.
Ketika
stay at home diterapkan, penggunaan
jasa aplikasi online meningkat tajam. Orang-orang akan merasa lebih aman disaat
berbelanja menggunakan jasa kurir online. Secara distribusi normal, barangkali
penggunaan aplikasi ini secara massif akan terjadi beberapa tahun kedepan.
Begitulah,
bagaimana Corona membuat hal tabu menjadi biasa. Bahkan menggeser pepatah,
“bersatu kita runtuh, bercerai kita utuh”. Pembatasan Sosial Berskala Besar(PSBB)
mewajibkan kita untuk tidak berkumpul dalam satu tempat dalam jumlah yang
besar.
Kita
di dorong untuk individualistis. Pembatasan sosial yang berakibat kepada
pembatasan fisik membuat kita enggan untuk mengunjungi kerabat, baik dalam
kondisi sehat maupun sakit.
Covid-19
belum reda, penyebarannya terus ditekan, penawarnyapun terus dicari. Ditengah
pengharapan yang tiada henti itu, mudah-mudahan kita dan para pemimpin negeri
ini dapat menangkap cahaya diujung lorong kegelapan dan menerjemahkannya
menjadi hal yang konstruktif.
Jangan
sampai, manusia sebagai makhluk sosial atau Zoon
Politikon, berubah menjadi manusia yang individualistik atau Homo Robotik.[]
Tulisan ini pernah dimuat di:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar