Ilustrasi Gajah Putih (Int) |
Oleh: Alja Yusnadi
Dalam sebuah perjalanan bersama
keluarga, dari radio, saya mendengar sayup ,“Gajah Putih merupakan jelmaan saudara
dari sengeda yang bernama Bener Meriah” begitu sang penyiar mejelaskan sekilas perihal
sejarah yang berasal dari dataran tinggi Gayo ini.
Sejenak saya berfikir, Gajah Putih?,
bagaimana pula bisa ada Gajah berwarna putih, sesuatu yang tidak pernah saya
lihat, sekarang dalam dunia nyata. Jikapun ada, itu adalah Gajah albino.
Nama Gajah Putih telah ditabalkan
menjadi nama salah satu Perguruan Tinggi di Aceh Tengah-Universitas Gajah Putih
(UGP) yang telah berdiri sejak tahun 1986. Kemudian, Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Gajah Putih. Kedua perguruan tinggi tersebut merupakan kebanggaan
masyarakat Gayo, walaupun UGP sampai hari ini masih milik yayasan, belum
negeri.
Di Banda Aceh, Komando Daerah
Militer (KODAM) Iskandar Muda juga menggunakan Gajah Putih sebagai logonya.
Selanjutnya ada Sengeda dan Bener
Meriah. Nama yang terakhirr, sekarang dijadikan nama salah satu Kabupaten di
Aceh. Jika dalam sejarah masa lampau Bener Meriah merupakan saudara tua
Sengeda, maka dalam sejarah administrasi pemerintahan, Bener Meriah merupakan
saudara mudanya Aceh Tengah.
Dari bebarapa nama itu, yang sering
saya dengar adalah Gajah Putih dan Bener Meriah. Hal ini membuat saya penasaran
dan mencoba untuk menggali tentang sejarah Gajah Putih.
Secara tutur, saya beberapa kali mendengar
tentang Gayo agak lebih dalam dari Uwan
Muhammad Ridwan, salah satu tokoh Gayo, pernah menjadi Kepala Dinas Pendidikan
Aceh Tengah, Anggota DPRK Aceh Tengah, dan sekarang menjadi salah satu anggota
DPRA dari dapil empat, Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Secara tertulis, ada beberapa tulisan
yang menarasikan sejarah Gajah Putih, salah satunya adalah Hamzah dan Mustafa
Ak, ketua MANGO (Majelis Adat dan Kebudayaan Gayo).
Kisah Gajah Putih ini terjadi
sekitar lima ratus tahun setelah Linge berdiri. Tepatnya pada saat Reje Linge
XII berkuasa. Kerajaan Linge sendiri berdiri sekitar tahun 1025 Masehi. Raja
yang pertama adalah Adi Genali, seorang Raja yang berasal dari Emperium Rum,
salah satu kawasan di Turki. kisah tersebut ditulis dengan baik oleh Yusra
Habib Abdul Gani dalam bukunya Gayo dan Kerajaan Linge.
Dalam sebuah pertempuran melawan
Portugis, Reje Linge XII langsung memimpin pasukan untuk membantu Kerajaan
Johor. Reje Linge XII berhasil mengalahkan Portugis, dan sebagai ucapan
terimakasih, Raja Johor menikahkan putrinya dengan Reje Linge XII.
Dari pernikahan tersebut lahir dua
orang putera, pertama bernama Bener Meriah, yang kedua Sengeda. Dalam
perjanalan dari Johor ke Linge, sang Raja meninggal dunia dan dikebumikan di
daerah Lingga, Riau.
Putri Johor yang menjadi istri kedua
Reje Linge XII bersama kedua putranya melanjutkan perjalanan dan menetap
sementara di Kuta Raja, di komplek perumahan yang menampung janda Raja dan
keluarga.
Pada saat itu, kerajaan Linge
dipimpiin oleh Raja Linge XIII yang merupakan anak Reje Linge XII dari istri
pertama. Tersiar kabar, Reje akan menghadiri sebuah acara di Kerajaan Aceh di
Kuta Raja.
Putri Johor bersama kedua anaknya berencana
ikut dalam rombongan Reje. Ketika mereka menghadap, Reje melihat cincin dan
rencong bertuliskan Reje Linge pada Bener Meriah dan Sengeda.
Pemandangan ini membuat Raja curiga,
kalau kedua orang ini sengaja meracun ayahnya. Reje memerintahkan anak buahnya
untuk membunuh Bener Meriah dan Sengeda.
Pembantu Raja tadi tidak rela
membunuh Sengeda, diganti dengan darah kucing, seolah-olah Sengeda telah tewas.
Setelah itu, Sengeda bergegas ingin menemui ibunya, dia membuat penyamaran agar
bisa ikut rombongan Reje.
Dalam perenungannya, disalah satu
bilik kerajaan, Sengeda menggambar Gajah Putih, tak sengaja dilihat oleh seorang
Putri Sultan kerajaan Aceh lalu meminta kepada ayahnya agar bisa menghadirkan Gajah
Putih itu. Sultan segera membuat sayembara.
Disinilah awal kisah Gajah Putih,
ada juga yang menarasikannya melalui mimpi. Sengeda bermimpi menaklukkan Gajah
Putih yang sangat liar. Dalam versi ini, sepulangnya bersama rombongan Reje,
Sengeda pergi ziarah ke kuburan abangnya, Bener Meriah, dia menceritakan
perihal Gajah Putih.
Setelah itu, Sengeda menemukan Gajah
Putih dan berhasil menaklukkannya. Tidak berselang lama, kabar tersebut sampai
ketelinga Reje dan memerintahkan pasukannya untuk membawa Gajah Putih
kehadapannya. Sesampai dihadapan Reje, Gajah Putih tidak mau tunduk, bahkan
menyemprotkan air sampai Reje basah kuyup.
Reje akan mengangkut Gajah Putih ke
Kuta Raja untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh. Tiba di Kuta Raja, Gajah
Putih diarak, disaksikan warga kuta. Setelah itu Gajah Putih di persembahkan
kehadapan Sultan. Kali ini Gajah Putih kembali menolak. Tidak ada yang mampu
menjinakkannya sebelum kedatangan Sengeda.
Sultan bertanya, siapa gerangan pemuda
tersebut, Reje menggeleng kepala, bangkitlah sang pembantu Reje yang urung
membunuh Sengeda dulu, dan menceritakan semuanya, sehingga “pengadilan”
memutuskan hukuman qishas kepada Reje, setelah perbuatannya terbongkar.
Dengan berbagai pertimbangan,
akhirnya Sengeda mamaafkan Reje Linge XIII dan Sengeda dinobatkan menjadi Reje
Linge berikutnya, Reje Linge XIV.
Dalam cerita lain, Bener Meriah
disebutkan mengasingkan diri ke hutan karena difitnah hendak mengkudeta ayahnya
yang sedang menjabat sebagai Reje Linge. Dalam pelariannya, Bener Meriah
melakukan pertapaan dan meminta dirinya berubah menjadi Gajah Putih agar dapat
kembali ketengah keluarga.
Suata malam, Sengeda bermimpi, sekor
Gajah Putih mengamuk, dan juga seorang guru yang mengajarkannya bagimana
menjinakkan Gajah Putih tanpa melukai, Sengeda yakin, jika Gajah Putih itu
adalah abang kandungnya.
Esok hari, keributan terjadi
dialun-alun Kerajaan Linge, seekor Gajah Putih mengamuk, tidak ada satu orang
pawangpun sanggup menjinakkan, hingga akhirnya datang Sengeda, dialah yang
mampu membuat jelmaan saudaranya itu tunduk.
Lantas Sengeda membawa Gajah Putih
ke Istana Reje dan menjelaskan asal-asul. Sekejap keluarga Reje bahagia. Tak
berselang lama, perihal Gajah Putih sampai ke telinga Sultan Aceh, dan meminta
Reje Linge untuk membawa Gajah Putih ke Kuta Raja.
Dari kedua cerita rakyat yang
dituturkan secara turun-temurun oleh masyarakat Gayo, satu pertalian yang dapat
kita tangkap, kerajaan Linge dan kerajaan Aceh memiliki pertautan yang kuat.
Pada cerita pertama, walaupun sang
putri Sultan Aceh tidak sempat menjadi permaisuri Reje Linge XIV, namun
berhasil “memaksa” sultan untuk mengerahkan pasukan untuk membawa Gajah Putih.
Ending nya Gajah
Putih di serahkan kepada Sultan Aceh dan selanjutnya dipelihara dengan baik,
dan Gajah Putih pun menjadi salah satu kavaleri kesultanan Aceh pada masa itu.
Pertalian ini, jika merujuk Yusra, Raja
pertama kerajaan Aceh Darussalam merupakan salah satu keturunan dari Pendiri
kerajaan Linge, Meurah Johansyah. Diluar itu, kita ikut bertanggungjawab untuk
melestarikan pertalian ini, baik yang
hidup dan berkehidupan di dataran tinggi Gayo, maupun yang tinggal di Kuta Raja
dan Aceh pesisir.
Harapan kita, media masa, baik
radio, media cetak, televisi, media daring, menyediakan ruang khusus untuk menulis
kepingan-kepingan sejarah atau cerita rakyat, agar kita dan generasi kedepan
dapat menemukan dengan mudah referensi sejarah endatunya!
Tulisan ini sudah pernah tayang di:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar