Sabtu, 11 April 2020

Warna dan Politik Identitas


Doc. Pribadi

Oleh : Alja Yusnadi

Warna, secara sederhana dapat diartikan sebagai spektrum tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna (putih). Panjang gelombang menentukan variasi yang selanjutnya akan membentuk berbagai warna ;Merah, Kuning, Biru, dan seterusnya.


Bagi sebagian awam, warna tidak begitu berarti, hanya menjadi pembeda antara satu dengan yang lain. Namun bagi pelukis, desain grafis, pemilihan dan perpaduan warna tentu sangat menentukan hasil karya mereka.

Warna dapat ditemukan dalam berbagai spektrum kehidupan, termasuk politik. Dalam politik, warna dikontruksikan menjadi salah satu identitas partai politik, misalnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) identik dengan merah, kalau di Aceh merah juga identik dengan Partai Aceh, begitu juga dengan partai-partai lain, yang barangkali secara historis dan filosofis dapat menjelaskan pemilihan masing-masing warna.

Disetiap acara partai, kita bisa menemukan segala pernak-pernik bernuansa warna partai, mulai dari rias panggung, kursi, sampai souvenir. Bahkan, pada masa orde baru, gegara warna ini, pengurus dan simpatisan baku hantam.

Ketika itu, Indonesia hanya ada 3 partai politik. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dengan warna merah, Golongan Karya (Golkar) dengan warna kuning dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan warna hijau.

Menjelang pemilu, masing-masing partai politik melakukan perang warna. Selain bendera dan kaos, warna dominan dari partai yang sedang berkuasa juga menghiasi pos jaga dan fasilitas publik lainnya.

Pengurus dan simpatisan partai berusaha untuk mengintervensi pemilih sejak dari alam bawah sadar, melalui warna. Tidak jarang karena perbedaan warna kaos oblong, simpatisan diakar rumput baku hantam.

Saya masih ingat, menjelang pemilu 1997, seorang teman diberikan hukuman oleh pihak sekolah, karena ketahuan memakai kaos hijau khas PPP. Saat itu, pemerintah dikuasai oleh warna kuning. Alasannya, anak sekolah tidak boleh berpolitik.

Pada saat Aceh didominasi oleh Partai Aceh pada pemilu 2009 dan 2014 juga demikian. Pos pemuda yang pembangunannya bersumber dari anggaran daerah di cat merah, putih, hitam, perpaduan tiga warna itu identik dengan Partai Aceh.

Pun demikian ketika Irwandi Yusuf sebagai ketua PNA menjadi Gubernur, warna orange sebagai ciri khas PNA dengan mudah kita temukan disetiap sudut kota.

Sekarang, Aceh dipimpin oleh Plt Gubernur yang juga merupakan ketua Partai Demokrat Aceh, maka dominasi warna biru sebagai identitas Partai  Demokrat dengan mudah pula kita temukan di media publikasi Pemerintah Aceh.




Agaknya, dalam percaturan politik liberal seperti sekarang ini, perang warna merupakan tradisi yang secara turun-temurun dilakukan, disemua tingkatan. Bahkan di Aceh Selatan, warna patung naga diubah menjadi orange.

Beberapa hari terakhir, jagat perpolitikan Aceh diwarnai dengan kritikan, pancacita yang merupakan lambang pemerintah Aceh telah berubah warna, menjadi biru. Hal itu ditemukan di karung tempat bantuan sosial kepada masyarakat rentan.

Bantuan yang disalurkan oleh Dinas Sosial provinsi Aceh itu didominasi warna biru. Warna itu dianggap sebagai refresentasi identitas politik Plt. Gubernur yang merupakan ketua Partai Demokrat.

Terkait polemik ini, kepala Dinas Sosial menjelaskan, jika warna biru merupakan warna khas kementrian sosial. Jawaban ini tentu membingungkan. Pun demikian, Ada beberapa sebab permainan warna ini terjadi, yang pertama, atas arahan Plt. Gubernur, kedua infrovisasi kepala SKPA atau jajaran, yang ketiga kesalahan pihak percetakan.

Dengan kekuasaan yang dimiliki, Plt. Gubernur dapat dengan mudah memerintah bawahannya untuk menggunakan warna biru sebagai warna dominan dalam setiap publikasi pemerintah Aceh, baik di papan reklame, spanduk, brosur, termasuk umpang bantuan sosial.

Kemungkinan selanjutnya adalah kepala SKPA. Sebagaimana kita ketahui, para kepala SKPA mendapatkan jabatan itu melalui serangkaian proses, mulai proses teknis hingga proses politis. Setelah mengikuti seleksi, kepala daerah memilih satu diantara tiga yang dirokemdasikan oleh tim penyeleksi.

Bisa jadi, kepala SKPA sebagai bawahan Plt Gubernur berusaha untuk memberikan “pelayanan” terbaik. Melakukan infrovisasi, agar atasan senang dan sebagai wujud terimakasih dan mengikuti tren yang sudah ada.

Atau bisa saja, kesalahan teknis terjadi, tempat percetakan salah menerjemahkan pesanan.

Apapun alasannya, yang jelas warna telah menjadi pembeda. Sehingga membentuk identitas. Harusnya identitas dalam ranah politik dapat dikontruksikan dalam bentuk yang lebih esensial.

Selain SARA, perdebatan soal warna ini telah usang dan tidak menguntungkan rakyat sebagai alasan utama kenapa pemerintah harus ada. Seharusnya yang menjadi pembeda adalah platform dan gagasan yang akan diperjuangkan.

Rakyat bisa mendebat tentang apa yang akan mereka buat. Warna biarlah menjadi pelengkap, seperti anak-anak yang menyanyikan lagu balon ku ada lima. Dengan riang gembira menyebutkan macam-macam warna.

Ditengah ancaman pandemi Covid-19 ini, masyarakat membutuhkan kebijakan nyata. Pembagian bahan pokok salah satunya. Pemerintah Aceh harus melakukan konsolidasi kebijakan dengan pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa.

Jangan sampai pembagian bahan pokok itu, justru menjadi masalah baru di desa. Sebut saja misalnya, jumlah masyarakat yang seharusnya berhak menerima di satu desa sebanyak 50 kepala keluarga, namun pemerintah aceh hanya memberikan kepada 15 kelapa keluarga.

Saya membayangkan, jika para pemimpin yang sekarang sedang berkuasa, mengeluarkan kebijakan yang dapat menekan penyebaran Corona dan mampu mengamankan kebutuhan dasar rakyat, ini akan menjadi modalitas yang kuat.

Disisi lain, biarkan para oposisi dan pengamat berbeda pendapat. Anggap saja kehadiran mereka sebagai penyemangat dan pengingat disaat kebijakan salah tempat.

Rakyat akan mengingat. Apakah pemerintah atau oposisi yang paling tepat. Biarkan kebijakan yang menjadi identitas. Pemilih akan mengganjarnya pada pemilu yang akan datang, tidak peduli warna apa yang menjadi latar. Jika sudah demikian, barulah kita kuat![]

Tulisan ini sudah pernah tayang di:













Tidak ada komentar:

Posting Komentar