Ilustrai Tambal Sulam (Int) |
Oleh : Alja Yusnadi
Sejak
kasus pertama terungkap pada pertengahan Februari lalu, hingga kasus yang ke
1.414 per senin (30/3), dimana 122 orang meninggal dan 75 orang sembuh,
pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) telah melakukan berbagai
kebijakan untuk memutus rantai penyebaran virus yang sudah menjadi pendemi
global tersebut.
Pemerintah
melalui kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mengumumkan
bahwa Indonesia dalam status keadaan tertentu darurat bencana wabah penyakit
akibat virus corona terhitung 91 hari sejak tanggal 29 Februari sampai 29 Mei
2020.
Untuk
mempercepat penanganannya, Presiden membentuk Gugus Tugas Percepatan Penangan
Coronavirus Disease (COVID-19), melalui Keppres nomor 7 tahun 2020 dan menunjuk
kepala BNPB menjadi koordinator.
Dalam
hal ini kepala BNPB mempunyai kewenangan melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan
bencana termasuk kemudahan akses dalam penanganan darurat bencana sampai batas
waktu tertentu.
Dengan
status demikian, maka yang berlaku dalam hal ini adalah rezim Undang-undang
nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana. Berdasarkan undang-undang
kebencanaan tersebut dan juga arahan preiden, pemda juga memiliki kewenangan
untuk menentukan status keadaan darurat, apakah siaga darurat atau tanggap
darurat.
Jika
menetapkan status siaga/tanggap darurat, pemda harus siap bekerja dua puluh
empat jam dan mengarahkan segala sumberdaya yang ada untuk menyelamatkan rakyat
di daerahnya.
Pemda
dapat menggunakan dana siap pakai dan anggaran belanja tidak terduga untuk menangani
keadaan tertentu ini. Menteri dalam negeri juga sudah menyampaikan bahwa pemda
bisa segera merevisi APBD untuk menanggulangi penyebaran Corona, hal senada
juga telah diiyakan oleh kementrian keuangan.
Menindaklanjuti
hal tersebut, pemda di seluruh Indonesia mengeluarkan kebijakan beragam. Ada
yang menghimbau, menganjurkan, meliburkan sekolah, pembatasan hubungan sosial,
bahkan ada yang menutup semua pintu masuk kedaerah tersebut, seperti Papua.
Yang
menariknya, beberapa pemerintah desa juga ikut menutup pintu keluar-masuk kea
rah desa tersebut, mereka menyebutnya Lockdown.
Entah
darimana asal mula penggunaan istilah Lockdown
ini. Namun, baik secara serius maupun becanda,
banyak orang terus menyuarakan agar pemerintah, pemda segera melakukan lockdown. Istilah ini populer tidak
hanya oleh penggiat media sosial, namun sampai kepada masyarakat bawah.
Gegara
istilah ini, bebarapa daerah salah menerjemahkan, salah satunya apa yang
terjadi di kabupaten Aceh Selatan, sekretaris daerah menyampaikan kepada media
bahwa aceh selatan akan segera menerapkan lockdown.
Tak lama berselang, istilah itu diralat, yang dilakukan hanya membatasi arus
keluar-masuk, memeriksa setiap orang yang ingi
keluar masuk, dan merazia tempat keramaian.
Kalau
mengacu kepada status Indonesia hari ini, tentu tidak dikenal istilah lock down, hanya pemda diminta bekerja
dua puluh empat jam. Entah karena belum pernah menghadapi situasi “krisis”
seperti ini, pemda kebanyakan, termasuk di Aceh gagap, kelimpungan.
Yang
banyak dikeluarkan adalah himbauan, minim langkah kongkrit, walaupun tidak
boleh tergesa-gesa, sampai pada jubir pemerintah aceh salah memilih diksi, dia
menyampaikan pemerintah aceh akan menyiapkan kuburan masal. Pernyataan yang
membuat imun orang yang membacanya menurun drastis.
Mungkin,
karena melihat cepatnya penularan virus, pada hari senin (30/3), Presiden
menyampaikan bahwa pemerintah sedang menyiapkan peraturan tentang pembatasan
sosial berskala besar yang didalamnya termasuk karantina wilayah. Bahkan,
Presiden juga menyinggung perlunya melaksanakan Darurat Sipil (DS) untuk
mendampingi kebijakan tersebut.
Jika
ini terjadi maka penanggulangan corona akan menggunakan rezim undang-undang
nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan dan undang-undang nomor 23
tahun 1959 tentang keadaan bahaya.
Karantina wilayah dan
pembatasan sosial berskala besar
Kedua
istilah tersebut diatur didalam undang-undang no 6 tahun 2018. Karantina
wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu
masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan atau terkontaminasi
sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi,
begitu bunyi pasal sepuluh.
Sementara,
pasal sebelas menyebutkan, pembatasan sosial berskala besar adalah pembatasan
kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan
atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran
penyakit atau kontaminasi.
Dalam
prakteknya, banyak pemda sekarang telah menerapkan pembatasan sosial dalam
skala besar. Sekolah diliburkan, beberapa tempat ibadah tanpa aktivitas,
pelarangan aktivitas pesta, pelarangan buka warung kopi, café dan tempat
keramaian lainnya.
Secara
yuridis, pembatasan sosial setidaknya mengatur 3 hal, pertama peliburan sekolah
dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan ditempat
umum atau fasilitas umum.
Jika
pemerintah menerapkan pembataan sosial skala besar, maka tidak ada kewajiban
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat disaat kebijakan tersebut dibuat.
Sementara
itu, karantina wilayah dalam operasionalnya akan melakukan pembatasan di pintu
masuk sampai penutupan. Intinya, membatasi penduduk dalam suatu wilayah
termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit
untuk mencegah penyebarannya.
Sejauh
ini, ada beberapa pemda, bahkan sampai ke desa sudah menutup pintu akses
keluar-masuk, namun belum masuk dalam kriteria undang-undang ini. Salah satunya
adalah yang menjaga perbatasan seharusnya bukan penduduk setempat.
Pemerintah
menunjuk pejabat karantina kesehatan dan pihak kepolisian yang berada diluar
wilayah karantina. Sementara, masyarakat disekitar wilayah karantina tidak
boleh keluar masuk. Atas akibat karantina tersebut, pemerintah bertanggungjawab
memenuhi kebutuhan hidup orang banyak, termasuk makanan hewan ternak selama
karantina wilayah.
Melihat sebaran
virus yang hampir menjalar ke semua provinsi, apakah memungkinkan pemerintah
menetapkan secara nasional untuk semua daerah berlaku karantina wilayah? Atau
karantina wilayah hanya untuk beberapa daerah yang sangat parah, seperti
Jakarta?
Atau pemerintah menerapkan
status pembatasan sosial dalam skala besar, yang salah satu point maksimalnya adalah
membatasi akses keluar masuk?. Kita lihat saja pemerintah akan mengambil langkah
yang mana secara kongkrit, apalagi, peraturan pemerintah sebagai pengatur lebih
lanjut dari undang-undang no 6 tahun 2018 belum keluar.
Darurat Sipil (DS)
Presiden juga menyinggung
akan pelaksanaan karantina wilayah atau pembatasan sosial berskala besar dengan
didampingi dengan status Darurat Sipil (DS). Bagaimana DS dalam operasionalnya?
DS merupakan
status darurat satu tingkat dibawah Darurat Militer (DM) dipimpin oleh kepala
daerah sebagai penguasa DS. Di provinsi, penguasa DS adalah Gubernur, di
Kabupaten/kota penguasa DS adalah Bupati/Walikota.
Dalam menjalankan
tugasnya, penguasa DS dibantu oleh sebuah badan yang beranggotakan Pangdam,
Kapolda, Kajati dilevel provinsi dan Dandim, Kapolres dan Kajari ditingkat
kabupaten/kota.
Sementara di
pusat, penguasa DS adalah Presiden sebagai panglima tertinggi angkatan perang.
Dalam penugasan DS, Presiden dibantu badan yang anggotanya terdiri dari menteri
pertama, menteri pertahanan, menteri dalam negeri, menteri luar negeri, KASAD,
KASAL, KASAU, Kapolri dan jika dibutuhkan, Presiden dapat mengangkat pejabat
diluar yang disebutkan tadi.
Jika melihat
rumusan mengenai DS, Presiden terlihat jelas menginginkan implementasi
kebijakan harus efektif dan efisien. Bagaimana jika status DS diterapkan,
keterlibatan tentara dan polisi sangat kentara.
Sebagaimana kita
ketahui, baik Tentara, Polisi, maupun Kejaksaan memiliki rantai komando dari
pusat hingga kedaerah. Barangkali, ilustrasinya sebagaimana kita lihat yang
beredar di media sosial selama ini, di India polisi melakukan tindakan tegas
kepada masyarakat yang masih berkeluyuran diluar.
Apapun skema yang
dipilih oleh pemerintah nanti, kita mengharapkan dapat memutus rantai penularan
virus. Jikapun akibat kebijakan tersebut masyarakat tidak bisa bekerja, pemerintah
bersama dengan pemda wajib menyediakan kebutuhan pokok. Pekerja informal,
pelaku UMKM harus dicarikan solusi.
Akhirnya, dengan
syafaat kekasih-Nya, seraya menengadahkan tangan, memohon kepada penguasa alam
yang Maha hidup dan Maha Menyembuhkan supaya pemimpin kita diberikan petunjuk
agar tidak dicatat oleh sejarah sebagai tukang tambal sulam yang gagal!
Tulisan ini pernah dimuat di:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar