Kamis, 02 April 2020

Gajah Putih, pertautan Aceh dan Linge


Ilustrasi Gajah Putih (Int)

Oleh: Alja Yusnadi

Dalam sebuah perjalanan bersama keluarga, dari radio, saya mendengar sayup ,“Gajah Putih merupakan jelmaan saudara dari sengeda yang bernama Bener Meriah” begitu sang penyiar mejelaskan sekilas perihal sejarah yang berasal dari dataran tinggi Gayo ini.


Sejenak saya berfikir, Gajah Putih?, bagaimana pula bisa ada Gajah berwarna putih, sesuatu yang tidak pernah saya lihat, sekarang dalam dunia nyata. Jikapun ada, itu adalah Gajah albino.

Nama Gajah Putih telah ditabalkan menjadi nama salah satu Perguruan Tinggi di Aceh Tengah-Universitas Gajah Putih (UGP) yang telah berdiri sejak tahun 1986. Kemudian, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Gajah Putih. Kedua perguruan tinggi tersebut merupakan kebanggaan masyarakat Gayo, walaupun UGP sampai hari ini masih milik yayasan, belum negeri.

Di Banda Aceh, Komando Daerah Militer (KODAM) Iskandar Muda juga menggunakan Gajah Putih sebagai logonya.

Selanjutnya ada Sengeda dan Bener Meriah. Nama yang terakhirr, sekarang dijadikan nama salah satu Kabupaten di Aceh. Jika dalam sejarah masa lampau Bener Meriah merupakan saudara tua Sengeda, maka dalam sejarah administrasi pemerintahan, Bener Meriah merupakan saudara mudanya Aceh Tengah.

Dari bebarapa nama itu, yang sering saya dengar adalah Gajah Putih dan Bener Meriah. Hal ini membuat saya penasaran dan mencoba untuk menggali tentang sejarah Gajah Putih.

Secara tutur, saya beberapa kali mendengar tentang Gayo agak lebih dalam dari Uwan Muhammad Ridwan, salah satu tokoh Gayo, pernah menjadi Kepala Dinas Pendidikan Aceh Tengah, Anggota DPRK Aceh Tengah, dan sekarang menjadi salah satu anggota DPRA dari dapil empat, Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Secara tertulis, ada beberapa tulisan yang menarasikan sejarah Gajah Putih, salah satunya adalah Hamzah dan Mustafa Ak, ketua MANGO (Majelis Adat dan Kebudayaan Gayo).

Kisah Gajah Putih ini terjadi sekitar lima ratus tahun setelah Linge berdiri. Tepatnya pada saat Reje Linge XII berkuasa. Kerajaan Linge sendiri berdiri sekitar tahun 1025 Masehi. Raja yang pertama adalah Adi Genali, seorang Raja yang berasal dari Emperium Rum, salah satu kawasan di Turki. kisah tersebut ditulis dengan baik oleh Yusra Habib Abdul Gani dalam bukunya Gayo dan Kerajaan Linge.

Dalam sebuah pertempuran melawan Portugis, Reje Linge XII langsung memimpin pasukan untuk membantu Kerajaan Johor. Reje Linge XII berhasil mengalahkan Portugis, dan sebagai ucapan terimakasih, Raja Johor menikahkan putrinya dengan Reje Linge XII.
Dari pernikahan tersebut lahir dua orang putera, pertama bernama Bener Meriah, yang kedua Sengeda. Dalam perjanalan dari Johor ke Linge, sang Raja meninggal dunia dan dikebumikan di daerah Lingga, Riau.

Putri Johor yang menjadi istri kedua Reje Linge XII bersama kedua putranya melanjutkan perjalanan dan menetap sementara di Kuta Raja, di komplek perumahan yang menampung janda Raja dan keluarga.

Pada saat itu, kerajaan Linge dipimpiin oleh Raja Linge XIII yang merupakan anak Reje Linge XII dari istri pertama. Tersiar kabar, Reje akan menghadiri sebuah acara di Kerajaan Aceh di Kuta Raja.

Putri Johor bersama kedua anaknya berencana ikut dalam rombongan Reje. Ketika mereka menghadap, Reje melihat cincin dan rencong bertuliskan Reje Linge pada Bener Meriah dan Sengeda.

Pemandangan ini membuat Raja curiga, kalau kedua orang ini sengaja meracun ayahnya. Reje memerintahkan anak buahnya untuk membunuh Bener Meriah dan Sengeda.

Pembantu Raja tadi tidak rela membunuh Sengeda, diganti dengan darah kucing, seolah-olah Sengeda telah tewas. Setelah itu, Sengeda bergegas ingin menemui ibunya, dia membuat penyamaran agar bisa ikut rombongan Reje.

Dalam perenungannya, disalah satu bilik kerajaan, Sengeda menggambar Gajah Putih, tak sengaja dilihat oleh seorang Putri Sultan kerajaan Aceh lalu meminta kepada ayahnya agar bisa menghadirkan Gajah Putih itu. Sultan segera membuat sayembara.

Disinilah awal kisah Gajah Putih, ada juga yang menarasikannya melalui mimpi. Sengeda bermimpi menaklukkan Gajah Putih yang sangat liar. Dalam versi ini, sepulangnya bersama rombongan Reje, Sengeda pergi ziarah ke kuburan abangnya, Bener Meriah, dia menceritakan perihal Gajah Putih.

Setelah itu, Sengeda menemukan Gajah Putih dan berhasil menaklukkannya. Tidak berselang lama, kabar tersebut sampai ketelinga Reje dan memerintahkan pasukannya untuk membawa Gajah Putih kehadapannya. Sesampai dihadapan Reje, Gajah Putih tidak mau tunduk, bahkan menyemprotkan air sampai Reje basah kuyup.

Reje akan mengangkut Gajah Putih ke Kuta Raja untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh. Tiba di Kuta Raja, Gajah Putih diarak, disaksikan warga kuta. Setelah itu Gajah Putih di persembahkan kehadapan Sultan. Kali ini Gajah Putih kembali menolak. Tidak ada yang mampu menjinakkannya sebelum kedatangan Sengeda.

Sultan bertanya, siapa gerangan pemuda tersebut, Reje menggeleng kepala, bangkitlah sang pembantu Reje yang urung membunuh Sengeda dulu, dan menceritakan semuanya, sehingga “pengadilan” memutuskan hukuman qishas kepada Reje, setelah perbuatannya terbongkar.

Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Sengeda mamaafkan Reje Linge XIII dan Sengeda dinobatkan menjadi Reje Linge berikutnya, Reje Linge XIV.

Dalam cerita lain, Bener Meriah disebutkan mengasingkan diri ke hutan karena difitnah hendak mengkudeta ayahnya yang sedang menjabat sebagai Reje Linge. Dalam pelariannya, Bener Meriah melakukan pertapaan dan meminta dirinya berubah menjadi Gajah Putih agar dapat kembali ketengah keluarga.

Suata malam, Sengeda bermimpi, sekor Gajah Putih mengamuk, dan juga seorang guru yang mengajarkannya bagimana menjinakkan Gajah Putih tanpa melukai, Sengeda yakin, jika Gajah Putih itu adalah abang kandungnya.

Esok hari, keributan terjadi dialun-alun Kerajaan Linge, seekor Gajah Putih mengamuk, tidak ada satu orang pawangpun sanggup menjinakkan, hingga akhirnya datang Sengeda, dialah yang mampu membuat jelmaan saudaranya itu tunduk.

Lantas Sengeda membawa Gajah Putih ke Istana Reje dan menjelaskan asal-asul. Sekejap keluarga Reje bahagia. Tak berselang lama, perihal Gajah Putih sampai ke telinga Sultan Aceh, dan meminta Reje Linge untuk membawa Gajah Putih ke Kuta Raja.

Dari kedua cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun oleh masyarakat Gayo, satu pertalian yang dapat kita tangkap, kerajaan Linge dan kerajaan Aceh memiliki pertautan yang kuat.

Pada cerita pertama, walaupun sang putri Sultan Aceh tidak sempat menjadi permaisuri Reje Linge XIV, namun berhasil “memaksa” sultan untuk mengerahkan pasukan untuk membawa Gajah Putih.

Ending nya Gajah Putih di serahkan kepada Sultan Aceh dan selanjutnya dipelihara dengan baik, dan Gajah Putih pun menjadi salah satu kavaleri kesultanan Aceh pada masa itu.

Pertalian ini, jika merujuk Yusra, Raja pertama kerajaan Aceh Darussalam merupakan salah satu keturunan dari Pendiri kerajaan Linge, Meurah Johansyah. Diluar itu, kita ikut bertanggungjawab untuk melestarikan  pertalian ini, baik yang hidup dan berkehidupan di dataran tinggi Gayo, maupun yang tinggal di Kuta Raja dan Aceh pesisir.

Harapan kita, media masa, baik radio, media cetak, televisi, media daring, menyediakan ruang khusus untuk menulis kepingan-kepingan sejarah atau cerita rakyat, agar kita dan generasi kedepan dapat menemukan dengan mudah referensi sejarah endatunya!


Tulisan ini sudah pernah tayang di:












Tidak ada komentar:

Posting Komentar