Ilustrasi (Int) |
Oleh : Alja Yusnadi
Selama
32 tahun orde baru sampai diawal reformasi, kepala daerah dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan pula menteri dalam
negeri akan melantik yang kalah atau bahkan yang tidak masuk sama sekali dalam
bursa pencalonan. Sebagaimana ditulis oleh Mahbub Djunaidi di harian Kompas
edisi 10 Maret 1981,“Asal kamu tahu saja, yang namanya Menteri Dalam Negeri
memang bisa saja mengangkat orang yang kalah dalam pencalonan bahkan di luar
calon sama sekali,”
Dua
puluh lima tahun kemudian, sistem pemilihan kepala daerah berubah, sama sekali.
Jangankan menteri dalam negeri, DPRD pun dibuat tidak berdaya. Pemerintah
bersama DPR bersepakat membentuk sebuah undang-undang yang secara keseluruhan
mengatur tentang pemerintahan daerah, salah satu didalamnya adalah pemilihan
kepala daerah secara langsung.
Partai
politik hampir saja kehilangan dominasinya, disaat undang-undang membolehkan
pencalonan dari jalur perseorangan, non partai, cukup dengan melengkapi bukti
dukungan dari masyarakat dalam jumlah yang telah ditetapkan.
Ngeri
sekali bukan?, dalam imajinasi orang seperti Mahbub, awalnya, akan banyak
sekali perubahan. Untuk mengakomodir suara rakyat secara langsung, benar demikian,
tidak diwakilkan. Tapi apakah iklimnya akan jadi lebih baik?. Untuk
menjawabnya, lihat saja kepala daerah disekitar anda, tidak usah jauh-jauh
harus ke Jawa atau pusat kota.
Perbandingan
satu daerah dengan daerah lain, yang membuat beda hanya besar-kecil ongkosnya.
Pemilihan langsung ini memerlukan ongkos besar, bukan hanya oleh negara yang
membiayai penyelenggara tapi juga juga bagi konstestan.
Soal
kebutuhan anggaran, kita ambil saja contoh pelaksanaan Pilkada 2018 yang
membutuhkan anggaran sekitar 20 Triliun Rupiah. Anggaran yang melebihi besaran
setahun APBA itu digunakan untuk memilih 171 kepala daerah. Itu uang negara
yang salah satu sumbernya adalah pajak rakyat.
Sebenarnya,
anggaran lain yang jauh lebih besar adalah yang harus dikeluarkan oleh
kandidat. Walaupun penyelenggara sudah mengatur besaran sumbangan dan
transparansi dana kampanye, namum masih saja bisa di akali, sehingga anggaran
yang tidak tercatat bisa lebih besar jumlahnya.
Hal
ini membuat kontestan harus berurusan dengan cukong, meminta atau menerima
tawaran bantuan para makelar politik. Fenomena ini menurut saya menjadi bagian
dari paradoks demokrasi. Satu sisi rakyat telah berdaulat, memilih pemimpinnya
secara langsung, disisi lain oligarki hanya bergerser dari pemerintah yang
terpusat kepada para pemilik modal.
Suharso
(2002), telah menulis ada beberapa paradoks demokrasi yang harus dikritisi,
diantaranya adalah berkembangnya kekerasan politik, radikalisme, berkembangnya
konspirasi politik yang sangat pragmatis; hanya sekedar meraih kemenangan
pemilu tanpa menunjukkan komitmen serius dalam mengagendakan demokrasi.
Apa
yang dikatakan Suharso itu masih bisa kita lihat dengan kasat mata, hampir di setiap
pilkada. Salah satu yang menjadi perhatian serius adalah keterlibatan
segelintir cukong, hanya bermodalkan uang, dapat berperan besar dalam
mengendalikan pemerintahan setelah berjalan.
Situasi
seperti ini dibeberapa negara justru mengembalikan kepemimpinan yang
otoritarian dan membuat jurang yang menganga, menguatkan segelintir elit untuk
menguasai sumder daya ekonomi lokal. Di india misalnya, sistem demokrasi lokal
telah menguatkan keberadaan kasta dan kelas.
Hal
serupa juga terjadi di Camacari, Brazil. Pilkada ikut mendorong munculnya
klientisme antara elit ekonomi dan politik sehingga menyebabkan tidak
berfungsinya tata kola pemerintahan secara efektif dan efisien.
Sconleitner,
G (2004) menyebutnya ungover-nability,
yang menyulut terjadinya “perampasan” keuangan daerah oleh para elit ekonomi
dan politik. Gejala hadirnya elit politik informal dalam politik lokal memang
tengah mewabah di negara demokrasi manapun, termasuk Indonesia dan Aceh.
Harapan
terakhir yang tersisa dari gagasan politik baru yang merupakan antitesa dari
politik lama yang otoritaian dan sentralistik adalah kehadiran oganisasi masyarakat
sipil (OMS) sebagai aktor. Ditengah gagasan demokrasi seperti sekarang ini,
yang desentralisasi, terbuka, kontrol dari luar pemerintahan sangat menentukan.
Minimal,
ada dua sudut pandang dalam memberi makna OMS, yang pertama adalah organisasi
yang secara politis bertindak melindungi dan memperjuangan tegaknya nilai-nilai
demokrasi. Dalam batasan ini organisasi ekonomi tidak termasuk didalamnya.
Sudut pandang berikutnya adalah yang menempatkan semua organisasi yang diluar
struktur pemerintah.
Saya
tidak sedang mempertentangkan keduanya. Dari kedua defenisi OMS yang dikemukakan
Hyden (1997) itu, saya mengambil batasan, setiap organisasi diluar struktur
pemerintahan dapat pula kita sebut OMS, yang pada merekalah harapan terakhir
terhadap imaji yang dibayangkan oleh Mahbub tadi dapat kita sandarkan.
Jika
OMS pun sudah berselingkuh dengan kekuasaan, maka yang terjadi adalah kita kembali
ke sistem politik lama dengan wajah dan lingakaran baru. Semoga saja tidak
demikian!...[]
Disclaimer:
Alja Yusnadi adalah pengisi rubrik Kolom Alja Yusnadi (KAY) di media anteroaceh.com. Tulisan ini juga dapat dibaca di:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar