Ilustrasi (Int) |
Oleh : Alja Yusnadi
Dalam
kondisi normal, di negara berkembang, masyarakatnya berlomba-lomba mengejar
kemapanan, beramai-ramai meninggalkan desa menuju kota. Banyak kisah kita baca,
seorang desa, setelah menempuh pendidikan memilih kota sebagai tempat
pertarungan hidup berikutnya, atau bahkan termasuk saya, anda?
Yang
bertahan di desa rerata petani, nelayan dan pegawai rendahan. Hal itu selaras
dengan teori yang disampaikan Dr. Ardon Nasrullah dalam bukunya Sosiologi
Perdesaan.
Menurut
Ardon, mata pencaharian masyarakat desa lebih dominan pada sektor pertanian,
perkebunan, peternakan, dan sejenisnya. Karateristik masyarakatnya masih
berkaitan dengan etika dan budaya setempat, seperti berperilaku sederhana,
mudah curiga, menjunjung tinggi kekeluargaan, lugas, menghargai orang lain,
suka gotong royong, dan demokratis.
Di
Kota semacam menyimpan harapan. Saat arus balik, perantau tidak jarang membawa
serta sanak-saudaranya yang ingin mempertaruhkan kehidupan di kota.
Kota-kota
besar, semacam Jakarta jadi sumpek, dipenuhi para perantau yang ingin menggapai
mimpi. Memang, dikota kerja apa saja menghasilkan uang dan mau apa saja juga
pakai uang. Perputaran uang begitu kencang.
Kota
besar ibarat rimba raya, siapa yang bisa menaklukkan akan menjadi raja dan
dengan gampang dapat menguasai akses kota. Sebaliknya, yang kalah akan menjadi
mangsa.
Situasi
ini agak berbalik. Ditengah kepungan pandemi Corona, perantau beramai-ramai
pulang ke kampung halaman. Setidaknya itu yang kita lihat dalam beberapa hari
ini yang terjadi di beberapa kabupaten/kota di Aceh.
Kaum
urban itu, ada yang dari Malaysia, Jakarta, Bali, berbondong-bondong kembali ke
desa. Motifnya berbeda, ada yang pulang karena dalam situasi krisis seperti
sekarang ini lebih nyaman berada ditengah keluarga, ada yang bekerja disektor
informal, usaha tutup gegara pembatasan sosial dalam skala besar, dan berbagai
alasan lainnya.
Yang
jelas, baru kali ini, selain menjelang lebaran, perantau berbondong-bondong
pulang. Kondisi ini membuat orang desa cemas dan bimbang. Satu sisi,
mengharapkan sanak-saudara, handai taulan dapat bersama-sama, disisi lain,
himbauan dari pejabat berwenang, agar perantau yang baru pulang, terutama dari
wilayah zona merah berstatus Orang Dalam Pengawaan.
Seorang
Camat di kabupaten Aceh Selatan sampai membuat maklumat dalam bentuk video, mengharapkan jika perantau yang
sudah pulang, untuk menahan diri sejenak dirumah, karantina mandiri, tidak usah
salam-salaman.
Jika
itu tidak bisa ditahan, dan tetap bepergian, lebih baik jangan pulang, kasihan
masyarakat. Begitu amaran pak camat yang diposting di media sosial. Apa yang terjadi
disalah satu kecamatan itu adalah sampel, dan ini juga terjadi di kecamatan
atau gampong-gampong lain dalam populasi yang besar ini.
Awalnya
situasi di desa lebih terkendali dibanding di kota. Masyarakatnya tidak begitu
acuh, perkembangan informasi tidak secepat di kota, banyak desa biasa saja
menanggapi penyebaran Cofid-19 ini.
Situai
menjadi kacau, disaat satu, dua orang perantau mudik. Mulailah penduduk desa
kasak-kusuk. Menariknya, disaat pemerintah masih mewacanakan pemberlakuan
“karantina wilayah”, beberapa desa sudah lebih dulu memblokade akses
keluar-masuk, menutup setiap jalur hanya menyisakan satu-dua jalan yang
dipasang portal.
Sejalan
dengan kebijakan pemerintah Aceh yang menetapkan jam malam, hampir setiap desa
melakukan jaga malam untuk mengawasi pergerakan pendatang yang tidak ada
laporan.
Barangkali
strategi ini tidak secara langsung dapat menahan laju penularan virus. Namun,
masyarakat desa dengan mudah bisa megetahui orang-yang keluar masuk, jika ada
pendatang atau perantau yang baru pulang untuk segera melapor dan menjalankan
intruksi pihak berwenang.
Pernah
kejadian, disatu desa, seorang pemuda yang baru pulang dari Jakarta, diam-diam
tidak diberitahu oleh keluarga kepada aparatur desa, kemudian masyarakat
mengetahuinya, segera di giring ke kantor desa. Inilah alasan lain dari
penutupan akses, dan disertai pemeriksaan di pintu masuk.
Seharusnya,
hal ini juga yang dilakukan secara massif oleh pemerintah dan pemerintah
daerah. Kita tidak cukup menghimbau perantau untuk tidak pulang, namun upaya
apa yang sudah kita siapkan terhadap kepulangan mereka?.
Salah
satu kebijakan yang dapat dilakukan adalah melakukan pemeriksaan disetiap pintu
masuk, baik udara, darat dan laut. Pemerintah juga memberikan tempat untuk
mereka mengurung diri selama dua minggu, seperti yang dilakukan oleh pemerintah
kota Subulussalam.
Atau,
jika ada pendatang atau perantau pulang, selain memeriksa suhu tubuh juga
segera memberikan tanda yang terkoneksikan kepada dinas kesehatan, pihak
kecamatan dan pihak desa. Agar yang bersangkutan dapat melakukan “karantina”
mandiri.
Semua
masyarakat berhak tahu siapa saja yang baru pulang dari perantauan atau
pendatang, agar dapat menjaga jarak. Sebaliknya, perantau dan pendatang untuk
segera mengurung diri selama dua minggu, baik didalam rumah maupun di tempat yang khusus
yang disediakan.
Kesigapan
desa bukan hanya dalam menjaga perbatasan, beberapa desa sudah ada yang
membagikan kebutuhan pokok kepada masyarakat.
Desa
menjadi benteng terakhir pertahanan dalam mencegah penyebaran virus corona.
Dengan karakteristik alamiahnya seperti disebut Adon Nasrullah tadi, desa masih
memiliki rasa saling hormat, kekeluargaan, gotong royong, menjadi modal utama.
Pemerintah
harus memperkuat desa. Selain peningkatan jumlah penerima Program Keluarga
Harapan, desa juga harus diberikan kewenangan untuk memperkuat benteng.
Desa
memiliki kekuatan untuk mendeteksi dan memproteksi siapa yang paling berhak
mendapat bantuan kebutuhan pokok dan siapa yang harus diisolasi. Pemda memiliki
fasilitas dan tenaga medis, pemerintah memiliki kebijakan fiskal.
Pemerintah
melalui kementrian desa seharusnya memberikan kewenangan kepada desa, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa tahun 2020 diperbolehkan untuk membantu kaum
rentan, termasuk memberikan kebutuhan pokok kepada masyarakat desa.
Dalam
melawan penyebaran virus Corona ini, desa menjadi benteng terakhir, jika benteng
aman dan terkendali, kemungkinan besar kita dapat melewati tantangan global
ini, tentu, dengan Qudrah-Iradah-Nya!
Tulisan ini pernah dimuat di:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar