Ilustrasi (Int) |
Oleh : Alja Yusnadi
Virus
Corona bukan hanya menyasar kesehatan. Lebih buruk dari itu, efek samping
Corona telah memporak-porandakan hubungan sosial, kegiatan ekonomi, ritual
keagamaan, mungkin dalam skala makro mempengaruhi kebijakan fiskal dan Moneter
sebuah negara.
Kali
ini, saya tidak bicara soal berapa besar korban yang sudah berjatuhan, baik
ODP, PDP, susfect, yang positif, yang telah sembuh atau korban meninggal. Namun
melihat salah satu efek samping tadi.
Sejak
kasus pertama ditemukan di Aceh pada akhir Maret lalu, pasar rakyat langsung
merespon cepat. Ibu rumah tangga membeli kebutuhan pokok lebih banyak dari
biasanya, bisa jadi untuk mawasdiri jika suatu saat terjadi kelangkaan bahan
pokok.
Beberapa
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) berangsur lesu. Mulai dari pedagang
pakaian, pengusaha konveksi, percetakan, hingga penjual nasi goreng mengeluhkan
omset mereka turun drastis.
Kondisi
ini diperburuk oleh pemberlakuan jam malam sejak tanggal 29 Maret. Aktivitas
ekonomi benar-benar mencapai titik nadir. Penjual nasi goreng yang biasanya berjualan
malam, menutup usahanya, dan memilih kembali ke kampong halaman. UMKM sebagian
besar tutup.
Dalam
kondisi seperti ini, yang agak lebih baik nasib adalah pegawai pemerintahan,
yang gajinya sudah dijamin negara setiap bulan yang bisa menuruti himbauan agar
bekerja dari rumah. Kalau pelaku usaha, pedagang kebutuhan pokok masih tetap
bisa bertahan, sejauh suplai pasok lancar.
Sementara
pengusaha dan pekerja diluar sektor itu harus berjibaku, selain memikirkan
kebutuhan rumah tangga, para pengusaha dan pekerja itu juga harus memutar otak
bagaimana cara menutupi utang di Bank, sewa peralatan dan perlengkapan yang
akan jatuh tempo.
Jika
kita cermati, ada dua kelompok yang babak belur karena Corona dan pemberlakuan
jam malam, pertama adalah pelaku UMKM, kedua pelaku usaha sektor Informal.
Secara
tidak terformat, saya berkesempatan berdialog dengan beberapa pelaku UMKM dan pekerja
sektor Informal yang bergerak dibidang konveksi, pedagang pakaian, warung kopi
dan percetakan.
Para
pelaku UMKM tersebut seragam menyatakan, kondisi saat ini berdampak besar terhadap
usaha mereka. Rerata, usaha tutup untuk sementara. Bagaimana dengan ekses
terhadap penutupan usaha tersebut? Yang sudah pasti, karyawan dirumahkan.
Untuk
kebutuhan dasar, jika usaha ditutup dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama,
masih bisa disiasati, namun bagaimana jika penutupan dalam waktu lama?. Apalagi,
sebagian pelaku UMKM menjalin kerjasama dengan perbankan untuk akses
permodalan. Jika usaha tutup, bagaimana menutup kewajiban pembayaran?
Kelompok
berikutnya yang juga harus gulung tikar adalah pekerja di sektor informal. Kita
bisa mendiskusikan lebih lanjut klasifikasi sektor informal ini, namun menurut
Hidayat seperti dikutip Mulyadi S dalam bukunya Ekonomi Sumberdaya Manusia
Dalam Perspektif Pembangunan, beberapa ciri pokok sektof Informal: Kegiatan
usaha tidak terorganisir dengan baik, umumnya tidak mempunyai izin usaha,
kegiatan usaha tidak teratur, modal dan perputaran usaha relatif kecil
Disisi
lain, sektor informal merupakan unit-unit usaha yang tidak atau sedikit sekali
menerima proteksi ekonomi secara resmi dari pemerintah, baik akses permodalan
maupun perlindungan tenaga kerja.
Padahal,
sektor informal merupakan sebagai katup pengaman dalam mengatasi masalah
ketenagakerjaan. Disaat sektor formal tidak mampu menampung tenaga kerja dimana
jumlahnya kian meningkat, sektor informal menjadi alternatif.
Barangkali,
pedagang nasi goreng, penjual minuman pinggir jalan, pedagang roti bakar,
penjual kacang rebus, pisang goreng, bandrek merupakan salah sau contoh dari
sektor informal ini dan jumlah mereka sangat banyak diseluruh Aceh. Dan, karena
kebijakan jam malam, mereka menjadi salah satu kelompok yang babak belur.
Dengan
tidak menafikan pekerjaan disektor lain, seperti karyawan swasta misalnya, pengusaha
UMKM dan pekerja disektor informal menjadi pihak yang sangat rentan. Jika pun
nanti kebijakan jam malam ditarik dari peredaran, kita mengharapkan ada
proteksi minimal kemudahan untuk kedua sektor ini.
Presiden
Jokowidodo dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menghimbau agar perbankan dan
lembaga keuangan lainnya memberikan keringanan kepada debitur, pelaku usaha dibolehkan
menunda pembayaran selama satu tahun.
Artinya,
selama satu tahun kedepan beban pembayaran kredit ditangguhkan. Yang merasakan
hal ini bukan hanya yang terjangkit langsung Corona, namun hampir semua pelaku
usaha.
Kita
mengharapkan perbankan dan lembaga keuangan lain dapat menindaklanjutinya.
Disisi lain, kita juga menunggu kebijakan dari pemerintah daerah untuk memastikan
pelaku UMKM dan pekerja sektor informal dapat bertahan ditengah goncangan
global ini.
Salah
satunya adalah mengevaluasi jam malam, dan memberikan stimulus terhadap pelaku
UMKM dan pekerja informal yang sudah babak belur. Selama ini, kedua sektor ini
sangat membantu pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja dan menjadi
penyangga ekonomi!
Tulisan ini sudah pernah dimuat di:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar